Rahasia

1565 Kata
Bagian 10 Rahasia Kakak Beradik Seminggu telah Ajeng lewati menjadi OG pribadi di ruangan CEO, Adam Bimantara. Meskipun tidak ada perubahan signifikan yang terjadi pada pekerjaannya yang itu-itu saja, Ajeng tetap bersyukur. Ia bahkan merasa lebih beruntung karena pekerjaannya kini hanya mengurusi satu orang laki-laki saja. Meskipun laki-laki itu menyebalkan dan hobi sekali memerintah seenak udelnya, tapi Ajeng yakin dalam hati bosnya sebenarnya memiliki sisi baik yang ia tutup-tutupi selama ini. Seperti halnya Ajeng yang sudah menerima keadaannya dengan lapang d**a, Adam yang dulunya merasa puas ketika melihat Ajeng kesusahan kini malah sedikit demi sedikit merasa iba. Semua itu karena adiknya, Iham. Tapi selain karena adiknya, Adam juga merasa iba karena sikap tulus yang selalu diperlihatkan oleh Ajeng. Pokoknya, ia merasa tidak mengerti dengan gadis itu. Bukannya membenci dirinya, Ajeng makin lama makin terlihat perhatian. Dan terlepas dari hubungan Iham dan Ajeng, Adam sudah berhasil menaklukannya. Adiknya menepati janjinya. Tapi meskipun Iham memang tidak menemui Ajeng selama di kantor, tapi diam-diam dia mengetahui hal apa yang sudah dilakukan oleh Adam terhadap Ajeng selama ini. Dan Iham pun mulai menasihati Adam yang macam-macam. Yang pasti, entah perasaan Adam saja atau bukan? Tapi Adam sadar bahwa selama ia hidup yang lebih sering memberi nasihat adalah adiknya, bukan dirinya. Padahal posisinya ialah yang sebagai kakak. "Pak Adam?" suara Farah terdengar di gendang telinganya. Adam yang melamunkan adiknya pun perlahan kembali tersadar. Ia menatap ke arah Farah dengan tatapan bertanya. "Kita bukannya mau makan siang dulu ke Restoran Garden?" tanya Farah bingung. "Memang. Kamu enggak perlu mengingatkan saya dua kali." Adam terus menyetir tapi saat melihat jalan ia merasakan ada suatu hal yang janggal terjadi, tapi ia belum menyadarinya dan terus melajukan mobilnya. "Tapi, Pak. Restoran Garden sudah kita lewati 100 meter yang lalu." Adam mengerem mobilnya secara mendadak kemudian menengok ke sekitarnya. "s**t!" gerutunya. Setelah itu Adam kembali melajukan mobilnya lagi. "Kita cari restoran lain aja. Saya malas kalau harus putar arah." Farah yang duduk di bangku penumpang pun hanya bisa mengangguk. Mereka tadinya habis meeting dengan investor di Kafe Mandarin kemudian memutuskan ke Restoran Garden untuk makan siang. "Kamu tahu restoran yang enak di sekitar sini?" tanya Adam sambil memelankan laju mobilnya. "Ada Restoran Seafood Madona di depan, Pak. Saya pernah coba dan masakan di sana cukup enak." Farah memberikan rekomendasi. Adam yang sudah terlanjur lapar pun segera menuju Restoran Seafood Madona. Sesampainya di sana, mereka pun turun dari mobil. Adam memesan makanan, begitu pula dengan Farah. Tapi saat sedang enak-enaknya memakan makanannya, Adam malah teringat dengan Ajeng. Gadis yang Iham sukai, yang dibilangnya seperti Jingga. Ia berpikir untuk membelikan gadis itu makanan juga. Tapi, untuk apa ia melakukan itu? Ia bahkan biasanya suka membuatnya kerepotan selama ini. Jadi, untuk apa berbuat baik padanya? "Pak Adam, boleh saya bertanya sesuatu hal pribadi kepada Bapak?" tanya Farah takut-takut. Adam yang sedang asyik memakan kerang pun mendongak. "Boleh saja. Kamu berhak bertanya apapun dan saya juga berhak menjawab atau tidak pertanyaan kamu. Jadi silahkan saja!" Farah mendesah pendek kemudian memulai sesi pertanyaannya. "Pak Iham itu adik Pak Adam kan?" Adam terdiam sejenak. Tapi bukan hal aneh kalau Farah mengetahui hal tersebut. Saat acara keluarga, Farah pernah diundang menjadi wakil dari kantor. "Kamu sudah pernah bertemu dengan Iham kan selain di kantor?" Farah mengangguk. "Tapi kenapa karyawan lain sepertinya tidak mengetahui hal itu, Pak? Apakah Bapak sengaja tidak memberitahukannya pada publik?" "Saya tidak perlu mengumumkan apa-apa. Urusan keluarga tidak ada sangkut pautnya dengan kantor. Lagipula Iham sepertinya tidak akan lama bekerja di kantor kita." Adam yakin dengan ucapannya. Sejauh ini Iham mau bekerja di kantor adalah demi Papa. Adiknya memang ingin membahagiakan Papa, menuruti ucapannya. Tapi sebenarnya dia tidak ingin berkecimpung di dunia perkantoran. Iham lebih menyukai dunia anak-anak dan fotografi. "Loh memangnya kenapa, Pak? Saya lihat pekerjaan Pak Iham sangat berkompeten selama ini. Ia bahkan selalu ontime tiap kita minta laporan." "Seperti yang pernah saya bilang sebelumnya, saya berhak untuk tidak menjawab pertanyaanmu, Farah." Adam kemudian kembali memakan kerangnya. Farah yang merasa digantung pun hanya bisa mendesah pendek. *** "Fif," panggil Ajeng bersemangat. "Gimana tadi? Ketemu enggak sama Mas Iham di ruangannya?" Afif yang baru saja mengantarkan minuman ke ruangan Iham pun mengangguk. "Pak Iham ada di ruangannya." Ajeng tersenyum lebar. "Dia kelihatan sibuk enggak?" tanyanya lagi. "Lumayan. Saat aku masuk ruangannya saja dia enggak ngelirik aku sama sekali." Wajah Ajeng berubah kusut. Padahal dia niatnya mau pergi ke ruangan Iham. Ia ingin menemui pria itu karena nyaris seminggu ini ia sudah tidak pernah lagi bertemu dengannya. Belum lagi obrolan penghuni kost yang suka memburunya menceritakan tentang Iham. Hal ini membuatnya menjadi makin rindu untuk bertemu pria itu. "Emang kenapa sih? Kamu ada urusan sama Pak Iham?" tanya Afif sambil mencuci piring dan gelas kotor. "Enggak. Cuma mau ketemu aja. Kan udah lumayan lama aku enggak pernah ketemu Mas Iham. Selain itu, aku mau ngucapin makasih ke dia soal kebaikan-kebaikan dia selama ini ke aku. Berkat dia loh, Fif, aku masih bisa bekerja di sini. Ya walaupun pekerjaanku bikin makan hati setiap hari, tapi gimana pun juga aku bersyukur karena masih punya pekerjaan." Afif yang mendengar hal itu hanya mampu terdiam. Ia merasakan hatinya seperti ditikam oleh benda tak kasat mata saat Ajeng membicarakan pria lain padanya, rasanya sakit tapi tak mampu ia ungkapkan. Apalagi hubungannya dan Ajeng hanya sebatas teman dan untuk merasa cemburu ia tak pantas melakukan hal itu. "Fif, kamu dengerin aku enggak sih?" Ajeng yang tidak mendengar tanggapan dari Afif pun menegur. "Masa iya aku udah ngomong panjang lebar tapi enggak didengerin juga." "Aku dengerin kok, Jeng. Tapi aku juga lagi sibuk nyuci nih! Kamu enggak mau apa bantuin aku?" Afif bersuara dengan riang meskipun hatinya sedikit meradang. "Hehe, bilang dong dari tadi kalau butuh bantuan." Ajeng pun perlahan bangkit dari kursi. Ia mendekati Afif kemudian berdiri di sampingnya untuk membantu mencuci piring. Merasakan kedekatan fisik di antara mereka, Afif pun kembali mencair. Ia senang berada dekat dengan Ajeng. "Duh yang lagi mesra-mesraan sambil cuci piring keliatan lebay banget sih," gumam Gita yang baru saja masuk ke dalam pantry. Ajeng menoleh ke belakang dan melihat wajah meradang Gita. "Mau ikutan, Mbak?" tanyanya tulus. Mendengar tawaran Ajeng, Gita pun bergidik ngeri. Ia menghentakan kedua kakinya dengan keras di lantai kemudian memasuki ruang istirahat OG. "Kenapa ya Fif kok kayaknya Mbak Gita sebel banget ke aku?" tanya Ajeng sambil terus mencuci piring dengan pelan. Setelah selesai, Ajeng menyerahkannya pada Afif untuk dibilas. "Dia mah tiap ada OG baru pasti disebelin. Tuh makanya banyak OG yang enggak betah kerja lama-lama di sini. Habis partner-nya kayak dia sih." "Kata kamu OG di sini banyak yang dipecat sama Pak Adam? Kok malah jadi salahin bak Gita sih, Fif." "Iya, Pak Adam sama Gita tuh sama aja. Sama-sama nyebelin." "Hust, kamu tuh kalau ngomong jangan asal jeplak gitu deh. Nanti kalau kedengaran Mbak Gita gimana?" Afif pun tertawa kemudian mengeraskan suaranya. "Biar aja dia denger! Punya telinga juga kan!" "Afif," Ajeng memanggil Afif dengan gemas. "Kamu tuh enggak boleh gitu ke perempuan. Apalagi Mbak Gita sama kamu kan udah kenal lama." "Ya lumayanlah. Makanya aku tahu sikap jeleknya dia tuh bagaimana. Bahkan aku hapal." "Emang kamu sama Mbak Gita udah berapa lama sih kerja di sini?" tanya Ajeng, mengubah topik pembicaraan. Ia khawatir jika Gita mendengarnya dari dalam ruangan. "Kalau enggak salah sejak aku kuliah semester 2 deh. Sekarang aku semester 5, jadi udah sekitar 2,5 tahun yang lalu." "Aku kagum deh sama kamu, Fif. Kamu mau kerja jadi OB sambil kuliah. Kamu juga kelihatan enggak mau sama sekali dengan pekerjaan kamu." "Perjalanan setiap orang kan berbeda-beda, Jeng. Mungkin jalanku untuk kuliah memang harus sambil jadi OB. Lagipula kuliahku kan ambil weekend." "Kenapa enggak ngelamar jadi karyawan aja, Fif? Kan profesi karyawan lebih bergengsi ketimbang jadi OB." Afif mendesah pendek. Ia pun menjawab, "Dulu aku pernah jadi karyawan, Jeng. Cuma bertahan sampai 7 bulan, setelah itu aku keluar." "Ya ampun, emang kenapa, Fif? Kok kamu enggak pernah cerita-cerita ke aku sih masalah beginian?" Afif tertawa untuk menghibur dirinya sendiri. "Ngapain juga cerita-cerita masalah kegagalan. Dulu aku emang pernah jadi pegawai kantoran, tapi keluar karena aku difitnah sama rekan kerjaku sendiri, Jeng. Dia sengaja menjebak aku dan saat aku enggak punya bukti apa-apa untuk membuktikan kebenaran bahwa aku enggak bersalah, aku pun dipecat. Sejak itu aku jadi enggak pede ngelamar kerja jadi pegawai. Alhasil, ada temen yang kasih info loker jadi OB dan alhamdulillah aku diterima di sini." "Perjalanan hidup kamu ternyata udah banyak juga ya, Fif. Cerita lagi dong tentang kamu." Afif terkekeh mendengar permintaan Ajeng yang terkesan aneh. Tapi kemudian ia kembali bercerita. "Aku saat ini enggak mau berandai-andai, Jeng. Oh ya, kalau temen-temen kost kamu ada yang mau servis komputer atau laptop, kamu bisa tawarin jasaku ya. Gini-gini aku juga pernah jadi tukang servis di tempat servis komputer loh." "Masa sih, Fif? Kamu serius? Kayaknya ada deh temen kost yang katanya laptopnya lagi rusak. Tapi kalau aku kasih ke kamu, nanti jangan kasih harga mahal ya! Penghuni kost di aku kan keadaan perekonomiannya kayak aku. Macam gelandangan yang cuma bisa makan sehari sekali." "Jahat kamu, Jeng! Menghina diri sendiri tuh tidak baik. Itu sama saja kamu mendoakan suatu hal buruk terjadi pada diri kamu." "Haduh, iya deh ampun, Pak Ustadz." Afif tersenyum lebar. Setelah mereka selesai mencuci, Ajeng dan Afif pun kembali bersantai sambil duduk di kursi.[] *** bersambung>>>
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN