Suara gemuruh petir bertubi-tubi menggema di lorong aula Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Immaculata. Fori baru saja berjalan ke luar dari ruang orientasi mahasiswa baru Fakultas Ilmu Komunikasi. Ia melongok ke kiri dan kanan, mencari teman satu pantinya dulu, Beth yang juga mahasiwa baru di universitas swasta tersebut.
Temannya itu mendaftar di Fakultas Psikologi dan ia terpisah satu gedung dengan gedung fakultas tempat Fori belajar. Siang itu mereka berjanji akan makan siang bersama selepas orientasi pengenalan perkuliahan di fakultas masing-masing; dan kini Fori melihat temannya itu berdiri di dekat salah satu pilar di ujung lorong tempat Fori berjalan. Beth melambaikan tangannya ke arah Fori.
"Kau sudah lama menungguku?" tanya Fori pada gadis berwajah cekung dengan rambut merah ikal yang selalu dikuncir kuda tersebut. Ia mengenakan kacamata tebal berbingkai hitam dan memakai kawat gigi bermotif dan berwarna merah muda pada baris gigi di bagian atasnya.
"Dua puluh tujuh menit," jawab Beth sambil nyengir. "Tapi tidak masalah. Wifi di fakultasmu lebih kencang dibanding wifi Fakultas Psikologi. Jadi aku menunggumu sambil menonton video streaming di internet."
"Hah, bagaimana kau bisa menonton video streaming? Setahuku koneksi wifi di kampus ini terbatas hanya untuk apa pun yang terkait web edukasi saja," ucap Fori dengan mata terbelalak.
Fori memiliki bentuk mata yang menarik. Kedua bola matanya besar namun memiliki sudut khas bak tupai. Wajahnya juga mungil dan bulat dengan rambut lurus model bob seleher yang membuatnya terlihat imut. Ia memiliki postur tubuh kurus dengan tubuh sependek 158 senti, setipe dengan temannya Beth.
"Aku tidak sengaja melihat kertas password wifi para dosen Ilmu Komunikasi saat bertanya lokasi ruang orientasi kalian tadi," bisik Beth sambil terkekeh. "Bagaimana mungkin password para dosen Ilmu Komunikasi adalah 'bintang 12345'? Terlalu sederhana, kan?"
"Sebentar, aku akan menggunakan password itu," ujar Fori sambil berhenti sebentar di tempatnya dan kemudian mengutak-ngatik pengaturan wifi ponselnya. Ia dan Beth tertawa bersamaan saat Fori melakukannya.
"Wah, hujan sudah turun," kata Beth mendadak sambil melihat ke arah luar gedung. "Bagaimana ini, kita tidak bisa makan ke kantin Fakultas Psikologi kalau begini. Tidak mungkin kita harus memutar jauh melalui jembatan antar fakultas di lantai dua, kan?"
Fori menoleh ke luar dan melihat langit gelap yang masih disertai petir. Kali ini hujan sudah turun dengan derasnya dan membuat kaca di sana mengembun seketika. "Apa kita makan di kantin fakultasku saja? Tapi aku belum pernah makan di sana sebelumnya."
"Kita coba saja, siapa tahu ada makanan enak yang murah di sini," ucap Beth sambil merapatkan jas almamater universitas mereka.
Universitas Immaculata yang jelas merupakan bagian dari naungan Yayasan Immaculata sangatlah besar dan megah. Satu komplek universitas itu begitu luas dan besar. Bahkan jika ditelusuri, universitas ini memiliki hutan dan danau tersendiri meski hanya terdiri dari sepuluh fakultas saja.
Gedung di sana besar-besar dengan ceiling yang sangat tinggi. Dindingnya dicat dengan warna merah bata dan membuat keseluruhan universitas itu terlihat sangat klasik dan berkelas.
Di setiap taman fakultas, mereka menanam berbagai bonsai di atas rumput golf dan bebatuan coral Italy yang berwarna putih. Sementara di pinggiran jalan pada berbagai lokasi di universitas itu banyak terdapat bunga bougenville berwarna pink pucat serta putih, yang membuat suasana taman kampus terlihat seperti kondisi musim semi di Jepang.
Universitas itu sebenarnya adalah tempat bagi banyak anak orang kaya raya kuliah, tapi beasiswa selalu disediakan bagi mereka yang berprestasi secara akademis ataupun bagian dari Yayasan Immaculata. Fori tidak masuk kategori pintar, namun karena ia sejak dulu adalah bagian dari Panti Asuhan Immaculata, maka ia mendapat bantuan kuliah bebas biaya di Universitas Immaculata.
Ini sebenarnya cukup berat bagi Fori yang sejak SMP hingga SMA berada di sekolah milik yayasan yang sama. Tidak seorang pun di sekolahnya dulu yang mau berteman dengannya karena ia tidak berada di kelas sosial yang sama dengan mereka.
Tidak saja diasingkan, Fori bahkan terkadang di-bully karena ia satu-satunya anak di panti yang sejak kecil tidak dipilih untuk diadopsi orang tua mana pun. Maka dari itu sejak kecil hingga besar, semua yang satu sekolah dengannya sering mengejek nasib sial Fori. Fori kini bahkan bisa disebut sebagai anak yang paling senior di panti.
Itulah mengapa ia bertekad akan menyelesaikan kuliahnya dengan cepat dan segera bekerja untuk mencari uang, agar suatu saat nanti ia bisa tinggal sendiri di tempat berbeda. Ia bahkan sudah tahu akan memilih karir apa untuk masa depannya.
Fori ingin bekerja di bidang penyiaran, itu sebabnya ia memilih Fakultas Ilmu Komunikasi. Sialnya, hampir semua teman sekolahnya yang dulu menyebalkan dan sering menjahilinya juga berada di fakultas yang sama. Ya, tidak seperti namanya Fortuna yang berarti keberuntungan, nasib Fori malah selalu sial.
Fori memandang temannya Beth dengan sedikit iri. Beth yang seusia dengannya muncul di panti hanya sebulan setelah insiden Sega. Namun tidak sampai dua tahun setelahnya, ia diadopsi orang tua baru dan pindah ke luar kota. Mungkin karena Beth anak yang sangat pintar, mereka memindahkan sekolahnya ke ibu kota.
Meskipun begitu karena Fori dan Beth sudah terlanjur akrab, keduanya rajin saling kontak dan akhirnya bertemu lagi di universitas yang sama sebagai mahasiswa baru. Keduanya bahkan sama-sama memilih untuk tinggal di asrama universitas dan tinggal satu kamar. Hanya sesekali keduanya berkunjung ke Panti Asuhan Immaculata untuk bertemu Suster Elsa yang kini sudah menjadi kepala panti.
"Ramai sekali di sini," desis Beth membuyarkan lamunan Fori. Keduanya ternyata sudah berada di depan pintu kantin fakultas itu dan terkejut karena suasana di sana sangat ramai.
"Bagaimana kalau aku yang memesan dan kau yang mencari tempat duduk saja?" tawar Fori pada Beth.
Beth mengangguk setuju. "Aku mau mi rebus yang panas dan pedas. Kalau bisa pakai bakso," ujarnya sebelum melengos pergi untuk mencari meja yang kosong.
Fori dengan cepat langsung membalikkan badannya dan mencari pesanan Beth. Kebetulan sekali ia juga sedang menginginkan makanan yang sama dengan Beth. Begitu ia selesai memesan, ia langsung mencari lokasi duduk Beth dan bengong saat menemukan temannya itu duduk di pojok kantin.
Beth memilih posisi duduk yang sangat dekat dengan Hannah dan kelompoknya. Mereka adalah teman-teman sekolah Fori yang sangat dibenci Fori dan selalu menjahili Fori sejak SMP hingga SMA.
Dengan lemas, Fori melangkah gontai ke arah Beth dan berusaha memalingkan wajahnya agar Hannah tidak perlu melihat kehadirannya di sana. Tapi sudah terlambat. Perempuan berambut panjang dan berombak yang diwarnai coklat tersebut sudah menangkap kehadiran Fori dan melihatnya. Ia kemudian berbisik-bisik kepada teman-temannya dan mereka secara serempak cekikikan di meja mereka.
"Dari semua tempat, mengapa kau memilih duduk di depan meja para iblis wanita itu?" cetus Fori sambil meletakkan kayu berukir nomor tanda pesanan makanannya dan Beth di atas meja mereka.
"Iblis?" tanya Beth bingung sambil menoleh ke arah meja di belakangnya. "Maksudmu para iblis itu... perempuan-perempuan di belakang kita?"
Fori mengangkat alisnya dengan wajah lesu. Mendadak ia merasa mood-nya hilang. Terlebih karena rombongan Hannah terdengar seperti mengatakan sesuatu yang bernada mengejek ke arah mereka berdua.
"Dia bilang apa?" bisik Fori pada Beth dengan wajah yang sengaja dibuat datar. Ia berpura-pura tidak melihat ke arah Hannah.
"Sesuatu tentang jas almamater kampus kita?" ujar Beth tidak yakin.
Fori melihat ke arah Beth dan dirinya secara bergantian, lalu dengan refleks memandang orang-orang lainnya di kantin. Ia pun kemudian merasa malu karena di antara semua mahasiswa di sana, hanya Fori dan Beth yang mengenakan jas kampus.Tidak seorang pun di sana yang memakai itu selain mereka berdua. Kini ia paham mengapa Hannah langsung memiliki alasan untuk mengejeknya.
"Beth," bisik Fori ke arah kursi di depannya. "Hanya kita berdua di sini yang pakai jas almamater kampus."
"Hah?"
Fori mendelik ke arah Beth. "Lihat baik-baik, semua memakai baju bebas, mereka hanya pakai jas almamater saat orientasi tadi. Sekarang kita satu-satunya di sini yang berseragam."
"Lalu?" tanya Beth bingung, namun sedetik kemudian ia manggut-manggut dan mengangkat kerah jas almamaternya. "Mereka mengejek kita karena ini?"
Fori menunduk dan mengangkat tangan kanannya untuk menutupi wajahnya. "Aduh, aku baru sadar! Memalukan sekali, seakan-akan kita bangga sekali menjadi bagian dari universitas ini."
Beth tertawa. "Tapi kalau kita langsung melepasnya, mereka akan tahu kalau kita malu. Sebaiknya tidak usah perdulikan mereka."
Fori setuju dan mereka tertolong karena salah seorang petugas kantin mengantarkan pesanan mereka ke meja. Perhatian keduanya pun segera teralih ke mi rebus dengan bakso sapi dan telur puyuh yang kelihatannya sangat enak.
Fori menelan air liur melihatnya. Baginya, saat hujan memang makanan berkuah panas selalu menjadi pilihan yang terbaik; namun di atas semua itu, Fori memang sedang sangat lapar. Ketika keluar dari kamar asrama subuh tadi, ia hanya sempat memakan setengah sisa roti keju dari Beth.
"Ngomong-ngomong, laki-laki yang dulu temanmu itu... yang tinggal di rumah bukit besar itu....siapa namanya? Xynth?" tanya Beth mendadak sambil menyeruput mi kuah miliknya. Fori terdiam menatap Beth.
"Temanku dulu bernama Sega. Aku tidak mengenal pria bernama Xynth dan aku tidak suka padanya," jawab Fori ketus.
Ia benci Sega semenjak teman masa kecilnya itu diadopsi orang kaya lalu mengganti namanya menjadi Xynth. Dan terutama, ia benci karena sikap Sega mendadak berubah total pada Fori, seakan ia tidak lagi mengenal gadis itu sama sekali.
"Kau tahu kalau mereka juga mendaftar masuk ke kampus ini?" tanya Beth serius. "Kau sudah melihatnya di ruang orientasi hari ini? Katanya ia dan dua teman serumahnya yang lain mendaftar di fakultas yang sama denganmu."
Seketika Fori bengong dan menatap Beth. "Apa maksudmu? Bukannya orang-orang di rumah bukit itu selama ini selalu menjalani homeschooling? Mereka tidak pernah banyak keluar dan berinteraksi dengan lingkungan sosial mana pun."
"Aku dengar juga begitu," ujar Beth memiringkan kepalanya sambil setengah berpikir. "Aneh kan? Mendadak mereka semua masuk ke universitas publik. Yang paling aneh mereka masuk Fakultas Ilmu Komunikasi. Padahal hampir semuanya dari mereka konon jenius di bidang matematika dan science. Mereka bertiga bahkan lulus tes masuk universitas ini dengan nilai sempurna, sama denganku. Tapi anehnya, untuk apa mereka masuk komunikasi?"
"Mereka masuk universitas melalui jalur tes? Buat apa? Bukankah ibu dari laki-laki bernama Xynth itu sekarang adalah donatur terbesar Yayasan Immaculata? Wajar saja jika mereka meraih nilai tertinggi karena status sosial ibunya," ucap Fori pura-pura tak acuh.
"Mereka tapi benar-benar pintar kok, mereka mendapat banyak penghargaan di bidang science sejak kecil."
Fori terdiam. Jika Beth yang mengatakannya, ia akan percaya. Temannya itu salah satu orang paling pintar yang pernah dikenalnya. Ia bahkan sejak dulu selalu masuk sekolah melalui jalur beasiswa karena prestasi, bukan karena bantuan dana seperti dirinya.
"Wah, kau akan sering bertemu dengan mereka, Fori. Pasti menyenangkan, ya! Aku belum pernah melihat mereka secara langsung," gumam Beth di tempatnya seperti mengiri.
"Sebenarnya," - ujar Fori mendadak dengan perlahan - "dua bulan lalu aku bertemu laki-laki bernama Xynth itu."
"Eh? Kau belum menceritakan soal itu padaku," cetus Beth antusias dan langsung memberondongi Fori dengan berbagai pertanyaan. "Apa yang terjadi?" Apakah ia mengenalimu? Bukankah dulu saat kecil kau pernah cerita kalau ia mendadak tidak mengenalmu sama sekali dan kalian tidak pernah lagi bermain bersama?"
"Ya, tapi...," cetus Fori dengan nada ragu dan malu bercampur aduk. "Ah, ini sangat memalukan!"
Beth mengacungkan garpunya ke wajah Fori dengan pandangan mengancam. "Apa yang terjadi? Ceritakan padaku jika kau masih menganggapku teman!"
Fori menghela napas sejenak. "Kau ingat dua bulan lalu ceritaku lewat messenger bahwa aku akan menghadiri pesta perpisahan SMA-ku?"
Beth mengangguk.
"Nah, para wanita iblis di belakang kita ini saat itu menjahiliku," lanjut Fori. "Mereka memaksaku meminum beberapa gelas wine di sebuah permainan . Aku mabuk. Dan aku berakhir di kantor polisi tengah malamnya. Saat itu aku melaporkan Xynth atas pelecehan."
"Kau sedang serius?!" Beth terbelalak di tempatnya.
"Seingatku, entah bagaimana kami bertemu di jalan dan mendadak ia membuka bagian atas bajuku dan melihat pundak kiriku. CCTV jalanan rusak, tapi polisi mendapat rekaman black box yang sangat jelas dari mobil Xynth."
Fori menenggak minumannya sebelum kembali melanjutkan ceritanya. "Entah bagaimana dalam rekaman itu ternyata bukan dia yang membuka bajuku, tapi aku yang melakukan itu padanya. Apalagi aku tertangkap mabuk-mabukan di bawah umur. Saat kejadian, aku belum resmi berusia 21 tahun. Pada akhirnya, kau tahu... aku masuk sel tahanan selama semalam akibat laporan palsu sebelum akhirnya Xynth mencabut laporan baliknya itu di pagi hari."
"A-apa?!" jerit Beth sambil berdiri di tempat. Ia kemudian kembali duduk dan menutup mulutnya dengan hati-hati. Gadis itu sedikit terlihat seperti menahan tawanya. "Bagaimana itu bisa terjadi? Wah, Fori, ternyata kau wanita hidung belang yang agresif!"
"Ti-tiidak!" jawab Fori dengan spontan dan suara nyaring. "Aku benar-benar... dengar, seingatku, aku sedang berjalan pulang dan berhenti di sebuah tiang listrik karena merasa sangat mual. Mobil Xynth lewat dan samar-samar aku ingat mendadak ia berhenti, turun dari mobil lalu menyingkap bagian atas bajuku dengan paksa. A-aku tidak ingat pernah melakukan yang sebaliknya padanya. Tapi entah kenapa hasil rekaman dari kotak hitam mobil mereka seperti itu."
"Karena mabuk, kau tidak ingat dengan jelas, Fori! Tangkapan video kan tidak mungkin berbohong?!"
Fori membenamkan wajahnya di tangan dengan malu ketika mengingat kejadian di kantor polisi bersama Xynth. "Ah, memalukan sekali! Dulu dan sekarang, aku selalu memiliki halusinasi aneh tentang pria itu!"
"Dulu?" respons Beth dengan wajah penasaran. "Dulu ada kejadian serupa?"
"Aku belum pernah menceritakan ini padamu, tapi sebenarnya... dulu aku juga memiliki mimpi aneh tentang Sega atau Xynth. Aku mimpi ia diculik tengah malam ke atap rumah sakit saat kami dirawat di sana. Dalam mimpiku, semua orang-orang di sana diam bak patung dan ada sekelompok pemuja setan di atap gedung yang membunuh seorang kakek tua sekarat dan mengambil darahnya untuk diminum Sega. Aku berlari ketakutan tapi besok paginya aku dengar kabar bahwa Sega ternyata baik-baik saja."
Fori melihat Beth terdiam mematung di tempat sambil menatapnya tajam. Beberapa detik kemudian, Beth mendadak tertawa terpingkal-pingkal dan melihat Fori dengan tatapan geli.
"Fori, kau benar-benar memiliki imajinasi yang kelewat tinggi. Jangan-jangan kau delusional! Kau bilang ada sekelompok pemuja set*n?!" ucap Beth terpatah-patah akibat tak bisa menahan tawa.
Fori merasa kesal tapi rupanya bukan hanya Fori yang jengkel. Rombongan wanita iblis di meja belakang mereka sepertinya tidak suka melihat Beth dan Fori tertawa-tawa. Mereka pun melempari Beth dengan kerupuk dan membuat remahannya menempel di rambut ikal Beth.
"Berisik!" hardik Hannah dengan sinis pada Beth dan juga Fori. Ia melempar dua kerupuk lagi, kali ini ke wajah Beth dan Fori.
Beth mendadak terdiam di tempat dan memungut kerupuk yang terselip di rambutnya. Ia berdiri dan membalikkan badannya ke arah Hannah dan teman-temannya dengan kesal.
"Kau tahu, aku sedang tidak senang saat ini," ujar Beth dengan suara yang dalam kepada Hannah.
"Lalu kau mau apa?!" seru Hannah menantang Beth. Ia ikut berdiri di kursinya.
Akibat pertanyaan Hannah, yang terjadi selanjutnya adalah malapetaka. Beth melempar Hannah dengan segelas teh hangat dan membuat blouse putih wanita cantik itu basah seketika.
Hannah menjerit dan teman-temannya melongo bengong menatapnya. Tidak sampai beberapa detik kemudian, Hannah balas melempar Beth dengan sisa makanan di meja mereka, tapi Beth berkelit cepat. Akibatnya, Fori yang menjadi korban. Wajah, rambut dan bajunya basah semua akibat lemparan Hannah.
Belum cukup di sana kesialan Fori. Ia baru sadar bahwa yang dilempar Hannah adalah kuah cuko empek-empek yang artinya, ia akan bau asam seharian sementara Fori masih harus melanjutkan ospek mereka hari itu. Tapi baik Hannah dan Beth tidak peduli kondisi Fori.
Jika tidak dilerai orang-orang di sekitar mereka, keduanya nyaris saling jambak menjambak di sana. Buntutnya, baik Hannah dan gank-nya serta Beth dan Fori, akhirnya diusir keluar oleh petugas kantin di hari orientasi pertama mereka sebagai mahasiswa baru Universitas Immaculata.
---
"Ggrrhh, wanita iblis itu ternyata benar memang menyebalkan!" gerutu Beth di sepanjang lorong perjalanan ke luar dari kantin, sementara kelompok Hannah memilih untuk langsung ke toilet dan membersihkan diri sambil mengomel-ngomel.
"Tidak bisa kubayangkan bagaimana kau mampu menghabiskan enam tahun di sekolah yang sama dengannya! Dasar wanita iblis!" seru Beth lagi dengan tensi tinggi.
"Emm, Beth, aku tahu kau masih kesal. Tapi aku basah dan bau cuka di sini," ujar Fori mengingatkan. Beth menoleh ke arah Fori dan mendadak merasa bersalah.
"Aduh, maaf Fori, aku tidak sadar. Duduk di sini sebentar," katanya begitu tersadar akan kondisi temannya sambil mengeluarkan satu bungkus tisu dari tasnya. Ia kemudian membantu Fori mengusap bagian basah di wajah, rambut dan baju Fori.
"Aku akan bau seharian, kan?" tanya Fori pasrah.
"Sepertinya begitu," jawab Beth kembali merasa bersalah. "Sebentar lagi kelas orientasi akan dilanjutkan. Aku rasa kita tidak akan punya waktu untuk kembali ke asrama dan ganti baju. Apalagi di agenda ospek selanjutnya dengan para senior, kita wajib menggunakan almamater kampus. Kau tahu kan di acara seperti ini para senior akan benar-benar ingin menyiksa kita?"
"Ucapanmu tidak membantu situasiku sama sekali. Kau membawa parfum?" tanya Fori dengan lemas.
Beth menggeleng. "Kau tahu aku tidak pernah suka memakai parfum. Tapi sepertinya di ruang administrasi fakultas kalian tadi aku sempat melihat ada semprotan anti serangga dengan aroma lavender. Biasanya itu cukup wangi. Apa kita pinjam saja?"
"Kau gila?!" hardik Fori putus asa. "Kau ingin menyemprotku dengan semprotan serangga?!"
"Ah, maaf, Fori, aku hanya---" ucapan Beth tiba-tiba menggantung. Mendadak ia terdiam dan berhenti menyeka wajah Fori. Ia memandang ke arah lorong di seberang kiri mereka dengan mata mendelik.
Fori dengan refleks ikut menoleh dan melihat ke arah sumber pandangan Beth dengan wajah terkejut. Xynth dan dua temannya tengah berjalan di lorong dan mengakibatkan para mahasiswi di sana semuanya bengong menahan napas melihat tiga pria yang sama-sama memiliki tinggi tubuh sekitar 190 senti itu.
Tiga pria itu semuanya begitu tampan dan memiliki bentuh tubuh sangat ideal. Dari kejauhan, Fori memandang Xynth yang memiliki rambut berwarna hitam dengan bola mata abu-abu peraknya yang sangat memikat. Hidungnya sangat mancung, serasi dengan bibirnya yang berwarna segar seperti darah. Terlebih kulitnya sangat pucat, khas orang yang jarang keluar dari rumahnya. Matanya sipit dan tajam seperti elang, namun saat berjalan, ia seperti tidak peduli dengan sekelilingnya sama sekali.
Entah bagaimana, pesona kedua temannya hampir mirip dengannya. Mereka semua berwajah khas, seperti berdarah campuran asing semua. Tidak saja itu ketiganya nyaris sempurna, sama-sama jenius dan sangat kompeten di berbagai bidang. Setahu Fori dari orang di sekitar rumah bukit, pria yang berambut panjang lurus dan selalu diikat ke belakang bernama Rigel. Ia terlihat seperti pangeran kerajaan kuno jaman dahulu yang bersikap sangat kaku.
Satu lagi yang berambut pirang ikal sampai telinga bernama Antares. Diantara ketiga pria itu, Antares yang terlihat paling ceria dan ramah, sedangkan Rigel paling pendiam. Xynth sendiri terlihat seperti paling tidak ramah, pemarah dan memiliki aura superior diantara dua temannya yang lain. Meskipun begitu Xynth memang terlihat paling berkilau di antara mereka.
Uniknya, mereka semua terlihat berpenampilan sedikit kuno dan klasik. Mereka bergaya preppy khas kalangan elit yang terlalu rapi dan bersih. Kalau saja tidak memiliki pengalaman halusinasi soal kelompok pemuja setan di sekeliling Xynth dulu, mungkin Fori akan langsung menyukai mereka, seperti kebanyakan wanita-wanita lainnya. Tapi yang terjadi saat ini malah Fori sedikit takut pada mereka.
"Manekin," gumam Fori tanpa sadar dari bibirnya karena menganggap ketiga pria itu terlihat seperti manekin pria di toko-toko baju.
Ia mengoceh-ngoceh mengomentari penampilan Xynth dari tempatnya kepada Beth dan setengah mengejek Xynth. Fori yakin ia hanya setengah berbisik dari tempatnya yang berjarak lebih dari sepuluh meter dari ketiga pria tersebut. Tapi anehnya, ketiganya mendadak menoleh ke arah Fori dan memandangi wanita itu dari kejauhan seolah mendengar suara Fori barusan.
Fori membuang muka sesaat karena tidak yakin dengan penglihatannya, namun kemudian dengan hati-hati ia mengintip lagi dengan ujung matanya. Ia tidak salah, ketiga pria itu memang menatap Fori dari posisi mereka dan membuat Fori merinding seketika.
"Beth, lihat itu," kata Fori sambil menjulurkan sebelah tangannya untuk meraih badan Beth di belakangnya, sambil tetap menatap ke arah Xynth dan dua temannya. "Kelompok pemuja setan itu seperti sedang melihat ke arahku. Mereka memang melihatku, kan? Apa mereka mendengar kata-kataku tadi?"
Fori tidak mendengar sahutan Beth sama sekali dan tidak merasakan kehadiran sosok Beth dengan tangannya. Ketika ia menoleh ke belakang, Beth ternyata sudah tidak ada. Berarti para pria itu sejak tadi melihatnya sedang berbicara sendiri. Fori terdiam kaku beberapa detik dan selanjutnya segera beranjak dari tempatnya dengan malu dan berlari ke arah toilet wanita.
"Sialan, kenapa Beth mendadak menghilang, sih?!" keluh Fori sambil berusaha melenyapkan dirinya dari lorong itu dengan cepat. Ia lalu mengecek ponselnya yang berbunyi dan mengeluarkan notifikasi pesan masuk. Fori pun melihat satu pesan baru masuk dari Beth dan tambah meringis kesal saat membacanya.
"Fori, maaf, aku baru ingat bahwa ospek di fakultasku dimulai lebih cepat dibanding dengan di fakultasmu. Aku tadi pergi duluan. Maaf ya karena insiden di kantin tadi. Jangan lupa pakai semprotan serangga di bagian administrasi fakuktasmu. Kau benar-benar bau cuka!"
---
Jalannya sesi kedua ospek hari itu bak neraka. Semua orang di aula Fakultas Komunikasi menyadari bahwa ada bau cuka yang juga bercampur bau semprotan anti serangga di sana. Mereka semua berusaha menjauh dari Fori ketika menyadari bahwa sumber bau aneh yang menyengat itu adalah Fori.
Tidak saja itu, Xynth dan dua temannya ternyata benar satu fakultas dengannya. Meski datang terlambat hari itu, kawanan pemuja setan itu hadir di sesi kedua dan membuat kegaduhan di kalangan mahasiswa baru lainnya yang kagum pada mereka. Ternyata banyak dari mereka yang sudah lama tahu berbagai prestasi Xynth dan kawan-kawannya.
Lebih naas lagi, para senior yang memimpin sesi kedua kali itu sepertinya bengis dan siap melampiaskan masalah hidup mereka yang kelam untuk menyiksa semua mahasiswa baru. Seluruh anak baru disuruh maju untuk mengambil pita dalam sebuah kotak, untuk menentukan kelompok mereka masing-masing.
Xynth dan teman-temannya berdiri duluan di depan untuk mengambil pita, dan saat Xynth berbalik dari kotak di depan, Fori sempat mengintip bahwa pria tersebut mendapat pita berwarna kuning di telapak tangannya. Pria yang bernama Antares mendapat pita merah, sementara Rigel mendapat pita biru.
Kini Fori berjalan sesuai antrean barisan dan berdoa agar ia tidak mendapatkan pita berwarna yang sama dengan Xynth. Ia tidak mau berada dalam satu kelompok dengan pria itu. Gadis itu menunduk ketika orang-orang yang berbaris di dekatnya menutup hidung dan menatap dengan sengit padanya.
Fori sendiri belagak tidak peduli, namun emosinya membuncah saat melihat Hannah terlihat antusias mendapat pita kuning. Kini Fori yakin hampir seisi ruangan di sana tahu bahwa Xynth mendapat pita kuning, karena hampir semua wanita di sana berdoa mendapatkan pita berwarna sama dengannya.
Satu-satunya yang membuat Fori lega adalah ketika ia maju dan meraih ke dalam kotak, ia mendapatkan pita berwarna hitam. Fori meringis lega dan segera berdiri di barisan kelompok hitam tapi kemudian menganga di tempatnya.
Hampir semua yang mendapatkan pita hitam culun, bertubuh kurus kering dan tidak terlihat bertenaga. Mereka bahkan terlihat seperti orang-orang yang ingin mati saja dan tidak niat berkomunikasi dengan satu sama lainnya.
Fori mendekat dengan lemas dan berusaha menyapa seseorang di sana, tapi orang yang disapa Fori segera menutup hidung dan berjalan menjauh. Rupanya di balik aura suram orang-orang di sana yang sesuai dengan warna pita mereka, hidung mereka masih bekerja dengan baik.
Fori duduk di sebuah kursi dan menatap ke sekeliling tim hitam yang sibuk masing-masing. Sementara ia lihat tim lainnya saling mendekatkan diri dan memulai rapat tim dengan semangat. Gadis itu hampir ikut putus asa seperti yang lainnya di sana ketika mendadak suara seseorang di belakang mengagetkan tim hitam. Fori menoleh dan melihat Xynth berdiri di belakang Fori sambil memegang pita hitam.
"Tim ini sudah punya pemimpin?" tanya Xynth dengan suara berat dan membuat seluruh tim hitam yang tadi serempak memiliki aura frustasi mendadak penuh semangat dan pengharapan. Bola mata mereka semua jadi berbinar-binar.
"Be-belum," jawab seorang laki-laki bertubuh sedikit bungkuk dengan wajah penuh bintik. Ia mendekat ke arah Xynth seperti ingin menjilat padanya. "Kami rasa kami akan memilihmu sebagai ketua. Semua setuju, kan?"
Semua di tim hitam bersorak mendukung tapi Fori yang kesal dan kaget tanpa sadar mengungkapkan penolakannya kepada tim.
"Semua? Aku tidak bilang aku setuju," gumam Fori seorang diri. Ia merasa bahwa ia hanya mengatakannya dalam hati, tapi ternyata semua orang di sana mendengarnya. Ketika sadar, Fori hampir menampar mulutnya sendiri.
"Kau ingin menjadi pemimpin tim hitam?" tanya Xynth pada Fori dengan tatapan tajam.
Suasana di sana mendadak hening dan seluruh orang di sana memandang Fori dengan heran. Fori tidak segera menjawab. Sebenarnya lebih tepatnya, ia tidak sanggup menjawab karena ia tidak bermaksud mengajukan diri sebagai pemimpin.
Fori hanya tidak sengaja mengatakan keberatannya karena sangat yakin bahwa pria itu mendapat pita kuning dan bukan pita hitam. Ia juga yakin seisi ruangan tahu itu, karena tadi pun ia sempat mendengar beberapa wanita yang mengiri pada tim hitam mengatakan bahwa mereka melihat Xynth mendapatkan pita kuning.
"Namamu... Fortuna?" tanya Xynth sambil mendekat ke arah Fori sambil melihat name tag Fori di almamater gadis itu. Kini Fori merasa terintimidasi dengan tubuh tinggi tegap Xynth yang membuat tubuhnya sendiri kini seperti kerdil. "Aku harus memanggilmu Fart... atau Tuna?"
Semua orang di sana tertawa mendengar ucapan Xynth dan membuat wajah Fori berubah merah padam karena malu. Ia tahu pria itu sengaja melakukannya. Sekalipun ia lupa kedekatan mereka saat kecil dulu, ia sudah mendengar nama panggilan Fori saat membuat laporan di kantor polisi dua bulan lalu.
"Karena Fortuna sudah mengajukan diri, maka aku akan mendukungnya sebagai ketua tim hitam," ucap Xynth pada yang lain. "Yang lain setuju, kan?"
Bak terhipnotis Xynth, mendadak semua yang di sana setuju bahwa Fori menjadi ketua tim hitam. Fori bengong di tempat. Ia bahkan tidak membayangkan bahwa dirinya menjadi pemimpin di mana pun, apalagi di ajang ospek yang pastinya penuh ambisi dan sarat kompetisi antar para mahasiswa baru tersebut. Namun ia tidak bisa membantah karena semua yang di sana mendadak sepakat memilihnya sebagai ketua.
"Sekarang kau ketua tim kami, lima belas," bisik Xynth pada Fori. "Apa yang harus kami lakukan selanjutnya? Kau akan memimpin rapat strategi, kan?"
"Tunggu," ucap Fori mendadak padanya. "Apa tadi kau baru saja memanggilku dengan angka 'lima belas'?
"Tidak, aku memanggilmu dengan Fortuna," jawab Xynth setelah terdiam sejenak.
"Tidak, kau memanggilku lima belas," cetus Fori semakin yakin. "Dan itu untuk yang kedua kalinya kau memanggilku begitu."