8. Wanginya Enak

1528 Kata
Sebenarnya pagi ini aku malas bangun terlalu awal kalau saja bukan karena ada janji dengan Gara. Jam telah menunjukkan pukul delapan pagi saat aku baru bangun dari tidur. Gara mungkin sedang dalam perjalanan menuju Magelang untuk menjemput Nala, anaknya, jadi aku masih punya waktu untuk mandi dan berdandan. Baru kali ini aku menerima ajakan kencan dari seorang pria dengan membawa anaknya serta. Apalagi bisa dibilang sebenarnya kami belum begitu kenal. Dari pembicaraan kami tempo hari, aku hanya tahu jika dia telah bercerai dengan istrinya dan memiliki seorang anak perempuan. Biasanya seorang lelaki akan menyembunyikan kebenaran tentang status mereka di awal pertemuan, tapi tidak dengan Gara. Dia bisa dengan mudahnya membeberkan jika telah bercerai dengan istrinya. Apa mungkin itu adalah salah satu triknya untuk memikat wanita? Sedangkan aku sendiri belum siap untuk bercerita tentang siapa diriku, bagaimana masa lalu dan hal lain yang kadang membuatku ingin menangis saat menceritakannya. Bahkan selama ini tidak ada seorang pun lelaki yang dekat denganku, kuceritakan masa laluku. Aku merasa begitu terpuruk saat mengetahui ada orang lain selain aku yang tahu masa laluku. Aku menerima ajakan dari Gara juga mungkin sebenarnya karena rasa iba mendengar jika hari ini adalah ulang tahun putrinya, belum sampai ke tahap membalas rasa tertarikku padanya. Ah! Apa aku tertarik padanya? Kurasa begitu, tapi masih dalam arti yang sangat umum. Hanya tertarik, bukan memiliki perasaan yang mendalam padanya. Lagi pula ini bukan pengalaman pertamaku didekati seorang lelaki. Aku cukup bersikap normal dan tidak melibatkan perasaanku. Dengan perlahan aku menuju ruang tamu dan membuka jendelanya. Tanganku tertahan saat melihat sosok yang sedang bermain di teras rumah. Aku membuka pintu dan mendapatkan seorang gadis kecil sedang duduk di teras rumahku sambil bermain dengan bonekanya. Keningku berkerut, anak siapa ini? Apa anak tetanggaku? Jarang berada di rumah membuatku tidak terlalu mengenal anak-anak di kompleks perumahanku ini. "Halo, main apa, Sayang?" Sapaku sambil berjongkok di dekatnya. Anak itu menoleh dan menatapku dengan mata bulatnya. Dia tersenyum lebar sambil memamerkan boneka beruangnya. Wajah imutnya membuatku membalas senyumnya. Dia memiliki mata yang sangat indah, seperti mata boneka. "Beruang, Tante," sahutnya. Aku menatapnya dengan lebih saksama. Mata, hidung, dan bibirnya mirip seseorang. Apa mungkin.... "Nala?" tanyaku hampir nggak terdengar. Dia menoleh cepat saat mendengar ucapanku. Sepertinya tebakanku benar, gadis kecil ini memang Nala. "Iya," sahutnya "Nala ya?" ulangku sekali lagi. "Kok Tante tahu nama Nala," ucapnya. Astaga ternyata gadis kecil ini Nala! "Kok kamu bisa di sini? Maksud Tante, Papamu mana?" tanyaku seperti orang bingung. "Papa di rumah." Jarinya menunjuk rumah sebelah. Untuk hal itu tentu saja aku tahu, rumah Gara, kan memang di sebelah rumahku. "Ayo Tante temani pulang rumahmu, nggak baik anak-anak main sendirian kayak gini," kataku sambil menggenggam tangannya dan membawanya ke rumah Gara. Dia tidak menolak dan membalas genggaman tanganku dengan erat. Gara ke mana sih? Kok bisa-bisanya membiarkan anaknya keluar rumah tanpa pengawasan. "Astaga! Kamu dari mana aja, Nala." Gara muncul dari balik rumah sambil membawa ponselnya tepat bersamaan saat aku membawa pulang Nala ke rumahnya. "Dari rumahku," sahutku. "Aku cuma nerima telepon sebentar, tahu-tahunya Nala sudah nggak ada di kamar," ujar Gara padaku. "Dia main di teras rumah sama bonekanya," kataku. "Katanya kamu mau jemput Nala pagi ini, kok cepat banget?" tanyaku bingung. "Oh...tadi pagi banget Bia dan suaminya ke sini sekalian ngantarin Nala," sahutnya. "Bia ada ke sini?" "Iya, tadi dia mau mampir ke rumahmu, tapi kularang karena tahu kamu pasti belum bangun." Aku nyengir mendengar perkataan Gara. Dia tahu saja kebiasaan burukku yang nggak bisa bangun lebih awal di pagi hari. "Oh iya! Sebentar, aku mandi dulu. Nanti kita main lagi ya, Nala," ucapku seperti teringat sesuatu. Dengan buru-buru aku beranjak dari rumah Gara dan melambaikan tangan pada Nala. Saat tanganku menyentuh pintu rumah, aku baru tersadar dengan penampilanku. Celana super pendek dan baju kaos tanpa lengan yang membuat pundakku terlihat dengan jelas karena kaosnya yang sangat longgar. Wajahku juga sudah pasti nggak enak dilihat. Wajahku akan sangat berminyak di pagi hari. Apa yang dipikirkan Gara tentang penampilanku yang nggak banget ini. Entahlah, mungkin dia akan berpikir ulang karena pernah mengatakan ingin mengenalku lebih dekat. *** "Maaf lama," ucapku penuh sesal saat berada di dalam rumah Gara. Aku melirik jam tanganku, sudah hampir jam sembilan pagi. Aku menyelesaikan mandi dan berdandan dengan sangat cepat dan mengabaikan beberapa rutinitas yang biasa kulakukan di pagi hari, melamun salah satunya. "Nggak tahu kenapa, aku selalu kesulitan bangun pagi," kataku lagi. Kalimat ini sudah berkali-kali aku ungkapkan, Gara mungkin sudah bosan mendengarnya. Gara dan Nala terlihat sudah tidak betah menungguku. Dari tadi Nala berkeliaran tidak jelas, dia memainkan apa saja yang bisa disentuhnya. Untung saja rumah Gara ini tidak memiliki banyak perabotan. "Semalam tidur larut?" tanya Gara. Aku terdiam, berpikir sejenak tentang pertanyaan Gara. Setiap malam, aku memang nggak bisa tidur cepat. Insomnia semenjak remaja, dan baru tertidur saat hari menjelang subuh. "Selalu setiap hari," sahutku dan di saat yang bersamaan Gara membimbing Nala agar mengikutinya untuk keluar dari rumah."Kita berangkat sekarang," ajak Gara. Aku kemudian mendudukkan Nala di pangkuanku. Gara menoleh sekilas ke arahku, seperti masih ingin melanjutkan pembicaraan kami tadi. "Oiya, selamat ulang tahun Nala," bisikku di telinganya dan dibalas dengan senyum lebarnya. "Nala boleh minta apa aja hari ini," timpal Gara sambil menjalankan mobilnya. "Apa aja?" Dia mengulang perkataan Gara. Dia terlihat bingung dengan penawaran Gara. Keningnya berkerut dan matanya berputar seperti sedang memikirkan sesuatu. Nala terlihat sedang berpikir dengan keras. "Nala suka berenang?" tanyaku tiba-tiba. Mata Nala membesar dan dia langsung mengangguk. "Ke Jojga Bay Waterpark, gimana?" kataku memberi ide. "Boleh, Nala juga belum pernah ke sana," sahut Gara. "Kalau begitu, aku harus bawa baju ganti," cetusku sambil meminta ijin pada Gara untuk kembali mengambil pakaian gantiku. Aku bergegas kembali rumah untuk membawa baju ganti. Bermain air tanpa membawa baju ganti seperti bencana buatku. Nggak mungkin, kan aku basah-basahan di mobil Gara nanti. Dia sih senang, aku yang risih nanti. Gara membawa mobilnya dengan kecepatan sedang. Nala yang duduk di pangkuanku terlihat serius menatap jalan di hadapannya. Sesekali dia mengajukan pertanyaan sederhana padaku ataupun Gara. Dari interaksi mereka, aku tahu jika Gara sangat menyayangi Nala. Mereka berdua seperti memiliki dunia kecilnya sendiri. Aku lebih sering menanggapi pembicaraan mereka dengan tawa karena Nala memang sangat menggemaskan, setiap perkataan maupun pertanyaan yang diajukannya selalu memancing tawa. Jogja Bay Waterpark terletak di dekat stadion Maguwoharjo. Aku baru sekali ke sana, itu pun diajak Sera karena Loli yang merengek-rengek terus ingin ke sana. Konsep waterpark-nya keren, dengan mengusung tema bajak laut di setiap wahana airnya. Aku menarik napas dan menghelanya dengan perlahan. Karena mandi dan acara berdandan yang kulakukan dengan terburu-buru membuatku seperti hampir kehabisan napas. Rambut basah habis keramasku juga nggak sempat kukeringkan sehingga yang kulakukan saat ini mengibas-ngibaskannya agar bisa cepat kering. "Apa Nala sudah sekolah?" tanyaku karena suasana terasa terlalu hening selain celoteh Nala. "Belum. Sengaja nggak kusekolahin cepat-cepat. Mungkin tahun depan," sahut Gara. "Tante...apa Tante temannya Papa?" tanya Nala tiba-tiba. Kontan aku kehilangan kalimat untuk menjawab pertanyaannya. Sebenarnya aku sama Gara temanan nggak sih? Atau tetangga? Atau... ah entahlah. "I...iya," sahutku entah kenapa kujawab dengan gugup. Menjawab pertanyaan anaknya saja aku bisa segugup ini, pantasan saja papanya bisa buat panas dingin. "Nala, Tante Aruna ini teman dekat Papa." Gara seperti meluruskan jawabanku. Kontan wajahku terasa memanas. Teman dekat? Dekat dari mana? Oiya, dekat karena tetangga, gitu ya maksudnya? "Kita juga bisa jadi teman kok, asal Nala jadi anak baik," kataku mengalihkan pembicaraan Gara. Aku nggak mau Nala kebingungan dengan istilah teman dekat seperti yang diucapkan papanya. Bisa-bisa dia akan mengajukan pertanyaan yang semakin nggak bisa kujawab. "Teman kayak Mesi sama Miki ya, Pa?" tanyanya pada Gara. Aku mengernyit, apa dua orang itu temannya? "Bukan, Nak. Mesi sama Miki kan kucing, masa Tante Aruna mau disamain sama kucing," sahut Gara sambil tersenyum. Eh asem! Masa aku disamain sama kucing. "Nala cuma bercanda, jangan diambil hati ya," ucap Gara padaku. Gimana aku bisa tersinggung jika Nala mengucapkannya dengan wajah lucunya. Aku mengelus rambutnya perlahan. Ada banyak hal yang ingin kutanyakan tentang Nala pada Gara, tapi kuurungkan karena takut jika pertanyaanku terlalu pribadi. Aku menggandeng tangan Nala saat Gara sedang mencari area parkir yang kosong. Area parkir yang ramai karena hari libur membuat Gara agak kesulitan memarkirkan mobilnya. Karena cuaca agak panas, aku membawa Nala mencari tempat untuk berteduh. Tak lama Gara datang menghampirku dan Nala. "Ramai banget," katanya. "Hari libur soalnya," sahutku. Tanganku masih menggandeng tangan Nala, Gara berjalan di sebelahku sambil mengambil alih tas kecil yang berisi baju Nala. Aku mengibaskan rambutku perlahan yang masih terasa basah, entah karena belum kering atau karena keringat. Pemandangan kali ini benar-benar membuat siapa pun yang melihatnya akan merasa iri, lihatlah kami mirip sekali dengan keluarga kecil yang sedang menghabiskan waktu untuk liburan. Tiba-tiba tangan Gara yang bebas merangkul pundakku perlahan. Aku nggak berani menoleh atau pun bicara padanya. Entah kenapa aku merasa sangat salah tingkah. Nggak boleh seperti ini, Aruna. Bukannya aku sudah sering banget dirangkul teman lelakiku saat kami sedang nongkrong, kali ini anggap saja seperti itu. "Panas?" tanyanya sambil membantu menguraikan rambut panjangku. Aku mengangguk dan kemudian menggeleng dalam selang waktu yang hampir bersamaan. Aku ini kenapa sih? "Baru keramas ya? Wanginya enak." Gara mencium rambutku pelan. Astaga! Aku mau mati rasanya! "Wanginya kayak wangi Nala, jadi pengen dicium terus." (*)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN