Bab 4

1279 Kata
“Ada benarnya juga kamu, Ti. Jadi, ya, aku pikir semuanya balik lagi aja deh ke masing-masing orang, terserah aja,” jawabku sambil tersenyum. Kurasa, meski ini hanya pembicaraan lewat sambungan telefon, tapi aku yakin Tias bisa merasakan nada suara yang dibarengi dengan senyuman ini, sama sekali bukan nada dan ekspresi apatis. Meski pada dasarnya aku memang tidak terlalu peduli dengan urusan orang lain. Kadang aku berpikir, apa yang aku anggap benar, belum tentu benar menurut orang lain. Dan jika orang lain benar pun, belum tentu sesuai dengan prinsipku. Jadi ya, entah setelah lulus SMA akan melanjutkan kuliah, entah langsung bekerja, atau kuliah sambil bekerja, semua kupikir sah-sah saja. Atau bahkan selepas SMA langsung ijab sah juga itu tak ada masalah sama sekali. “Ah, kamu kebiasaan, kalo udah mentok pasti komentarnya ‘terserah’,” balas Tias. Kemudian terdengar tawannya yang renyah. Pembicaraan lewat telefon itu akhirnya aku akhiri, karena aku mendengar suara ibu berteriak dari dapur memanggil namaku. Aku meletakkan begitu saja ponselku di atas meja, tapi sebelum aku benar-benar turun ke bawah untuk melihat ibuku. Sekali lagi aku mengecek layar handphone. Aku masih menunggu kabar dari Satya. Dasar bocah tengil, umpatku setiap kali aku kesal memikirkan tingkah lakunya yang menyebalkan. Ia memang pernah berkata bahwa setelah kami putus, ia akan menghilang dari hadapanku agar aku tidak sedih, ternyata ucapannya benar. Kupikir awalnya semua itu hanya gertakan. “Ya, kita putus,” Kata-kata terakhir Satya sebelum akhirnya ia menghilang bagai ditelan bumi, masih terngiang dengan jelas di telingaku. Kata yang sebenarnya tidak pernah aku sangka, bahkan dalam khayalanku sekalipun. Yang aku pikirkan, kami akan terus berhubungan seperti itu. Bahkan jika pikiranku sedang liar, aku sering kali membayangkan diriku dan dirinya menua bersama. Membangun keluarga yang Samara (Sakinah, Mawaddah, Rohmah). Memiliki anak-anak yang akan kami sayangi sepenuh hati, bahkan hingga menimang cucu. Ya, begitulah yang aku mimpikan. Kadang pikiranku memang sekacau itu. Jadi mendengar kata “putus” tidak ada dalam kamusku dan Satya, lebih tepatnya kamusku saja mungkin, hingga kini pun sama sekali belum bisa aku percayai. Aku masih berharap ini hanya mimpi, di mana akan hilang seketika ketika aku terbangun. Sayangnya semua itu bukan mimpi sama sekali. Hubungan kami memang sudah berakhir. “Sudah jangan sedih!” katanya. Aku masih bisa merasakan tangannya yang sebelah kanan menepuk-nepuk pundakku. Ia pikir dengan begitu akan menghentikan isak tangisku? Baru kali ini dia salah tentangku, tak akan ada yang bisa menghentikan tangis karena putus cinta, kecuali waktu. Bukannya berhenti, aku malah menangis sejadi-jadinya. Yang kemudian membuatnya panik sejadi-jadinya juga. “Ay, aku malah jadi bingung, aku harus apa. Sudah... sudah... jangan sedih lagi,” ia masih berusaha keras menenangkanku. “Aku pengen kamu menghilang aja sekalian!” bentakku pelan ketika itu. Karena kesal. Bukan kesal padanya, tapi aku kesal pada keadaan, kesal pada pilihannya untuk ikut seleksi AAL. Toh, masih banyak profesi lain di muka bumi ini selain jadi tentara, umpatku setiap kali mengingat itu. Tapi ya sudah lah, semua sudah terlanjur, entah sekarang ia sudah lolos ke tahap apa pun aku tidak tahu, karena sama sekali tak ada kabar darinya atau orang lain yang mengabarkan padaku. Diriku sekarang di hatinya mungkin sudah menjadi “sebuah kisah klasik” seperti judul lagu. “Oke! Aku janji aku bakal menghilang setelah ini, asal kamu jangan sedih lagi!” ucapnya. Dasar manusia aneh, aku memang menyuruhnya untuk menghilang, tapi bukan berarti benar-benar menghilang. Lagi pula aku hanya asal bicara, karena aku sedang kesal. Sungguh pria memang tidak peka. *** -SATYA- Baru diumumkan lewat sebuah pengumuman tertulis, bahwa aku lolos untuk tahap daerah. Selanjutnya aku masih harus terus berjuang untuk seleksi lanjutan di tingkat pusat. Mamak yang mendengar soal ini langsung melakukan sujud syukur saat itu juga, padahal saat aku mengabarinya, ia sedang menjemur pakaian basah di halaman rumah, sontak saja menjadi pusat perhatian para tetangga sekampung. Sedangkan bapakku yang memang paling pintar menyembunyikan perasaan. Tak disangka juga ikut berkaca-kaca. Melihatnya aku jadi teringat saat ia mengantarkanku menyerahkan berkas administrasi ke markas TNI-AL di Jalan Gunung Sahari beberapa minggu lalu. Tiba-tiba, aku jadi penasaran, apakah temanku yang paling dekat saat mengikuti tahapan seleksi, Udin, juga berhasil diberangkatkan ke Malang untuk mengikuti serangkaikan tes lanjutan tingkat pusat. Aku sudah menyimpan nomor ponselnya sebelum kami pulang ke rumah masing-masing dan menunggu pengumuman. Setelah aku dapati nomornya di daftar kontak handphone, aku menghubunginya. “Bro, ini Satya. Gimana hasilnya?” tanyaku, sesaat setelah kami berbasa-basi lewat sambungan telefon. Aku bertanya dengan sangat hati-hati, khawatir bukan kabar baik yang akan aku dengar. “Eh, Sat, apa kabar? Akhirnya telefon juga, saya pikir waktu itu kamu catat nomor telefon hanya basa-basi saja,” jawabnya. Ia sama sekali belum menjawab pertanyaanku. Jangan-jangan memang benar, bahwa kabar buruk yang akan kudengar. “Ngapain basa-basi segala, tenang aja, kalo hanya nomor ponsel sih, handphoneku masih kosong untuk simpan kontak orang,” komentarku. “Mantap. Eh, Sat, gimana hasil pengumumannya?” alih-alih Udin menjawab pertanyaanku, ia malah membuat pertanyaan yang sama “Lolos, Din! Kamu?” jawabku. “Hmm...” komentarnya tanpa kata-kata yang jelas. Membuat firasatku semakin tak enak. “Ya sudah, kalau kamu gak mau jawab, santai aja, gak usah diambil pusing,” kataku. “Nggak kok. Nanti kita ketemu di Malang ya, Bro!” jawabnya dengan mantap. Mendengar itu aku gembira sekali. Kami mengobrol banyak, dalam obrolan kami pun terselip harapan untuk bisa bersama hingga ke Surabaya. Apalagi ketika tahu, bahwa dari sekian banyak peserta yang mengikuti seleksi AAL dari tempatku mendaftar hanya bersisa 17 calon taruna saja yang lolos untuk seleksi lanjutan di tingkat pusat, bergabung dengan calon taruna lain se-Indonesia. Setelah menutup teleponnya, aku tak langsung kembali merapikan barang-barang yang akan aku bawa ke Malang. Aku malah jadi teringat seseorang lagi yang sepertinya harus aku kabari. Dia adalah Ayu. Antara canggung dan rindu, aku mencari namanya di kontak telepon. Namun entah mengapa mendadak nama itu tak ada lagi di sana. “Sial! Bukannya waktu itu sudah aku hapus ya?” gerutuku dalam hati. Aku tidak ingat nomor itu memang sudah tidak ada lagi di daftar, tiga hari pasca putus aku memang masih menyimpan kontaknya di handphoneku, tapi setelah itu aku menghapusnya—lebih tepatnya tak sengaja terhapus. Aku sempat ingin menghubunginya, namun karena grogi antara ingin menghubunginya lagi atau tidak, jariku malah menekan tombol delet pada nama kontaknya waktu itu, alih-alih menekan tombol panggil. Tapi ya sudahlah, tak ada gunanya menyesal. Sebetulnya jika aku mau, bisa saja aku menanyakan nomor Ayu ke teman sekelasnya, tapi urung. Mungkin kontaknya memang sudah terhapus dari phonebook di hanphoneku, tapi tidak di hatiku. “Woi, Pitung! Jangan kebanyakan ngelamun, tar lu kesambet jin qorin Yos Sudarso baru nyaho lu!” teriak Kirana, kakak perempuan semata wayangku, kami hanya terpaut satu tahun saja, jadi kami sangat akrab seperti teman, teman berkelahi, maksudku. “Malah bagus kali, kesambet arwah Yos Sudarso, sapa tahu bisa ikut bantuin jawab pertanyaan-pertanyaan ujian tulis, biar lolos,” gumamku. “Lu ngomong apa barusan?” tanya Kirana, masih berdiri di ambang pintu. Sepertinya dia tak mendengar dengan jelas gumaman adiknya ini. “Nggak... gak ngomong ape-ape! Udah sana pergi, jangan berdiri di situ, udah kayak ganjelan pintu aja. Huh, bukin gak konsen,” jawabku sedikit meninggikan volume suara. “Eehhh, kurang ajar lu ya, sama kakak sendiri, awas lu! Gue laporin Mamak!” “Terserah,” timpalku sekenanya. “Eh, ini anak satu, kebangetan. Ya udah, sana makan, gue udah masakin lu ayam bakar favorit lu noh, makan dulu baru nanti beberes lagi!” ucapnya. Meski cerewet kakakku ini sangat perhatian. Dia sudah meninggalkan kamar begitu saja, sebelum aku mengucapkan terima kasih. Dia kakak perempuanku, Kiranasasi Ayunindya Danastri Dyah Ayusita. Namanya tak kalah panjang denganku, sama-sama menghabiskan kolom nama di kartu keluarga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN