Semangat Baru

1606 Kata
Bab 4 Semangat Baru Lelaki muda itu terlihat begitu bersemangat pagi ini. Dia memang selalu ceria di awal hari, penuh ekspresif dan terlihat menyenangkan. Berbeda sekali dengan saudara tuanya yang tampak seperti mayat hidup. "Ma, aku udah selesai." Iham bangkit berdiri setelah mengakhiri sarapannya dengan segelas air putih. "Tumben cepet banget," komentar sang ibu. Padahal suami dan anak pertamanya saat ini saja belum memasuki ruang makan untuk sarapan. "Aku mau ke kantor sekarang, Ma. Ada beberapa hal yang baru kuingat semalam yang harus kuperbaiki." Mama Santi mengangguk. "Ya udah kalau gitu, kamu hati-hati, Ham." Iham tersenyum kemudian mengecup punggung tangan ibunya. "Dah, Ma." Akhirnya setelah mencium pipi Mama Shanti, ia pun mulai setengah berlari menuju bagasi. Tak seperti kebanyakan orang yang menginginkan mobil mewah untuk kendaraan sehari-hari, Iham masih tetap setia menggunakan motor bebek pemberian ayahnya saat SMA. Motor berwarna hitam itu juga yang sudah menemaninya pulang pergi ke kampus, dan kemana pun dia mau. Dan berkat motornya pula, ia jarang sekali terhalang karena macet. Setelah memanaskan mesin motornya untuk beberapa menit, Iham pun mulai melajukan motornya. Dengan kecepatan yang tidak beraturan, ia terkadang mengebut dan terkadang pula pelan. Sesampainya di kantor yang masih sepi, Iham terlebih dahulu memarkirkan motornya di basement kantor. Selepas itu, ia pun naik lift basement untuk langsung ke lantai 3. *** Hari baru, semangat baru. Itulah moto yang sedang dijalani oleh Ajeng. Insiden kemarin membuatnya sadar bahwa selain karena keberuntungan hingga akhirnya ia tidak jadi dipecat, ia juga harus bekerja lebih baik. Ia sadar sering kali terlambat masuk kerja. Oleh karena itu, hari ini ia sengaja memasang alarm lebih pagi lagi dan semalam tidak tidur terlalu larut. "Jeng, tumben udah datang," sapa satpam yang kini sedang berjaga. Pak Asep yang mendapat sift malam hari kelihatan begitu loyo. "Eh, iya Pak. Pak Asep sendirian aja jaganya?" balas Ajeng sambil melihat ke arah dalam pos satpam. "Hari ini sendiri," jawabnya pendek. "Yang semangat ya, Pak. Nih aku aja semangat banget," ujar Ajeng sambil tersenyum lebar, bahkan gigi-giginya yang tersusun rapi sampai terlihat. "Kalau begitu saya permisi dulu, Pak. Mari!" Pak Asep mengangguk sambil terus memperhatikan Ajeng yang perlahan masuk ke dalam kantor. Ajeng sampai di pantry dan segera mengganti pakaiannya. Tanpa pikir dua kali, gadis itu sudah mengambil kemoceng dan lap meja. Ia pun melangkah ke luar dari pantry menuju meja resepsionis yang dilewatinya beberapa saat yang lalu. Meja resepsionis yang berada di depan lobi kantor masih tampak sepi. Karyawan yang biasanya berjaga belum berangkat dan kelihatannya masih lama untuk datang. Ajeng sambil mendendangkan lagu dangdut yang dihapalnya pun memulai untuk membersihkan meja resepsionis berukuran cukup tinggi dan besar di hadapannya. Awalnya ia membersihkannya menggunakan kemoceng untuk menghilangkan debu, kemudian berlanjut menggunakan lap meja yang ia bawa. Ia poles-poles sampai akhirnya meja di depannya tampak mengilap. "DOR!" "AYAM JAGO BUNTUTNYA EMPAT, eh." Ajeng kesal saat mendengar latahnya berbunyi. Ia menoleh ke belakang dan melihat pelaku yang membuatnya terkejut dan latah seperti tadi. "Mas Iham? Eh, maksudnya Pak Iham." Ajeng segera meralat ucapannya. Setelah dipikir-pikir lagi, mungkin ucapan Afif benar, meskipun usianya masih muda tapi mengingat jabatan pria di hadapannya saat ini, ia patut dipanggil Bapak bukan Mas. "Kok panggil Pak. Panggil Mas saja, Jeng," komentar Iham. "Aku lebih suka dipanggil Mas, dipanggil Pak bikin aku kelihatan tua." "Tapi Bapak kan manajer." "Aku manajer atau bukan sama aja. Please, panggil aja Mas kayak kemarin," ujar Iham sambil menyandarkan sisi tubuhnya ke meja resepsionis. "Iya, Mas." Meskipun masih sedikit sanksi, Ajeng pun dengan pelan memanggil Iham dengan sebutan Mas lagi. "Nah gitu kan enak didengernya. Aku jadi enggak berasa ketuaan banget," ungkap Iham. "Ngomong-ngomong, kamu berangkat pagi banget. Enggak terlambat lagi kayak kemarin." "Kan enggak enakan sama yang lainnya kalau berangkat terlambat. Apalagi aku anak baru." "Gitu dong! Itu baru Ajeng," ujar Iham membuat Ajeng tersenyum malu. Ajeng rasanya melayang saat mendengar ucapan Iham. Laki-laki tampan itu menurutnya sangat berbeda daripada karyawan-karyawan yang pernah ditemuinya. Biasanya para karyawan laki-laki dan karyawan perempuan seringkali tidak ingin terlalu lama mengobrol dengan OG seperti dirinya. Mereka hanya akan bicara ketika mereka membutuhkan jasanya. Setelah kebutuhan mereka terpenuhi, mereka pun hanya mengucapkan terima kasih kemudian tidak mengingat lagi bahwa dirinya adalah manusia yang sama seperti mereka. "Jeng, kok ngelamun!" Iham menyentuh bahu Ajeng hingga gadis itu tersadar dari lamunannya. Ajeng menggelengkan kepalanya beberapa kali kemudian tersenyum menanggapi Iham. "Maaf, Mas. Aku tiba-tiba inget jemuran," jawabnya asal. Iham menyipitkan sebelah matanya. Ia menahan tawa dan senyum lebar yang ketika nampak membuat laki-laki berpostur tinggi itu tampil lebih memukau di depan mata Ajeng. "Jemuran kok dipikirin. Mending juga mikirin aku yang jelas ada di depan mata kamu." "Mas ada-ada aja. Habis, di luar kelihatannya mendung. Aku khawatir hujan turun dan jemuran aku enggak diangkatin sama ibu kost." "Alasan kamu masuk akal juga," komentar Iham. Ia melihat cuaca di luar yang cukup petang karena tertutup awan mendung melalui jendela di lobi. "Emang kamu ngekost di mana, Jeng? Jauh dari sini?" "Lumayan, Mas. Tapi cukup naik busway bisa kok." "Oh, kukira kamu harus naik turun kendaraan beberapa kali." Iham senang mendengarnya. "Kamu bukan asli Jakarta pastinya kan?" tebak Iham. Ajeng terkekeh. "Iya, Mas. Aku anak perantauan. Baru lulus SMA dan karena enggak melanjutkan kuliah, aku pun mengadu nasib ke ibu kota." "Hebat kamu! Berani banget. Emang kenapa enggak melanjutkan kuliah, Jeng? Kamu lulusan tahun berapa sih?" "Aku lulusan tahun ini, Mas. Baru aja keluar 6 bulan yang lalu. Sebenarnya aku mau melanjutkan kuliah tapi orang tua di rumah tidak sanggup membiayai. Aku kasian sama Mak Bapak jadi aku ke sini, cari kerja supaya bisa ngirim uang ke Mak Bapak di kampung." Iham memperhatikan Ajeng dengan seksama. Memang dari penampilan, Ajeng terlihat begitu polos dan sederhana ala gadis desa. Ia juga sama sekali tidak memakai riasan wajah yang tebal. Riasannya seperti ibunya di rumah, hanya memakai bedak dan lipstik dengan warna bibir. "Makanya Mas, saat kemarin tahu aku dipecat rasanya aku bingung banget. Aku sampai nangis gitu karena takut enggak bisa ngirim uang ke Mak Bapak. Belum lagi uang dari kampung udah habis, sisa buat makan sama transport aja pulang pergi. Bisa-bisa aku jadi gelandangan lagi," ujar Ajeng tapi diakhiri dengan tawa renyahnya. "Makasih ya, Mas. Udah membuat Pak Adam enggak jadi memecat aku." Iham segera mengangguk. Ia merasa tersentuh setelah mendengar cerita Ajeng. Rasanya kebohongannya kemarin kepada sang kakak adalah suatu kesalahan terbaik yang mampu dilakukannya. Ia benar-benar bersyukur telah membantu Ajeng. "Terus kemarin kamu pulang jam berapa, Jeng?" "Aku pulang habis sholat maghrib, Mas. Sama temen laki-laki yang ketemu saat di lift di lantai 5." "Oh, temen kamu itu namanya siapa?" tanya Iham. "Afif, Mas." Iham lagi-lagi hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Tak berapa lama, ia mengganti lagi topik pembicaraan di antara mereka saat ini. "Padahal kemarin aku mau ngajakin kamu pulang bareng loh, Jeng. Eh tahu-tahunya kamu udah pulang duluan saat aku cek ke pantry." "Emangnya Mas Iham pulang jam berapa kemarin?" "Kayaknya sih habis isya. Emang lagi sibuk juga ngurusin pembukuan baru." "Wah pasti beda beberapa menit doang. Aku habis sholat maghrib emang pulang tapi kalau enggak salah pulangnya pas bunyi adzan isya." Rasanya segar di telinga Iham ketika mendengar dan tahu perempuan di depannya selalu melaksanakan kewajibannya untuk sholat. Iham benar-benar merasa bahwa sosok Mama ada pada diri Ajeng. Jika awalnya ia seperti melihat sosok Jingga, tapi lebih ke dalam lagi, ia akan menemukan sosok ibu yang selalu dicintainya. "Ngapain kalian di sana?" suara yang terkesan tiba-tiba itu membuat Ajeng dan Iham kaget. Ajeng yang kagetan pun mengurut dadanya sambil melihat ke sampingnya. Tampak seorang pria berjas mahal berwarna hitam dipadu kemeja bergaris vertikal berwarna putih dan biru serta bawahan celana bahan menghampiri Ajeng dan Iham. Dia tak lain adalah Pak Adam, si bos pemarah. "Selamat pagi, Pak Adam." Iham dengan kalem menyapa kakaknya dengan sebutan khas kantor. "Pagi," balasnya pendek. "Kamu OG yang kemarin kan?" Adam memicing saat menoleh ke arah Ajeng. "Yang bikin saya rugi." "Maaf, Pak." "Gaji kamu saya potong," ujarnya tanpa pikir panjang. Adam melirik adiknya dan tidak mempedulikan sorotan tidak setuju milik Iham. "Itu untuk peringatan supaya kamu enggak pecahin cangkir saya lagi." "Iya, Pak." Ajeng tidak bisa membalas. Ia dengan takut menunduk. "Setelah ini kamu buatkan kopi dan bawa ke ruangan saya. Gulanya cukup satu sendok makan saja." Ajeng mengangguk mengerti. Adam menoleh ke arah adiknya kemudian bersuara lagi. "Sepertinya kamu harus ikut saya, Iham. Kita harus membahas mengenai proposal kamu." "Baik, Pak." "Saya tunggu proposal kamu di ruangan kerja saya." Setelah mengatakan itu, Adam berlalu pergi. Meninggalkan Ajeng dan Iham yang masih berdiri di sana dalam diam untuk beberapa saat. Sepeninggalan bos besar, Iham berdehem hingga Ajeng menatapnya. "Sabar ya, Jeng. Bos emang gitu." "Iya, Mas Iham. Enggak apa-apa. Kemarin juga aku udah dikasih tahu Afif tentang Pak Adam." Iham punya pikiran jahil. Ia pun bertanya, "Katanya Pak Adam gimana? Aku baru juga loh di sini. Jadi aku harus waspada juga untuk menghadapi Pak Adam." Ajeng pun mulai bercerita. "Tapi Mas Iham jangan ngomong ini dari Ajeng ya?" Iham mengangguk setuju. "Aku janji." "Kata Afif, Pak Adam tuh emang dasarnya pemarah. Enggak aneh sih, lihat aja tampang dia barusan. Angker banget." Iham tidak bisa menahan tawanya. "Angker banget? Kamu kira Pak Adam itu rumah kosong apa?" "Ya enggak, Mas. Cuma ya gitu deh," Ajeng tidak mampu menjelaskan lebih detail. Ia mengingat tugasnya. "Mas, aku ke pantry dulu ya. Mau buatin kopi buat Pak Adam. Nanti kalau kelamaan nunggu dia bisa marah." Iham mengangguk. "Oke deh. Kamu hati-hati ya nanti." "Iya, Mas." Setelah itu keduanya pun berpisah. Ajeng masuk ke pantry sedangkan Iham menaiki lift menuju meja kerjanya. Kembali menggarap proposal untuk ditelitinya.[] *** bersambung>>>
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN