6. Aneh

1526 Kata
"Dia bilang gitu?" tanya Sera dengan nada bersemangat. Aku menoleh sekilas ke arahnya karena suara Sera yang begitu nyaring membuat telingaku sakit. Sera memang selalu seperti itu, terlalu bersemangat jika menanggapi hal apa pun. "Jangan banyak gerak," kataku sambil menekan kepala Sera agar dia diam. Aku menjepit helaian bulu mata palsu dengan pinset dan menempelkannya dengan perlahan di kelopak mata Sera. "Jangan ketebalan ya," ucapnya lagi. "Iya," sahutku mulai jengkel karena aku tidak pernah menemui klien yang secerewet seperti ini. "Kamu ini sudah gratis, banyak maunya lagi," kataku. Sera terkikik dan membuatku kembali menekan kepalanya agar dia tidak banyak bergerak. Bulu mata Sera sebenarnya sudah lumayan bagus, tebal dan lentik. Tapi entah kenapa dia tiba-tiba merengek-rengek padaku untuk melakukan eyelash extension pada bulu matanya. Katanya dia pengen kemana-mana tanpa mikirin bulu matanya belum dimaskara, nggak penting banget. Biasanya juga dia nggak pernah pakai maskara kok. "Terus...terus kamu jawab apa waktu dia bilang mau kenal kamu lebih dekat?" Sera masih saja membahas soal Gara. Tahu gitu, tadi nggak kuceritakan soal Gara padanya. Hanya dengan Sera aku bisa menceritakan apa pun, dari hal penting sampai hal remeh lainnya. Sera seperti memiliki kemampuan yang tak pernah bosan mendengar ceritaku. "Ya nggak bilang apa-apa, cuma senyum aja," sahutku sambil tetap berkonsentrasi pada bulu mata Sera, mencegah jangan sampai lemnya akan mengenai matanya. Memang benar yang aku katakan pada Sera, setelah ucapan Gara yang awalnya lumayan membingungkanku, akhirnya aku hanya bisa menanggapinya dengan senyuman. Aku tidak mungkin dengan antusiasnya mengatakan yang sebenarnya, kan? Bahwa sebenarnya ingin sekali menjawab boleh banget pakai huruf kapital. "Kok gitu?" tanyanya heran. "Ya mesti jawab gimana lagi. Masa aku juga bilang mau kenal dia lebih dekat," sahutku. Sera hampir saja tertawa dengan kerasnya kalau saja aku nggak memberinya kode agar dia bisa mengontrol dirinya sebelum lem bulu mataku mengenai matanya. “Kan, malu-maluin,” kataku lagi. "Paling nggak kamu tanya, mau kenal lebih dekat sebagai apa? Sebagai tetangga, sebagai teman, atau pacar." Sera terkikik setelah menyelesaikan kalimatnya. Aku jadi berpikir tentang ucapan Sera, apa sebenarnya Gara hanya ingin mengenalku secara dekat dalam lingkup sebagai tetangganya? Bisa jadi, kan? "Sudah beres," kataku nggak memedulikan ucapannya. Sera bangkit dan segera menuju cermin. Dia mengedipkan matanya berkali-kali dan menatap wajahnya penuh kagum. "Bagus, seperti mauku. Kamu memang berbakat banget," pujinya. Aku mencibir, kalau sudah ada maunya baru muji. "Jangan suka ngucek-ngucek mata. Kalau dalam seminggu sudah rontok, aku nggak mau perbaiki lagi," ancamku. Sera tertawa sambil memberi kode dengan jempolnya. "Aku nggak lihat Loli dari tadi," kataku mengucap nama anak perempuan Sera. "Lagi sama pengasuhnya ke mini market depan. Sengaja aku ungsikan, takut dia gangguin kita," sahutnya. "Padahal aku lagi kangen sama dia," ujarku. Mata Sera mengerling tajam, seperti ingin mengatakan kenapa cuma kangen sama anaknya. "Loli jadi anak angkatku aja ya," kataku tiba-tiba. "Nggak! Kamu masih berpotensi besar bisa menghasilkan lusinan anak. Umur baru tiga puluh, rahim oke, indung telur oke, yang nggak oke cuma laki-lakinya aja." Sera pura-pura sedang berpikir dengan keras. "Oiya, tadi kamu bilang si Gara ini sudah punya anak. Nah sama dia aja, otomatis anaknya juga jadi anakmu." Usul Sera terdengar nggak masuk akal. "Aku bahkan belum tahu pasti apa memang dia sama istrinya sudah benaran cerai atau cuma pisah gitu aja," timpalku. "Masa sih berani ngedekatin kamu tapi belum cerai sama istrinya. Kamu juga sih jadi orang cuek banget, coba sekali-kali tanya-tanya soal kehidupan pribadi dia," usulnya. "Nggak deh, nanti dia mikir aku usil banget." Padahal sebenarnya hal itu sudah ingin kutanyakan di awal pertemuanku dengan Gara, tapi tentu saja tidak bisa kulakukan karena gengsi. "Loh, dia aja bilang mau kenal kamu lebih dekat, masa kamu nggak boleh. Kamu ya, coba sama lelaki jalin komunikasi lebih baik lagi. Jangan ditanya apa jawabnya cuma satu kata, nggak ditanya cuma diam," omel Sera. "Nggak gitu juga sih, Ser. Memangnya aku ini mesin penjawab telepon." Sera terkikik sambil masih mematut wajahnya di cermin. Aku menatap punggung Sera. Sera seumuran denganku, telah memiliki satu orang anak perempuan yang berumur tiga tahun. Dia wanita yang beruntung, memiliki suami yang baik, setia, dan begitu menyayangi dia dan anaknya. Kami berteman sejak aku masih tinggal di rumah Tante Maika, karena rumah orang tuanya kebetulan berada di komplek perumahan yang sama dengan Tante Maika. "Suruh si Gara itu jemput kamu ke sini dong, aku mau lihat orangnya. Kamu, kan tahu aku punya kemampuan menilai lelaki itu baik atau nggak cuma dengan mengajaknya ngobrol," pintanya dengan nada sedikit menyombong. Karena sudah terbiasa dengan sifat sombongnya, aku menanggapi ucapannya dengan bergumam. "Jangan sekarang, dia kerja loh, Ser. Orangnya sibuk banget kayaknya," sahutku. "Mas Gara, bisa jemput aku di rumah temanku nggak. Mobilku mendadak mogok dan aku nggak tahu lagi mau ngubungin siapa." Aku menoleh dengan cepat ke arah Sera. Dia sedang memegang ponselku sambil berbicara sendiri. Aku panik saat melihat Sera sedang mengetik pesan di ponselku. Dia pasti ingin mengirimkan pesannya pada Gara. "Aku nggak panggil dia dengan sebutan mas," ucapku berusaha merebut ponselku. "Oke, hapus masnya. Nah sudah dikirim." Sera memamerkan layar ponselku yang berisi pesan yang baru dikirimkannya pada Gara. Mataku membesar, kesal dengan kelancangannya. "Dia balas! Cepat banget balasnya. Dia bilang bisa. Oke, aku kirimin lokasimu." "Sera!" jeritku kesal. Mau disimpan ke mana harga diriku jika aku meminta-minta pada Gara seperti ini. "Nah itu Loli sudah pulang." Sera bergegas meninggalkanku seperti sengaja mengalihkan perhatian dan membuatku bertambah kesal. Aku sebenarnya paling nggak suka jika harus sampai merepotkan orang lain untuk hal yang sebenarnya bisa kulakukan sendiri. Aku terbiasa hidup mandiri dan merepotkan seseorang karena hal tidak penting seperti ini malah membuatku malu. Apalagi kali ini kesannya aku seperti membohongi Gara hanya agar dia menjemputku di rumah Sera. "Tante Arun...!" Loli muncul dengan setengah berlari dan segera memelukku. "Rambutnya wangi," kataku sambil mencium rambut Loli yang beraroma permen karet. "Tante Arun bawa coklat?" tanyanya dengan mata berbinar. "Tante bawanya s**u coklat, mau kan?" tawarku. Loli bergelayut di lenganku dengan manja. Ponselku berdering saat aku sedang bermain bersama Loli di ruang bermainnya. Nama Gara terlihat di layarnya. Aku menarik napas panjang sebelum menjawab panggilannya. Dan hal gila mulai terulang lagi, aku merasa sangat berdebar, padahal hanya menjawab panggilan teleponnya. "Aku sudah di depan rumahnya, boleh kamu keluar?" katanya dari balik telepon. Aku mengiyakan permintaannya sambil mencari Sera. Awalnya aku kira Gara akan menolak permintaan Sera karena setahuku jam segini Gara pasti masih berada di kantor tapi ternyata dia datang lebih cepat dari perkiraan. "Aku pulang dulu ya, orangnya sudah di depan," kataku. "Oh, mana?" Sera terlihat sangat bersemangat. "Mobilku besok aja aku ambil," kataku nggak memedulikan ucapannya. "Tante pulang ya, Sayang." Aku memeluk Loli dan mencium pipinya sekilas. Sera mengikutiku dari belakang sambil menggendong Loli. Wajahnya terlihat sangat penasaran, beberapa kali dia terlihat nggak sabaran karena aku masing menggoda dan bermain bersama Loli. "Hai, aku Sera. Sahabatnya Aruna," kata Sera memperkenalkan diri pada Gara. Aku menatap penampilan Gara yang masih mengenakan pakaian kerja, dia pasti meninggalkan pekerjaannya untuk bisa ke sini. Dan itu membuatku merasa sangat bersalah. "Sagara, panggil aja Gara," sahut Gara menyambut uluran tangan Sera. Mereka berdua berbicara basa-basi selama beberapa menit, mendiskusikan hal nggak penting yang nggak pernah terlintas di kepalaku. "Kami pamit ya," kata Gara mengakhiri pembicaraan mereka. Aku mencium Loli sekali lagi dan melambaikan tangan pada Sera. "Maaf, harusnya aku nggak minta kamu jemput," kataku dengan nada menyesal. Gara menoleh ke arahku sekilas sambil menjalankan mobilnya. Rasa bersalah semakin bertambah saat melihat wajahnya yang terlihat lelah. "Nggak apa-apa, aku juga tadi memang lagi di luar," sahutnya. "Jangan sungkan kalau mau minta tolong," lanjutnya. Aku bergumam pelan dan membiarkan keheningan mengiringi perjalanan kami. Dengan keadaan seperti ini, aku mendadak menjelma menjadi wanita pendiam yang kehabisan bahan pembicaraan. Tentu saja wanita lain mungkin akan melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan saat ini. Aku baru saja mengenalnya, tidak mengerti topik pembicaraan kesukaannya, ataupun hal yang disukainya. Kalau aku tiba-tiba membahas tentang make up dengannya, tentu saja jadi nggak nyambung. "Mau langsung pulang?" tanyanya tiba-tiba. Aku menoleh ke arahnya karena terkejut dengan pertanyaanya. Tentu saja aku mau langsung pulang, tapi kalau dia berminat mengajakku berkeliling beberapa saat, aku nggak keberatan kok. "Eh...iya. Tapi kalau kamu mau kembali ke kantor, singgahin aku di jalan aja. Aku bisa pesan taksi kok," kataku. Ini bohong, aku pasti akan merasa sangat kesal jika dia benar-benar melakukannya. Dasar wanita, lain di hati, lain yang terucap. "Mana mungkin aku tega ninggalin kamu di jalan," ujarnya dan ucapannya itu membuatku lega. "Dan mana mungkin aku tega buat kamu ninggalin kerjaan gara-gara ngantarin aku," balasku meniru ucapannya. Gara terkekeh. “Aku lagi bebas kok, harusnya memang balik ke kantor lagi tapi aku rasa bisa ditunda beberapa waktu kalau cuma buat antarin kamu pulang,” ujarnya sambil tertawa. Mendengar jawabannya yang seperti itu membuatku nggak bisa membalas ucapannya lagi karena demi apa pun itu aku merasa sangat tersanjung sekaligus grogi karenanya. "Apa kamu ngerasa ada yang aneh?" tanyanya masih sambil tertawa. Aku mengernyit sambil menoleh ke arahnya. "Aneh? Nggak ada tuh," sahutku bingung. Apa penampilanku hari ini terlihat aneh di matanya? Atau ada hal aneh yang nggak sengaja aku katakan? Rasanya nggak ada? Jadi apa arti aneh yang dia ucapkan itu? "Aneh banget, cuma ngobrol kayak gini sama kamu bisa buat aku berdebar-debar," ucapnya dengan wajah serius. (*)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN