Hari makin petang saat Ajeng mulai bersiap untuk pulang. Ia sudah membereskan cangkir, piring, dan segala perkakas makan yang sudah terpakai. Mencucinya dengan bersih kemudian menyimpannya ke atas rak.
Pekerjaannya sedikit terganggu saat mendengar Gita dengan nada tingginya mulai memasuki dapur. "Pokoknya aku enggak mau nganterin kopi buat Pak Adam, aku udah ada janji sama temen aku, Pak Didi."
"Terus kalau bukan kamu siapa lagi? Bapak?" Pak Didi menggeleng kecil. "Bapak juga udah harus pulang cepet. Anak pertama Bapak, Adit, hari ini ulang tahun. Mereka pasti udah nunggu Bapak."
Gita menggeram kemudian dengan lancang meninggalkan Pak Didi. Setelah memasuki ruang istirahat untuk OG, Gita pun pergi tanpa permisi sambil membawa tas selempangnya.
Ajeng yang melihat kejadian itu hanya bisa menggeleng kecil. "Pak Didi, kenapa?" tanyanya, tidak ingin salah tafsir.
Pak Didi yang mulai mengambil cangkir pun menjawab. "Pak Adam minta kopi, Jeng."
"Pak Adam yang punya perusahaan kan, Pak?" Ajeng bertanya lagi dan Pak Didi pun mengangguk segera. "Gimana kalau aku aja yang nganterin? Kan katanya Bapak mau pulang buat menghadiri acara ulang tahun anak Bapak."
"Tapi, Jeng!" Pak Didi tidak mau terjadi suatu hal yang buruk terhadap Ajeng. Meskipun Ajeng suka terlambat, ia tahu bahwa Ajeng sangat baik dan ramah. Dia tidak ingin Ajeng sampai dipecat gara-gara dirinya.
"Enggak apa-apa, Pak. Bapak enggak perlu khawatir. Aku kan udah biasa juga."
"Tapi yang ini rada beda, Jeng. Kamu belum pernah kan nganterin ke ruangan Pak Adam?"
Ajeng memang belum pernah mengantarkan minuman atau apapun di ruangan CEO tempatnya bekerja itu. Tapi dia tidak tega jika Pak Didi sampai tidak menghadiri acara ulang tahun putranya sendiri. Anaknya di rumah pasti sudah menunggunya dan mengharapkan kedatangan sang ayah.
"Biar aku aja, Pak." Ajeng sengaja mengambil alih cangkir yang sudah siap. Ia meletakannya ke atas baki kemudian berjalan sedikit menjauhi Pak Didi.
"Jeng, jangan! Biar Bapak saja, nanti kamu ada masalah Bapak enggak enakan sama kamu."
"Bapak tenang aja lagi." Ajeng tersenyum lebar. "Mending Bapak pulang sekarang. Anak Bapak pasti udah nunggu kedatangan Bapak."
Pak Didi tidak dapat berkutik lagi saat melihat Ajeng yang mulai berbalik. Saat gadis itu tidak nampak lagi keberadaannya, Pak Didi pun hanya bisa berdoa agar Ajeng tidak sampai membuat masalah dengan CEO pemarah itu.
***
Ajeng berjalan dengan santai menuju lift saat dilihatnya Afif yang baru saja ke luar dari lift dengan beberapa cangkir kotor di atas baki yang dibawanya. Mereka berhenti sebentar kemudian mengobrol kecil.
"Minuman buat siapa, Jeng?" tanya Afif.
Ajeng tak perlu terlalu lama berpikir. "Buat Pak Adam, Fif."
Kening Afif berkerut. "Pak Adam?" tanyanya bingung. Seingatnya, mereka -Pak Didi, Gita, dan dirinya- sudah sepakat untuk tidak memberikan pekerjaan untuk mengantarkan makanan atau minuman untuk Pak Adam kepada anak baru. Bukan bermaksud mendiskriminasi, tapi menurut pengalaman yang sudah-sudah. OG di kantor ini sering kali dipecat gara-gara berurusan dengan Pak Adam. Ada saja kemarahan pria pemilik perusahaan itu yang bisa membuat OG dipecat begitu saja.
"Iya," Ajeng tersenyum. "Ya udah aku duluan ya, Fif." Ajeng mulai membalik tubuhnya. Baru saja dua langkah, Ajeng membalik tubuhnya lagi menghadap Afif. "Kamu kalau mau pulang, duluan aja, Fif."
Afif bingung, antara mau mencegah Ajeng atau membiarkannya pergi ke ruangan Pak Adam. Saking lamanya berpikir ia malah sudah mendapati Ajeng yang memasuki lift itu tanpa beban. Tanpa memikirkan bahwa sebentar lagi dirinya akan bertemu dengan sosok pemarah yang siap mengakhiri pekerjaannya.
Terlalu lama berdiri diam, Afif pun mulai merasa berat dengan barang bawaannya. Ia akhirnya kembali melangkah menuju pantry dan hendak menanyakan pada kedua rekan kerja sesama OB-nya.
Baru saja masuk, Afif melihat Pak Didi sudah memakai jaket kulit sintetis hitamnya. "Udah mau pulang, Pak?" tanya Afif sambil meletakan baki ke atas bak cuci.
"Adit hari ini ulang tahun, Fif. Bapak harus pulang cepet," jawab Pak Didi. "Tadi kamu ketemu sama Ajeng?"
"Ketemu, Pak. Tapi tadi dia pergi bawain minum buat Pak Adam. Perasaan kita udah sepakat kalau Ajeng untuk sementara waktu enggak boleh nganterin apapun ke ruangan Pak Adam deh. Aku enggak kebayang gimana kalau dia dipecat sama Pak Adam?"
Pak Didi yang sudah siap pulang pun kembali duduk di salah satu kursi kosong. "Bapak tadi udah cegah. Tapi dia niat banget bantuin Bapak buat nganterin kopi ke mejanya Pak Adam. Awalnya Bapak udah minta tolong ke Gita, tapi dia malah enggak mau dan buru-buru pulang. Bapak kan mau pulang cepet karena Adit ulang tahun. Orang rumah juga udah pesen supaya Bapak pulang cepet."
Afif mendesah. Ia tentu tidak bisa menyalahkan Pak Didi. Ajeng pun tidak bisa dipersalahkan karena niatnya untuk membantu Pak Didi. Dan menurutnya yang patut dipersalahkan adalah Gita. Karena seperti biasanya, Gita bersikap egois.
"Ya sudah, Bapak pulang duluan saja. Kan katanya mau ke acara ulang tahun Adit. Masalah Ajeng, biar aku yang nungguin perkembangan dia, Pak."
Pak Didi terdiam untuk beberapa saat. Hingga akhirnya ia beranjak berdiri dan mengatakan pada Afif. "Bapak pamit pulang dulu, Fif. Salamin buat Ajeng juga. Dan kalau terjadi apa-apa, Bapak minta maaf ke Ajeng."
Afif hanya mengangguk. Ia tahu Pak Didi saat ini merasa bersalah, tapi mau bagaimana lagi? Yang bisa mereka lakukan saat ini hanya berdoa supaya Ajeng jauh dari kesialan yang akan terjadi sejak memasuki ruangan Pak Adam.
***
Sampai di lantai 3, lift yang dinaiki Ajeng kembali terbuka. Ia melihat laki-laki yang tadi pagi ditabraknya.
"Eh, kita ketemu lagi." Iham tersenyum lebar saat mendapati Ajeng di dalam lift, sendirian. Saat ia mulai masuk, lift pun kembali tertutup. "Kayaknya kita jodoh loh, Jeng."
"Mas Iham ini ada-ada saja," ujar Ajeng, malu tapi mau. Bersyukur sekali jika ucapan Iham benar, berjodoh dengan lelaki tampan di sebelahnya pasti merupakan anugerah dari Tuhan.
"Kamu mau nganterin ke lantai 5?"
Ajeng mengangguk. "Buat Pak Adam, Mas. Di lantai 5 kan cuma ada ruangannya Pak Adam sama tempat meeting aja."
Iham tahu hal itu. Ia bersandar di lift sambil memperhatikan Ajeng lebih lekat. Dari tinggi badannya saja, Iham langsung teringat pada Jingga, perempuan yang sangat ia sayangi.
"Mas Iham ini baru ya di kantor?" tanya Ajeng.
Iham yang sejak tadi memperhatikan Ajeng pun mulai gugup. Ia menegakan tubuhnya kemudian mengangguk. "Baru hari ini."
"Pantesan, mukanya enggak terlalu familiar waktu pertama kali ketemu."
Iham tidak membalas karena waktunya bertepatan dengan lift yang terbuka. Mereka sudah sampai di lantai 5, di mana ruangan Pak Adam berada. "Kamu masuk duluan aja, Jeng. Saya mau ngobrol sebentar sama sekertarisnya Pak Adam. Nanti biar saya juga yang nyampein kalau kamu mau ngasihin kopi buat Pak Adam."
Ajeng memperhatikan seorang wanita yang sedang duduk di balik meja kerjanya yang dipenuhi laptop, berkas-berkas, dan alat tulisnya sebentar kemudian menganggukan kepalanya menjawab ucapan Iham. Saat mereka melangkah makin mendekati sekertaris Pak Adam, Ajeng pun hanya menunduk dalam.
"Farah, dia mau nganterin kopi buat Pak Adam." Iham mengajak Farah bicara.
Farah sudah tahu kalau Pak Adam memesan kopi tapi rasanya dia baru melihat OG itu untuk mengantarkan kopi ke ruangan Pak Adam. Biasanya jika bukan Gita pasti Pak Didi. "Oh iya. Ngomong-ngomong Mas Iham jadi kerja di sini?"
"Jadi dong!" Iham tersenyum.
"Kok tadi enggak ketemu Farah sih, Mas, pas istirahat."
"Saya enggak istirahat buat nyelesain pembukuan. Kayaknya Pak Adam bener waktu bilang ada yang salah dari laporannya Pak Nugroho."
"Ada yang salah gimana, Mas? Apa maksud Mas Iham, Pak Nugraha melakukan manipulasi angka?" tanya Farah dengan suara yang makin mengecil.
Iham tersenyum tipis dan lebih memilih tidak membongkar maksud hatinya. "Nanti kamu juga tahu."
***
Ajeng mengetuk pintu ruangan Pak Adam tiga kali sebagai bentuk sopan santun sebelum akhirnya memasuki ruangan besar nan luas itu. Tapi baru saja merasa kagum, jantungnya merasa kaget saat mendengar suara bentakan yang seperti berasal dari orang yang mengamuk.
"SAYA TIDAK MAU TAHU BAGAIMANA CARANYA ... KAMU PAKE OTAK, KALAU KAMU MASIH TIDAK BISA MENGHADAPI ORANG-ORANG ITU, SAYA TIDAK AKAN MEMBAYAR KALIAN SEPESER PUN. CAMKAN ITU!"
Ajeng yang masih berdiri diam makin kaget saat melihat laki-laki yang sedang marah itu kemudian membanting telepon sambil menggeram kesal.
"Dasar t***l, preman enggak berguna!" makinya lagi kemudian menutup matanya.
"Pak Adam," panggil Ajeng sambil melawan rasa takutnya. Ia tahu dan sadar bahwa pertemuan pertamanya dengan Pak Adam tidak begitu menyenangkan. Laki-laki yang dikiranya sangat berwibawa kelihatan begitu sangar.
Adam mendengar namanya disebut. Matanya perlahan terbuka dan bayangan OG bertubuh sedang terlihat berada di dekat pintu. Ia tidak mengenal OG itu dan menyakini bahwa gadis di ruangannya tidak lebih dari OG baru menggantikan OG lama yang harus ia pecat karena tidak becus membuat minuman.
"Bawa sini!" perintahnya.
Ajeng segera bergerak meskipun jantungnya merasa makin menciut hingga membuatnya makin berdebar tidak karuan. Sayangnya karena terburu-buru, kaki Ajeng malah tersandung kakinya sendiri dan ia pun terjatuh bersama cangkir kopi yang dibawanya di atas baki.
"Aw," Ajeng merasakan panas di tangannya. Ia terkena kopi yang dibawanya, yang kini cangkirnya sudah pecah berkeping-keping.
Masih merasa kesakitan, Ajeng bukannya mendapatkan bantuan malah mendengar meja digebrak begitu keras. Ajeng makin was-was tapi tetap memberanikan diri melihat Pak Adam. Laki-laki itu memandang dengan wajah marah. "APA YANG KAMU LAKUKAN? BERANI-BERANINYA KAMU MEMECAHKAN GELAS SAYA!"
"Maaf, Pak. Saya enggak sengaja." Dengan wajah memelasnya Ajeng menjawab. Rasanya ia tidak bisa lagi menahan tangisannya.
"KAMU MAU SAYA PECAT!"
"Jangan, Pak! Jangan pecat saya! Saya benar-benar enggak sengaja, Pak. Saya mohon jangan pecat saya, Pak."
"Kamu kira saya peduli," jawab Adam kesal.
Ajeng makin terisak. Ia bahkan tidak kuat untuk bangkit sampai akhirnya ada tangan pria yang membantunya berdiri. "Bangun, Ajeng!"
Ajeng melihat pemilik tangan itu dan tidak menyangka bahwa yang menolongnya saat ini adalah Iham.
Iham memang segera masuk saat mendengar bentakan-bentakan kasar milik Adam. Dan saat dilihatnya Ajeng yang tersungkur, ia pun segera menolongnya.
"Mas, saya enggak mau dipecat!" Ajeng bersuara diiringi isak tangisnya.
Laki-laki di sebelahnya menoleh sejenak kemudian menatap Pak Adam dengan dalam. "Saya antar kamu ke luar dulu, Jeng. Biar saya bantu bicara ke Pak Adam."
"Mas Iham, tolong!"
"Iya, Jeng. Kamu tunggu aja di luar." Iham membuka pintu dan mengeluarkan Ajeng. Setelah itu, Iham kembali menutup pintu ruangan Adam. Saat berbalik, ia menghampiri Adam dengan perasaan kesal. "Mas apa-apaan sih!"
"Kamu enggak perlu ikut campur urusan saya. Di rumah saya memang kakak kamu, tapi di sini, di kantor ini, saya adalah atasan kamu."
"Aku tahu itu, Mas. Tapi bukan begitu caranya memperlakukan karyawan."
"Dia bukan karyawan. Dia cuma Office Girl," balas Adam malas.
"Mas, aku mohon tarik ucapan Mas untuk memecat Ajeng."
Adam terdiam sejenak. Ia menatap adiknya dengan kesal dan menggeleng. "Dia udah saya pecat!"
"Mas Adam," Iham mendesah pendek kemudian menatap kakaknya dengan perasaan kesal. Ia memang tidak bisa melakukan apa-apa sepertinya. "Mas, aku mohon. Aku suka cewek tadi dan Mas enggak boleh pecat dia."
Adam terdiam sejenak. Ia tidak menyangka dengan ucapan adiknya. "Begini cara kamu agar saya tidak memecatnya?"
"Aku serius, aku suka dia. Ajeng mengingatkan aku pada Jingga."
Adam merasakan jantungnya ditohok. Jingga? Bagaimana bisa adiknya menyamakan OG tadi dengan Jingga? Mereka sangat berbeda.
"Mas, Iham mohon!"
Sambil menahan rasa kagetnya akhirnya Adam pun menggangguk.
Iham tersenyum lebar. Ia kembali membalik tubuhnya dan meninggalkan kakaknya yang terdiam.[]
***
Bersambung....