13. Mengambil satu persatu

1294 Kata
"Sebenarnya apa tujuanmu melakukan hal seperti ini, Seruni?" Langkah kaki Seruni langsung terhenti saat Kustanto menghadang langkahnya untuk keluar dari kediaman pria itu, "Kau tahu bukan bahwa Kania adalah anak kandung dari Suseno dan bagaimanapun caranya dia akan mendapatkan haknya." "Apa maksudnya?" "Perubahan surat wasiat yang Suseno lakukan untuk Kania. Aku yakin Suseno melakukan ini atas perintahmu." "Tahu darimana kalau itu semua perintahku? Bukankah kau lihat sendiri kalau yang melakukan perubahan surat wasiat itu Mas Suseno sendiri bahkan dia tidak peduli saat aku melarangnya?!"Sentak Seruni dengan bibir menipis menahan marah, "Aku tahu tidak ada satupun yang menyukaiku dan aku terima semua itu dengan lapang d**a tapi jika aku dituduh karena hal ini, aku tidak akan tinggal diam. Camkan itu, Kustanto." "Seruni, apa yang kamu masih lama?" Suseno yang telah lebih dahulu masuk kedalam mobil kini membuka kaca jendelanya, menatap sang istri dengan bingung, "Hari semakin siang dan Mas harus segera berangkat ke kantor." "Ya Mas." Seruni menjawab sang suami dengan menaikkan nada suaranya supaya suaranya bisa dijangkau oleh telinga Suseno. "Saya rasa kamu paham dengan apa yang saya katakan, Kustanto. Kalau begitu saya permisi." Dagu Seruni naik dengan angkuh sebelum akhirnya membalikkan badan dan berlalu menuju mobil. "Apakah ada masalah? Sepertinya kamu tadi terlihat berselisih dengan Kustanto?" Suseno langsung bertanya begitu Seruni masuk ke dalam mobil dan duduk disebelahnya. "Tidak ada apa-apa, kami hanya berdebat kecil tadi. Lagipula masalah ini bisa kutangani sendiri, Mas." Seruni menoleh kearah jendela, menatap Kustanto yang masih menatap kendaraan mereka dengan tatapan menyelidik. 'Apapun yang terjadi, aku akan tetap menang meskipun itu mustahil, Kustanto.' seringai Seruni terbit dengan mengerikan. "Saya antar kamu pulang setelah itu saya berangkat ke kantor." ucap Suseno sebelum pria itu menjalankan mobil sedannya. Tak lam kemudian mobil berhenti didepan rumah, setelah Seruni turun dari mobil, Suseno langsung melesat menuju kantornya. "Siapkan saya teh dan beberapa makanan ringan dan letakkan di halaman samping!" perintah Seruni sebelum wanita itu masuk kedalam kamar untuk ganti pakaian kemudian menuju halaman samping rumah, duduk dengan santai sembari membaca majalah fashion. "Seruni, ini teh yang tadi kamu pinta." Suara Yanti mengalun dan Seruni langsung mengangkat kepalanya untuk menatap sang besan pasalnya tadi dia menyuruh seorang assisten tapi malah wanita itu yang mengantarkannya. "Terima kasih." Senyum Seruni tipis. "Kalau begitu, saya permisi." Yanti hendak berlalu namun Seruni mencegahnya. "Yanti, bisa kita bicara sebentar?" "Ya, tentu." wanita itu menganggukkan kepalanya singkat dan mengambil duduk disebelah Seruni. "Selama berada di rumah ini bagaimana? Betah?" "Ya, tentu saja saya betah. Kalian semua baik sekali pada saya dan anak saya, Bagus. Apalagi Kania, saya tidak menyangka dia mau menerima kami, menerima Bagus sebagai suaminya dan menerima saya sebagai mertuanya bahkan dia tidak ragu untuk membelikan apa yang menurutnya cocok untuk saya." "Baguslah kalau kamu merasa kamu diterima dengan baik di rumah ini." angguk Seruni pelan, "Tapi kamu tahukan kalau kita tinggal di rumah orang lain otomatis kita bisa disebut merepotkan si pemilik rumah." Seruni melirik Yanti dari ekor matanya. "Maaf, saya tidak berpikir sejauh itu. Saya minta maaf sekali." Yanti menundukkan kepalanya, merasa sungkan atas fakta yang keluar dari bibir Seruni. "Tidak perlu minta maaf karena status kita sekarang adalah keluarga. Jadi selama apapun kamu tinggal di rumah ini, tidak masalah." Seruni menyesap tehnya pelan dan meletakkannya diatas meja, "Lagipula dengan adanya dirimu, Kania menjadi punya teman sekaligus ibu." Seruni tersenyum kearah Yanti senyum yang semakin membuat Yanti tidak enak hati. "Maaf, seharusnya saya peka. Seharusnya saya bisa menasehati Kania untuk lebih bersikap wajar pada saya dan lebih menghormatimu sebagai ibunya." "Jangan lakukan itu. Jika kamu melakukan itu, Kania akan lebih membenci saya dan beranggapan bahwa saya yang memintamu untuk mengatakan hal ini padanya." "Tetap saja, saya tidak enak hati jika situasi kalian berdua semakin dingin, terlebih karena itu karena saya." "Bagaimana kalau kamu kembali ke Bandung saja?" "Kembali ke Bandung?" Yanti menundukkan kepalanya, berpikir. "Jangan salah paham, Yanti." Seruni buru-buru menyentuh jemari sang besan, "Saya memintamu ke Bandung bukan untuk mengusirmu. Aku melakukan itu supaya pendekatanku padanya jadi lebih mudah. Kamu tahu sendiri kan bagaimana sikapnya kalau aku mendekatinya?" Seruni memasang wajah sedih yang dibuat-buat, "Kumohon jangan salah paham ya." "Aku mengerti apa maksudmu, Seruni. Jika aku tidak ada, dia bisa bersandar padamu jika suatu saat dia ada masalah." Yanti tersenyum lembut dan menganggukkan kepalanya pelan, "Aku akan pulang ke Bandung besok. Jadi selama aku tidak ada, tolong jaga dan perlakuan anak dan menantuku dengan baik." "Aku akan memperlakukan mereka dengan baik karena bagaimanapun ceritanya mereka adalah anak-anakku." Mendengar kalimat itu tak ayal membuat Yanti lega hingga membuatnya tersenyum lebar dan Seruni membalas senyuman Yanti tak kalah lebarnya karena dia telah berhasil menyingkirkan satu orang yang tidak dia sukai. Sore harinya Kania mengetuk pintu kamar sang mertua dan masuk kedalam kamar tamu yang selama ini ditempati wanita itu. "Ibu mau kemana? Kenapa beres-beres baju?" Kania masuk semakin dalam dan mendapati sang mertua sedang memasukkan bajunya ke dalam koper. "Ibu mau balik ke Bandung." "Kenapa? Ibu tidak betah disini?" Kania menatap sang mertua dengan kecewa. "Ibu betah sekali disini. Hanya saja ibu tidak bisa terlalu lama meninggalkan rumah yang ada di Bandung. Rumah perkebunan itu bisa rusak kalau tidak ditinggali, jika rusak, biaya yang dikeluarkan untuk perbaikan rumah sebesar itu tidaklah murah, belum lagi ibu juga tidak enak pada orang yang menggantikan pekerjaan ibu di kebun selama ibu tidak ada disana." Yanti dan Bagus selama ini memang tinggal di rumah besar milik Suseno di Bandung. Mereka tinggal disana untuk merawat bangunan sekaligus membantu Suseno mengawasi kebun. "Aa' tahu kalau Ibu akan kembali ke Bandung?" Akan lebih mengecewakan lagi jika Bagus tahu hal ini tapi tidak memberitahunya. "Tidak ada yang tahu bahkan rencananya ibu akan memberitahu semua orang saat makan malam nanti." "Ibu." Kania menimbang sesuatu untuk dikatakan, "Bagaimana kalau Kania bicara pada ayah mengenai rumah serta pekerjaan ibu yang ada di Bandung jadi Ibu bisa tetap tinggal disini." Kania tidak mau Yanti pergi dari rumah ini karena kehadiran beliau cukup membuat Kania bahagia karena merasa disayang seperti anak pada umumnya. "Nak." Yanti menangkup wajah sedih Kania dalam telapak tangannya, "Kalau kamu rindu pada ibu, kamu bisa ajak Bagus untuk main dan menginap satu dua hari disana." Kania hanya cemberut karena dia sudah tidak bisa berkata apapun untuk mencegah kepergian sang mertua. "Kalau begitu Kania ingin tidur dengan ibu malam ini." Kania langsung memeluk Yanti erat. "Lah suamimu bagaimana? Masa kamu tinggal sendiri di kamar?" "Kita bisa tidur bertiga." "Iya." Yanti tersenyum dan mengelus surai Kania lembut. Dan memang pada akhirnya mereka bertiga tidur dalam satu ranjang dengan posisi Kania berada di tengah. Wanita itu memeluk sang mertua dengan erat seolah tidak mengizinkan Yanti untuk pergi namun sayang keputusan Yanti sudah bulat meskipun Kania mengulangi pertanyaan yang sama untuk kesekian kalinya. "Ibu yakin akan pulang ke Bandung ?" Kania melepaskan pelukannya pada sang mertua dan menatap wanita paruh baya itu penuh harap. "Keputusan ibu sudah final, Kania." Wanita bernama Yanti itu tersenyum lembut dengan jari mengelus surai lembut sang menantu, "Ibu titipkan putra ibu padamu. Jika dia macam-macam, jangan ragu untuk menghubungi ibu." "Bagus yang seharusnya menjaga istri Bagus, Bu." Sahut Bagus menimpali sang ibu. "A, Harusnya Aa' cegah ibu pulang! Aa' kan anaknya!" Rajuk Kania dengan menatap Bagus kesal, "Lakukan sesuatu!" "Sudahlah. Ibu harus pergi sekarang. Tidak enak dengan pak Supir yang sedari tadi menunggu." Yanti lantas membawa wajah Kania dan Bagus untuk dikecup secara bergantian, "Kalau kalian rindu pada ibu, main-mainlah ke Bandung sebentar." "Bu..." Kania masih tidak rela sang mertua pergi namun wanita itu tetap kukuh hingga membuat Kania akhirnya menganggukkan kepalanya pelan. Melepas sang mertua dengan melambaikan tangannya saat mobil yang membawa tubuh sang mertua mulai berjalan meninggalkan kediaman Djuaji. Meninggalkan Kania dengan kenangan mereka saat masih bersama. Dan sosok yang mengamati dari jauh kepergian Yanti itu kini tersenyum lebar, "Jangan sedih dulu Kania. Ini hanya hal kecil yang tidak patut dibuat sedih."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN