*Membaca Al-Qur'an lebih utama*
Nafisah memutuskan untuk tidur di rumah lamanya. Dari pada ia tidur di rumah yang mewah tapi sendirian, lebih baik dirinya di rumah sederhana akan tetapi terasa hangat dan damai.
"Kak, kakak pake kamar Rio aja. Soalnya kamar kakak kan belum diberesi."
"Gak papa, lagian beresin itu gak lama banget."
Nafisah melihat ke dalam kamarnya, memang sedikit berantakan, tapi bisa selesai dalam setengah jam saja.
"Yaudah, Rio mau nyuci baju dulu."
"Gak usah, biar kakak aja."
Rio hanya mengangguk lalu ikut membantu sang kakak membereskan kamar yang akan ditempati nantinya.
Hingga dering ponsel milik Nafisah membuat keduanya terperanjat kaget. Nafisah menatap horor ponselnya yang menunjukkan nomor seseorang yang bahkan tidak pernah terpikirkan oleh Nafisah akan menelpon nya di saat seperti ini.
***
Nafisah berjalan dengan cepat begitu melihat orang yang menelponnya tadi sudah duduk di kursi teras. Dirinya langsung menghampiri sosok itu dan menyalimnya dengan sopan.
"Maaf, Yah, Ma. Kenapa gak ngomong dulu mau ke sini?" Tanya Nafisah tidak enak, karena harus membuat kedua mertuanya menunggu di luar.
Kedua mertua Nafisah tersenyum lembut, bangga telah memilihkan istri dan menantu yang tepat.
"Enggak, papa. Salah orang ayah sama mama juga datangnya dadakan."
Nafisah tetap memilih diam. Dirinya hanya berdoa semoga dibalik sifat Aditya yang seperti iblis, masih ada sisi malaikatnya sebagai manusia.
Cup!
Mata Nabila membela kaget, terlebih ketika dengan lancangnya Aditya menarik baju tidur yang ia gunakan dengan kuat sampai seluruh kancingnya terlepas dan ia merasa kan sakit luar biasa karena baju yang terlepas secara paksa.
Bibir Aditya menjelajahi leher nya dengan s*****l, berkali-kali Nafisah menahan suara desahannya takut jika itu semakin mengundang nafsu Aditya. Tapi ternyata Aditya tidak puas, ia menginginkan Nafisah berteriak kenikmatan memanggil namanya. Dengan terburu-buru ia menjamah semua aset yang dimiliki oleh Nafisah membuat wanita itu tanpa sadar sudah mendesah kuat.
Di sela-sela kegiatannya. Aditya tersenyum miring merasa puas sekali, setidaknya ada gunanya pernikahan ini. Ia jadi memiliki sarana untuk melepaskan nafsu birahinya sebagai seorang laki-laki.
"Gimana? Sok nolak lu, akhirnya teriak keenakan juga. Munafik!"