Bab 1 : Surat Cerai

1641 Kata
# Kinan hanya diam menatap keluar jendela. Bulan lalu ia sadar dari koma dan mendapati kenyataan kalau ia mengalami keguguran. Anak yang selama ini sangat di idam-idamkannya bahkan tidak sempat melihat dunia ini. Dari sahabatnya Arnetta, ia mendengar kalau ayah mertuanya juga setiap hari selalu rutin mengunjunginya sebelum akhirnya pria itu harus diterbangkan ke Jerman guna menjalani perawatan untuk penyakit jantung yang sudah lama ia derita. Selama itu, tidak ada seorangpun dari keluarganya yang datang mengunjunginya. Apalagi suaminya? Arnetta, satu-satunya yang perduli kepadanya. Ia tahu, gadis itu membatalkan banyak acaranya hanya untuk tetap berada di sampingnya dan memberinya dukungan moral. "Kau melamun lagi." Arnetta menyodorkan sepotong apel kepada Kinan. Kinan menerima apel itu namun tidak memakannya. "Aku hanya berpikir, sakit ternyata tidak menyenangkan. Rumah sakit ini terasa sangat membosankan. Aku ingin segera keluar dari sini," ucap Kinan dengan senyuman. Arnetta nyaris tidak mengenali wanita di hadapannya ini. Semenjak sadar, Kinan sama sekali tidak pernah membahas atau menanyakan tentang Hansel yang tidak pernah terlihat di rumah sakit. Ia bahkan terlihat tenang dan biasa-biasa saja saat dokter memberitahunya kalau dia keguguran, padahal Arnetta tahu, Kinan sangat mengharapkan anak itu lahir. "Ka...kau ingin minum?" tanya Arnetta gugup. Kinan mengangguk. "Aku bisa mengambilnya sendiri," ucap Kinan sambil bangkit berdiri dan berjalan perlahan menuju meja untuk menuangkan minuman bagi dirinya sendiri. Setelah sebulan, ia sudah bisa kembali berjalan, hanya saja ia masih merasa sedikit lemah. Baru saja Kinan akan meneguk airnya, rasa sakit di perutnya kembali terasa, membuat tubuhnya nyaris tersungkur dan gelas di pegangan tangannya terlepas hingga isinya tumpah. "Kinan!" Arnetta berseru terkejut. Ia buru-buru menopang tubuh Kinan untuk kembali ke tempat tidur. "Tunggu disini, aku akan mengambilkanmu air." Perintah Arnetta dengan nada tegas. Ia tahu Kinan mungkin tidak akan mendengarkannya kalau ia hanya berbicara seperti biasa. Ia menuangkan kembali segelas air putih, memberikannya kepada Kinan kemudian memanggil perawat untuk membersihkan pecahan gelas dan tumpahan air di dekat meja. Kinan hanya mengamati Arnetta sambil memegangi gelas minumnya dalam diam. Arnetta adalah sahabatnya semenjak sekolah menengah. Satu-satunya orang yang ia percaya dan yang selalu bersamanya sejak dulu. Saat Arnetta berbalik dan pandangan mereka bertemu, Kinan tersenyum tulus kepadanya. "Terima kasih," ucap Kinan. Arnetta mengangguk. "Kita sahabat. Kau juga akan melakukan hal yang sama kepadaku jika hal ini menimpaku." Arnetta tertawa. Kinan mengangguk pelan. Arnetta menarik nafas panjang, air minum ditangan Kinan masih belum tersentuh sama sekali. Kinan yang kini terlihat tenang, benarkah hati dan perasaannya juga setenang penampakkannya sekarang?  "Setelah kau keluar dari sini apa, kau akan kembali ke rumah suamimu?" "Tentu saja." Kinan menjawab tanpa keraguan sedikitpun. Arnetta mendesah. Tidak menanyakan bukan berarti Kinan melupakan pria itu. Buktinya, ia masih saja bersikeras untuk kembali ke rumah pria b******k yang telah membuatnya menderita selama ini. "Kinan, aku sebenarnya tidak yakin kalau itu adalah yang terbaik untukmu, tapi sebagai sahabatmu, aku akan mendukung apapun keputusanmu." Kinan kembali tersenyum ringan. Ia akhirnya membawa gelas berisi air putih itu ke bibirnya yang tampak mulai memerah dan tidak lagi begitu pucat. Meneguknya beberapa kali sebelum meletakkannya ke atas nakas di samping tempat tidur. Arnetta hanya bisa mendesah berat berkali-kali. Ia seharusnya sudah bisa menebak, sekalipun kehilangan anak di dalam kandungannya, Kinan tidak akan semudah itu melupakan pria yang selama ini ia cintai dan sekaligus menjadi obsesinya semenjak mereka masih sekolah dulu. Saat itu, pintu kamar rawat Kinan terbuka, menampilkan wajah seorang pria tampan. Diam-diam Arnetta melirik ke arah sahabatnya yang malah bersikap biasa-biasa saja. Kinan malah meraih jeruk di atas nakas dan mengupasnya perlahan. Ekspresi wajahnya sama sekali tidak berubah. Hansel berdiri terpaku ditempatnya beberapa saat, dahinya membentuk sedikit kerutan ketika melihat bagaimana istrinya malah memilih untuk meraih jeruk itu dibandingkan berlari ke arahnya dan memeluknya seperti yang tadinya ia pikir akan terjadi begitu ia memasuki kamar ini. Kinan masih tampak pucat, namun tanpa make-up tebal seperti yang biasanya ia kenakan sebelumnya, wajahnya terlihat sedikit kekanak-kanakan. Suasana di ruangan itu menjadi hening beberapa saat lamanya sampai akhirnya suara Kinan yang jernih memecahkan kebekuan yang ada. "Jeruknya manis, dimana kau membelinya? Kurasa aku ingin membelinya lagi, ini buah yang terakhir di atas piring itu," ucap Kinan sambil tersenyum ke arah Arnetta. Arnetta melongo untuk sesaat. Ia menatap Kinan dan Hansel bergantian sebelum akhirnya bisa menjawab. "Itu dari langganan ku. Ka...kalau kau suka, aku akan membawakannya lagi." Arnetta melirik Hansel sekilas. Jelas sekali Kinan mengabaikan kehadiran Hansel.  Ini adalah pemandangan langka dalam hidupnya! Hansel tersenyum sinis. Istrinya memainkan permainan yang sama sekali tidak lucu dengan mengabaikan dirinya. Ia melangkah mendekati tempat tidur Kinan. "Tampaknya aku memang tidak perlu mengkhawatirkan kesehatanmu, untuk ukuran seorang wanita yang baru keguguran, kau terlihat jauh lebih sehat daripada yang seharusnya," ucap Hansel sarkastis. Ia menarik kursi dan duduk di dekat Kinan, disisi yang berseberangan dengan Arnetta. Kinan mengalihkan pandangannya ke arah Hansel. Sudut bibirnya yang mungil melengkung membentuk senyuman namun tatapannya dingin. "Memangnya kau pernah mengkhawatirkanku?" tanyanya. Hansel membeku. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Kinan akan mengembalikan ucapannya dengn pertanyaan seperti itu, tapi yang paling membuatnya terkejut adalah tatapan itu. Kinan yang ia tahu akan selalu menatapnya dengan tatapan memuja dan hangat. Tidak pernah sekalipun ia menerima tatapan sedingin dan sedatar ini dari istrinya itu. Hansel memaksa dirinya tertawa. "Selalu, aku selalu khawatir kalau kau akan membuat masalah lagi seperti yang kau lakukan beberapa waktu lalu. Ingat baik-baik, kau kehilangan anak di dalam kandunganmu karena kecerobohanmu sendiri." "Hansel! Kau keterlaluan!" Arnetta tidak mampu menahan dirinya. Pria ini benar-benar tidak berperasaan, ia tahu dengan benar cara untuk mengungkit sisi yang menyakitkan bagi Kinan. "Ini bukan urusanmu! Bisakah kau urus urusanmu sendiri!" Hardik Hansel. Wajahnya menatap Arnetta dengan garang. Kinan menyentuh pergelangan tangan Arnetta dan mengedipkan matanya penuh makna. "Aku bisa mengatasinya, jangan khawatir," ucap Kinan pada Arnetta. Arnetta kembali menarik nafas panjang. "Jika dia berani menyakitimu, aku tidak akan tinggal diam kali ini," ucap Arnetta sambil melirik Hansel dengan sorot benci yang sangat kentara sebelum ia melangkah pergi meninggalkan ruangan itu. Hansel menatap Kinan yang kini kembali sibuk dengan jeruk di tangannya. "Temanmu yang satu itu, benar-benar menjengkelkan," ucapnya ketus. Kinan tertawa. "Bukannya kau selalu menganggap segala sesuatu yang berhubungan denganku itu menjengkelkan? Mungkin kaulah yang bermasalah," ujarnya tenang. "Langsung saja, sebenarnya apa tujuanmu kemari?" ucap Kinan lagi. Kali ini nada suaranya terdengar serius, sorot matanya semakin dingin ke arah Hansel. Hansel  baru sadar tujuan awalnya ia datang ke tempat ini. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan tentang hal itu? Kalau saja Kinan tidak mengungkitnya, ia benar-benar melupakannya. Hansel melemparkan map ditangannya ke arah Kinan. Sudut map menyenggol potongan terakhir jeruk di piring dalam pangkuan Kinan hingga terjatuh ke lantai.  "Baca dan tanda tangani itu, setelah itu kini resmi bercerai!" ujar Hansel dingin. Kinan menatap potongan jeruk itu sesaat lamanya sebelum ia akhirnya memutuskan untuk turun dari tempat tidur dan memunggutnya. Hansel mengamati gerak gerik Kinan dalam diam. Tubuh wanita itu benar-benar tampak lebih kurus saat ini ditambah lagi dengan piyama khas rumah sakit yang kebesaran di tubuhnya. "Kalau sudah tidak bisa dimakan, maka tempat yang pantas untuknya cuma tempat sampah, meski aku sangat menyukainya," balas Kinan sambil melemparkan potongan jeruk itu ke tempat sampah. Hansel mengerutkan dahinya kembali, tanpa alasan yang jelas ia merasa sedikit tersinggung dengan kalimat yang barusan diucapkan Kinan. Kinan melangkah dengan sedikit tertatih menuju tempat tidur dan duduk di sisinya. Ia mengambil map yang tadi dilemparkan Hansel kepadanya dan merapikan isinya tanpa membacanya sama sekali. Ia meletakkan map itu di nakas samping tempat tidurnya, di dekat gelas air minum. "Aku akan menandatanganinya nanti," ucap Kinan tenang. Hansel tersenyum mengejek. "Untuk sesaat tadi aku sempat mengira kalau kau sudah berubah Kinan.” Ia tersenyum mengejek.   Kinan menghela nafas pelan. Ia menatap Hansel dengan ekspresi datar. "Jangan khawatir. Aku tidak memiliki perasaan apa-apa lagi kepadamu, apalagi keinginan untuk mempertahankan pernikahan ini. Kau juga bisa langsung mengajukan gugatan cerai jika kau ingin, tidak harus menungguku menandatangani surat cerai ini," ucap Kinan tenang. "Apa?"  Hansel benar-benar tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu keluar dari mulut Kinan sendiri. Wanita yang selalu menangis dan membuat dirinya merasa terganggu dengan air matanya mana mungkin bisa bersikap setenang ini? "Jangan main-main denganku Kinan," ucapnya memperingatkan. Ia menekan kuat bahu mungil Kinan yang terasa rapuh di dalam genggamannya. Kinan menepis tangan Hansel. Bersikap seolah tangan itu adalah sesuatu yang kotor dengan mengibas-ngibaskan tangannya dibahunya sendiri berkali-kali. "Aku lelah, bisakah kau membiarkan aku istirahat sekarang? Lusa kau bisa menyuruh sekretarismu mengambilnya," ucap Kinan tenang. Hansel menatap Kinan lekat-lekat dari ujung rambut hingga ujung kaki. Mencari apa yang salah dari sosok istrinya yang kini berada di depannya. Tatapannya berhenti pada jemari tangan Kinan yang polos. "Dimana cincinmu?" tanyanya. Kinan mencoba menarik tangannya tapi Hansel menggenggamnya erat. "Katakan dimana cincin pernikahanmu?!" desak Hansel. "Apa itu penting? Sebentar lagi kita sudah akan bercerai," ujar Kinan kesal. Ia masih berusaha menarik tangannya. "Tentu penting! Itu cincin dari almarhum ibuku!" hardik Hansel. Kinan tersenyum kecil. "Lepaskan tanganku, aku akan mengambilnya untukmu," ucap Kinan. Hansel melemparkan tangan Kinan dengan kasar hingga wanita itu merasakan nyeri di tangannya. Kinan mengambil sebuah kotak cincin dan meletakkannya di depan Hansel. "Ambillah dan berikan pada wanita lain yang kau anggap lebih pantas untuk mengenakannya," ucap Kinan. Hansel meraih kotak cincin itu, memeriksa isinya dan kemudian menyimpannya di saku jasnya. Kinan melangkah ke arah pintu dengan sedikit tertatih. Hansel mengikuti langkah Kinan dengan sorot mata bingung, sedikit rasa iba menyusup di hatinya. Ia tahu, tubuh Kinan mungkin masih lemah karena keguguran yang ia alami. Kinan meraih pegangan pintu dan memutar pegangannya. Kinan tersenyum sekilas ke arah Arnetta yg berdiri di luar, namun sorot matanya kembali menjadi dingin sebelum ia berbalik kembali ke arah Hansel yang masih mematung menatapnya. "Sekarang, bisakah kau keluar dari sini? Aku masih belum benar-benar pulih dan kehadiranmu hanya mengganggu istirahatku," ucapnya. Hansel melangkah keluar dari ruangan itu dengan ekspresi wajah yang sulit ditebak.  Saat bayangan Hansel menghilang dari jangkauan mata keduanya. Arnetta melihat Kinan yang merosot jatuh perlahan didepan pintu. "Kinan!" teriaknya panik. Ia buru-buru menopang tubuh Kinan.   Bersambung.......  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN