3. Butuh Pijatan

1123 Kata
Alis Raizel mengernyit saat melihat Qian berteriak dengan memejamkan mata sementara kedua tangannya menyilang di depan d**a "Apa wanita ini gila?" batinnya. Memilih mengabaikannya, Raizel segera pergi meninggalkan Qian yang masih menjerit. Sementara Qian sendiri tak berani membuka mata saat sampai kesadaran menerpa dan membuatnya melebarkan mata saat itu juga. Rupanya semua adegan panas itu hanyalah bayangannya semata. Ia mengedarkan pandangan dan tak mendapati Raizel di sana. Seketika wajahnya memerah sempurna. Raizel pasti mengira ia membayangkan hal m***m dan segera pergi. "Kyaaa … memalukan sekali …." teriaknya dan menutup wajahnya menggunakan dua tangan. Namun tak berselang lama ia meringis sakit saat rasa perih kembali mendera. "Awh … sh …." Ia mendesis saat mencoba melihat luka lecet di siku tangannya. Padahal tidak separah lutut tapi rasanya benar-benar seperti luka kecil yang ditaburi garam. Ia mencoba mencari ponselnya dan ia baru ingat, ponselnya hilang. Ia mendesah lelah dan berbaring mencari posisi ternyaman. Menatap langit-langit kamarnya tiba-tiba air mata mulai berkumpul di pelupuk mata. "Sekarang, bagaimana bisa aku liburan dengan kondisi seperti ini?" gumamnya nelangsa. Rencana hanya tinggal rencana. Memilih menyingkirkan perasaan terpuruknya karena rencananya terancam gagal, ia mencoba memejamkan mata dan beristirahat. Setidaknya dengan begitu ia tak akan merasakan sakit saat ia tertidur. Namun sepertinya ia salah, ia justru tak bisa tidur karena rasa perih yang menyiksa. Menggerakkan kaki sedikit saja rasanya luka di lututnya kembali terbuka. Keesokan paginya ia benar-benar tak bisa bergerak. Seluruh tubuhnya terasa sakit. Sepertinya ia memang butuh tukang urut, tapi apakah di sana ada? Melirik jam di dinding, rupanya sudah pukul delapan pagi. Kryuuuk …. Ia memegangi perutnya yang berbunyi meminta makan. Ia benar-benar lapar, dan saat hendak bangkit seluruh sendinya terasa mau copot. Tok … tok … tok …. Qian mendesah berat, siapa yang mengunjunginya? Ingin bangun saja rasanya tak mampu. Ia mengambil nafas panjang kemudian berusaha bangun dan dengan hati-hati, sangat hati-hati, ia mulai menurunkan kaki. "Awsh …." Lagi-lagi ia meringis saat mulai berdiri dan hendak berjalan untuk membuka pintu. Ia berpegangan pada dinding dan berjalan sedikit tertatih. Dan saat membuka pintu, ia begitu terkejut mendapati Raizel berdiri di sana. "Mau apa kau?" ucapnya dengan wajah bersemu merah kala mengingat pikiran mesumnya semalam. Raizel hanya diam dan memberikan sebuah ponsel. "Ponselku!" Diambilnya segera ponsel itu dan menelitinya dengan seksama. Dan benar saja itu adalah ponsel miliknya. "Di mana kau menemukannya?" "Dalam dasbor motormu. Sekarang motormu sudah dikembalikan ke tempat sewa dan aku sudah membayar biaya perbaikan," ujar Raizel tanpa ekspresi berarti. "Te-- terima kasih." Qian tak mengira, Raizel benar-benar bertanggung jawab. Bukan hanya membawanya ke klinik tapi juga membayar biaya perbaikan. "Bagaimana dengan lukamu?" tanya Raizel dengan mengarah pandangan ke arah lutut Qian. "Masih sakit saat berjalan." "Besok waktunya check up. Jika aku tak bisa mengantarmu, aku akan menyuruh sopir mengantarmu ke klinik." Setelah mengatakan itu Raizel hendak pergi namun Qian segera mencegahnya. "Ti-- tunggu!" Ditariknya kecil ujung kaos Raizel dan membuatnya menoleh. "Apa kau tahu tempat pijat di sini? Seluruh badanku terasa sakit. Sepertinya aku butuh tukang pijat atau tukang urut," cicit Qian di akhir kalimat. Ia tahu rasanya sangat tidak sopan meminta bantuan setelah Raizel memenuhi tanggung jawab. Tapi mau bagaimana lagi, ia tidak tahu mengenai tukang pijat di sana. Raizel menatap Qian dengan pandangan tak terbaca. Sementara Qian sedikit cemas dengan tatapan matanya itu. Qian pikir karena dari negara yang sama mungkin Raizel akan membantunya. Terlebih semua juga karena Raizel meski dia sudah sangat memenuhi tanggung jawabnya. Raizel merogoh ponsel dalam saku celananya dan menghubungi seseorang. "Kirimkan tukang pijat ke sini. Ya. Ke hotel tempat wanita semalam." Raizel memilih memanggil tukang pijat daripada membawa Qian ke sana karena ia tidak mau menggendongnya lagi. Meski Qian terlihat ideal namun ia cukup kewalahan menggendongnya dari lobi menuju kamar. "Sebentar lagi tukang pijat sampai," ucapnya memberitahu. Memasukkan kembali ponselnya, kemudian kembali melangkah. "Terima kasih!" teriak Qian. Ia masih berdiri di depan pintu dan melihat Raizel mulai memasuki lift tanpa menoleh padanya meski ia telah berteriak mengucapkan terima kasih. Saat Raizel tak lagi terlihat, ia segera mengusap layar ponselnya dan melihat adakah pesan untuknya atau tidak. Namun sial, ponselnya itu justru mati. "Baterai habis," gumamnya yang kemudian memilih kembali masuk ke kamar dan menutup pintu. Namun sebelum kembali berjalan menuju tempat tidur, ia memilih menunggu di depan pintu. Jadi jika tukang pijat itu datang, ia tidak usah repot merayap untuk membukakannya pintu. Tiba-tiba ia teringat Raizel, ia masih hampir tak percaya masih ada orang sebaik Raizel. Ia berdiri dengan menyandarkan punggungnya pada dinding kemudian setengah menunduk menatap kedua lututnya. Kira-kira saat ia kembali apakah kedua lututnya itu sudah sembuh? Selain itu, bagaimana jika nanti meninggalkan bekas luka? Ah, itu pasti, tidak usah ditanyakan lagi. Ia mendesah lelah dan memijit kecil kepalanya. Selang beberapa saat pintunya diketuk dari luar. Mungkin tukang pijat itu, batinnya. Namun ia salah, karena saat membuka pintu, yang berdiri di sana adalah seorang pelayan yang mengantarkan makanan. "Ang agahan mo, Miss." Yang artinya, sarapan anda, Nona. Qian terkejut, pasalnya ia belum mengatakan bahwa ia tengah sakit, bagaimana bisa seorang pelayan mengantar makanan ke kamarnya? "Sinabi ni G. Raizel na ikaw ay may sakit at hiniling sa amin na maghatid ng pagkain sa iyong silid," ujar si pelayan yang artinya, tuan Raizel mengatakan bahwa anda tengah sakit dan meminta kami mengantar sarapan ke kamar anda. Qian tak begitu mengerti namun mendengar nama Raizel disebut, sepertinya pria itu yang telah memberitahu pihak hotel. "Salamat," balas Qian yang artinya, terimakasih. Setidaknya ia sudah mempelajari bahasa Filipina walau hanya menguasai beberapa kata saja. Terima kasih dan maaf, sangat umum. Membuka pintu lebih lebar, Qian mempersilahkan pelayan itu memasuki kamar dan meletakkan sarapannya ke atas meja kemudian segera pergi. Qian segera menutup pintu dan melihat apa menu sarapannya kali ini. Dan ternyata menu sarapan paginya adalah Arroz Caldo. Yaitu makanan khas Filipina yang terbuat dari beras dimana beras itu diolah menjadi bubur ayam dan diberi beberapa bumbu. Dalam penyajiannya sendiri ditambahkan telur rebus dan saus ikan sebagai penyedap. Qian segera duduk namun dengan sangat hati-hati dan berusaha tidak menekuk lutut. Tapi tetap saja, rasa sakit itu menciptakan sensasi kejut baginya. Dan saat ia telah berhasil duduk dengan susah payah, tanpa menunggu, ia segera menyantap sarapannya yang masih hangat. Ia lupa, ternyata tadi malam ia tidak makan. Pantas saja perutnya kali ini benar-benar menjerit. Saat hendak kembali menyendok makanannya, ia baru teringat jika harus mencharger ponselnya. Meski ia harap tak ada siapapun yang menghubunginya, namun ponsel adalah benda penting yang tak boleh ia lepas. Sementara di tempat lain …. Brak! Pria yang masih terlihat tampan di usianya yang hampir kepala empat itu menggebrak meja dengan keras. Rahangnya yang tegas mengeras membaca berita murahan mengenai anak asuhnya. "Bagaimana mereka berani membuat berita murahan seperti ini?!" teriaknya seraya membanting majalah yang sebelumnya menjadi bacaan pertamanya di musim panas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN