CHAPTER 1 – Cookies, Milk and The Fairy’s

1857 Kata
Di kampung halaman ibuku, orang-orang percaya kalau menaruh biskuit dan s**u di depan jendela kamar yang terbuka pada malam bulan purnama, para Peri akan datang ke rumahmu. Selama ini, aku tidak pernah percaya dengan cerita rakyat itu. Hingga hari ini, aku melihat sendiri makhluk kecil dengan sayap transparan beterbangan di depan mataku. Mereka memakan biskuit dan s**u yang kuletakkan di atas meja kerja di kamarku. Aku hanya pergi ke kamar mandi sebentar, dan kembali lagi untuk melanjutkan pekerjaanku. Namun sekarang, aku terpaku berdiri di depan meja itu. Takjub hingga tak dapat berkata-kata. Mereka begitu cantik, seperti para idola di dalam televisi. Bertubuh ramping, dengan sosok mirip remaja putri yang bisa kautemui di depan sekolah menengah. Yang berbeda adalah warna rambut mereka yang berpendar keemasan, dengan bola mata biru laut yang indah. Memakai pakaian dari bunga dan dedaunan. Ukuran mereka hanya sebesar boneka figur setinggi sepuluh inci, tapi keindahannya cukup untuk membuat laki-laki dingin seperti ku jatuh cinta pada pandangan pertama. Pelan-pelan aku mendekat, memberanikan diri mengulurkan tanganku untuk menangkap salah satu di antara mereka dengan hiasan bunga mawar putih di tubuhnya. “Kyaaa! Manusia itu melihatku,” teriak Peri itu, terbang menghindari tanganku. “Tak mungkin, Rose. Manusia tidak dapat melihat kita,” balas Peri dengan pakaian dari kelopak bunga Fuchia. “Ta-tapi dia mencoba menangkapku.” Rose membantah, terbang ke belakang tubuh Fuchia. Ia melirik takut-takut padaku. “Hanya keturunan Wizard dari Algeis yang bisa melihat dan mendengar suara kita.” Seorang lagi menimpali, Peri dengan bunga Daisy ungu. “Mungkin dia memang keturunan Wizard. Aku yakin dia bisa melihatku.” Rose masih berusaha meyakinkan. Tak lama, ketiga Peri itu berkumpul dan berbicara sendiri. Berdiskusi apa yang harus mereka lakukan padaku, agar mereka bisa memastikan apakah benar aku bisa melihat dan mendengar mereka atau tidak. Hatiku terasa begitu senang, rasanya menyenangkan melihat mereka beterbangan sambil mengobrol. Butiran emas mirip tepung yang berjatuhan tiap kali mereka mengepakkan sayapnya juga luar biasa cantik. Meninggalkan jejak di atas mejaku. Seperti debu, tapi yang jelas debu yang tak ingin kubersihkan. Aku tersenyum. Menarik kursiku dan duduk di sana. Bertopang dagu menatap mereka lekat-lekat. Selang beberapa menit, Daisy mendekatiku. Dia terbang hingga ke depan wajahku. Aku tersenyum saat tatapan mata kami bertemu. “Tak perlu berusaha keras untuk mencari tahu. Aku memang bisa melihat dan mendengar suara kalian,” ujarku padanya. Peri itu terbang menjauh, berkumpul bersama dengan teman-temannya. “Ternyata kamu memang Wizard dari Algeis!” seru Daisy. Mereka terlihat waspada, berhati-hati karena belum tahu niatku. Aku tidaklah punya niat buruk pada mereka, aku hanya mengagumi keindahan di depanku saja. “Wizard, maksud kalian Penyihir? Aku bukan Penyihir, aku hanya manusia biasa.” Seingatku, aku lahir dan besar sebagai manusia. Aku memang sering mendengar dongeng tentang para Peri dari nenekku, tapi aku tak pernah mendengar apa pun mengenai para Penyihir. “Manusia tidak dapat melihat kami para Elf. Dan satu-satu ras dengan penampilan serupa manusia yang bisa melihat kami hanyalah para Wizard,” balas Daisy. Aku menyandarkan punggungku pada sandaran kursi, bingung harus mengatakan apa pada mereka. Aku memang hanya manusia biasa, tak bisa menggunakan sihir dan orang-orang yang bisa membuktikannya – keluargaku, telah meninggal semua. Tiga tahun yang lalu,  kampung halaman tempat tinggal keluargaku terkena bencana alam. Seluruh desa tertimbun oleh tanah dan bebatuan dari gunung, hingga tak ada satu pun yang selamat. Aku yang kebetulan sedang kuliah di kota ini, menjadi satu-satunya penduduk desa itu yang masih hidup. “Kalau kuingat-ingat lagi, sepertinya kampung halamanku memang bernama Algeis,” gumamku tak yakin. Karena itu nama lama, sebelum mereka menggantinya saat aku masih kecil dulu. “Sudah kuduga! Kamu satu-satunya yang selamat dari serangan para Pixie!” Daisy mendekat lagi, menunjuk wajahku dengan yakin. “Haha, aku tak paham maksudmu, Daisy. Pixie itu apa? Memang aku satu-satunya yang selamat dari kampung halamanku, tapi itu karena bencana alam. Kamu hebat ya, bisa menebaknya? Atau jangan-jangan bisa membaca pikiranku?” Aku menanggapi dengan bercanda, apa pun yang dia katakan aku tidak peduli. Asalkan bisa melihatnya terbang-terbang di dekatku saja sudah cukup. “Daisy, ayo kembali. Mungkin orang itu memang tak tahu apa-apa.” Rose dan Fuchia terlihat tak nyaman. Mereka berniat pergi dari rumahku, membuatku sedih karena mungkin aku harus menunggu hingga malam bulan purnama berikutnya untuk bisa mengundang mereka datang kembali dengan biskuit dan s**u. “Kalian pulanglah duluan, aku akan tinggal sebentar lagi,” kata Daisy. “Baiklah, tapi pastikan kembali sebelum bulannya menghilang.” Teman-temannya mengerti, mendengarkan perkataannya dan terbang pergi keluar dari jendela kamarku. Mereka terbang ke atas langit, menghilang di hadapan cahaya bulan yang terang. “Jangan-jangan, bulan itu jalan menuju ke dunia kalian? Dunia para Peri.” Mataku berbinar, memegang tangan Daisy dengan jari-jariku. Penasaran, apa mungkin aku bisa diajak pergi ke sana. “Jangan mengalihkan pembicaraan. Kamu tahu maksudku. Aku bicara soal kejadian tiga tahun yang lalu.” Daisy marah, memukul jariku. Terbang bebas di atas kepalaku dan berhenti di bahuku untuk duduk di sana. Aku sendiri tersentak, waktu yang kebetulan sama membuatku mulai memikirkan kata-katanya dengan serius. Mengenai bencana alam yang menurut Daisy, merupakan serangan para Pixie, entah apa itu. Mungkin sejenis makhluk gaib sepertinya. “Satu lagi. Jangan menyebut kami Peri, itu sama seperti ketika kamu menyebut para Pixie. Kami Elf, jangan salah sebut lagi.” Daisy mengomel lagi, bahkan sebelum aku sempat bereaksi. “Ada apa dengan raut wajahmu? Kamu seperti kebingungan,” sambungnya kemudian. “Eh, yah ... jelas saja. Soalnya kamu berbicara banyak hal yang tak kupahami,” balasku polos. Mengakui kalau aku memang tak paham sebagian besar perkataannya. Daisy menghela napasnya. “Jadi kamu benar-benar tak tahu apa-apa?” Aku mengangguk yakin. Kami saling tatap sebentar, sebelum akhirnya dia terbang lagi di depan wajahku. “Baiklah, akan kujelaskan sedikit, dengarkan baik-baik.” “Dunia kami, bersebelahan dengan dunia manusia. Hanya berbataskan kabut tipis dan wilayah dengan kabut paling sedikit adalah Algeis, wilayah para Wizard. Karena para Wizard memiliki penampilan dan budaya yang nyaris sama dengan manusia, hanya bangsa kalian yang tinggal di dua dunia. Awalnya keenam bangsa hidup dengan damai, hingga tiga tahun yang lalu ... bangsa Pixie menculik putri bangsa kami, Edelweis. Pada saat yang sama, mereka menghancurkan Algeis karena takut bangsa Wizard bisa menemukan keberadaan Tuan Putri,” cerita Daisy. Tunggu dulu!? Kalau apa yang dia katakan benar dan Algeis mereka sama dengan Algeis kampung halamanku, jadi aku memang keturunan seorang Wizard dan itu semua bukan bencana alam. Namun serangan dari Pixie, yang telah membunuh semua keluargaku? Akan tetapi, aku benar-benar merasa tak punya kekuatan apa pun. “Jangan bengong! Dengarkan aku. Kamu itu Wizard! Aku tidak mungkin salah. Jangan lari dari kenyataan. Akhirnya aku bisa bertemu dengan seorang Wizard, kaupikir aku akan membiarkanmu menyangkal dirimu sendiri? Nasib Putri Edelweis bergantung pada kekuatanmu. Hanya para Wizard yang punya kekuatan untuk membuka semua pintu dimensi dan menemukan Tuan Putri yang masih disembunyikan oleh para Pixie.” Daisy mendesakku, tak memberi waktu untuk sekadar berpikir. “Tapi aku benar-benar tak punya kekuatan yang kamu katakan itu.” Akhirnya aku hanya bisa mengelak setengah-setengah, terintimidasi oleh tekanan makhluk kecil cantik satu ini. “Kamu punya, hanya belum terbangkitkan. Aku akan menjadi Familiar-mu dan membantu membangkitkan kekuatanmu. Sebagai gantinya, bantulah kami menemukan Tuan Putri.  Moon Drop tak akan bertahan lama tanpa keberadaan pewaris tahta.” Daisy terus saja berbicara, menggenggam jariku erat-erat dengan tatapan memelas. Ugh. Aku tadi tak tega, tak bisa menolak pesona dari makhluk kecil cantik yang begini berkilauannya. “Baiklah, akan kulakukan.” Aku setuju begitu saja. Padahal tak punya kekuatan apa-apa dan tahu apa benar, aku sungguhan Wizard atau bukan. “Bagus. Ayo buat kontrak!” Detik berikutnya, Daisy mulai menyuruh hal tak masuk akal lagi. “Kontrak apa?” Padahal aku saja masih belum benar-benar jelas mengenai dunia mereka. “Kontrak Master dan Familiar. Kami tak bisa tinggal lebih dari satu malam di dunia manusia, tapi bila menjadi Familiar untuk seorang Wizard. Bangsa Elf bisa tinggal di dunia manusia, sebagai gantinya sang Master akan mendapatkan umur dan dukungan kekuatan kami. Kamu tak akan bisa menua, teracuni, terluka atau sakit, dan satu-satunya kematian hanyalah ketika jantungmu dihancurkan. Kontrak berlaku seumur hidup, akan putus sendiri ketika salah satu dari kita mati.” Kok terdengar mengerikan? Mengikat kontrak yang begitu berat dengan orang baru ia temui sesaat lalu. Sebesar itukah rasa kepeduliannya pada si Tuan Putri? Aku tak bisa untuk tidak merasa berempati. Aku yang tak pernah peduli pada siapa pun, tak akan bisa berkorban sejauh itu untuk seseorang dan di hadapanku saat ini, ada seseorang yang merupakan kebalikan dari kepribadianku. Peri bodoh yang bersedia menyerahkan kebebasannya padaku demi menyelamatkan putri bangsanya. “Baiklah, beri tahu padaku caranya.” Tanpa sadar aku menyetujuinya, tersenyum teduh padanya seperti bukan diriku yang biasanya. Rasanya ada kepuasan sendiri saat melihat kelegaan di wajah Daisy. “Oke. Akan kubuat lingkaran sihirnya, selanjutnya ikuti semua instruksiku.” Daisy mulai menabur bubuk emas itu di atas permukaan kertas yang masih bersih, membentuk sebuah lingkaran sihir yang berpendar. Setelah selesai, dia menatapku dengan serius. “Berikan beberapa tetes darahmu di atas lingkaran sihir.” Di saat yang sama, dia melukai dirinya sendiri, meneteskan darahnya di atas lingkaran itu. Aku mengikutinya, menggores jari telunjukku dengan cutter di atas meja. Meneteskan darahku di atas darah Daisy. Ia kemudian bernyanyi, dengan bahasa yang tak kupahami. Ketika akhirnya nyanyian itu usai, lingkar sihir itu berubah menjadi berwarna merah keemasan dari warna darah kami yang bercampur. Lalu melayang meninggalkan permukaan kertas, terbagi menjadi dua dan menempel pada punggung tangan kananku dan tangan kanan Daisy. Itulah tanda kontrak kami, hal yang sudah kupahami tanpa perlu diperjelas lagi. Lukaku sembuh begitu saja. Beberapa pengetahuan mengenai dunia itu masuk ke dalam pikiranku. Bersama dengan ingatan masa kecil yang tiba-tiba saja menjadi begitu jelas. Bahkan ingatan ketika aku masih bayi pun, bisa kembali seolah baru terjadi kemarin. Inikah kekuatannya yang dipinjamkan padaku? “Bagaimana? Apa kamu merasakan sesuatu?” Daisy bertanya. Aku mengangguk sebagai jawaban. Aku teringat akan hal-hal yang tak masuk akal, mengenai kehidupan Kakek, Nenek dan Ibu saat aku masih kecil dulu. Mereka yang menggunakan kekuatan mantra dan alat sihir untuk bertarung dengan makhluk-makhluk jahat. Aku masih bayi saat itu, digendong Ibu tanpa bisa berbuat apa pun. Menyaksikan ingatan itu sekali lagi ketika sudah dewasa, tak kusangka bisa begitu mengejutkannya. “Kayaknya aku memang keturunan Wizard seperti katamu,” ujarku. Daisy tersenyum dengan lebar. “Sudah kuduga kalau aku memang tak salah. Jadi apa saja yang kauingat? Apa kamu bisa mengingat apa yang keluargamu ajarkan? Kamu pemakai mantra atau alat sihir? Mereka mewariskan sesuatu padamu?” Mulai menyerangku dengan deretan pertanyaan dengan tak sabaran. Mengenai warisan, selain sejumlah uang, aku ingat kalau mereka juga mewariskan beberapa barang aneh padaku. Dikirimkan ke asrama kampus tempat tinggalku dulu, seminggu sebelum kematian mereka. Seolah mereka tahu bahwa hidupnya tak akan lama lagi dan benda-benda itu harus segera diturunkan padaku. Aku hanya membuka sekilas peti kayu besar yang mereka kirimkan, menyegelnya kembali ketika merasa tak mengerti apa gunanya semua itu. Aku tak membuangnya karena itu peninggalan mereka. Hanya menyimpan dan melupakannya begitu saja setelah tahun berganti. “Aku tak tahu, ayo kita periksa barang warisan itu dan mencari tahu sendiri.” Aku tak menyangka, kalau hari di mana aku bersyukur dikirimkan kotak itu akhirnya datang juga.                      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN