Rona kebahagiaan terpancar di wajah Reza yang tengah memandang wajah polos istrinya dengan tangan mengelus lembut pipi bulat Jeni yang terasa sangat lembut.
Mereka berdua masih berada di club tadi malam. Beberapa kali ponselnya berbunyi diabaikan oleh lelaki itu yang tidak mau waktunya diganggu oleh apapun termasuk pekerjaan. Mungkin terhitung sudah puluhan kali Dimas menelponnya. Memang asisten nya itu sangat menyebalkan mengganggu waktunya saja.
"Eungh," Jeni melenguh sambil merapatkan tubuhnya pada Reza.
Dengan senang hati Reza mendekap tubuh polos istrinya memberi kehangatan. Entah bagaimana keadaan setelah Jeni bangun nanti. Apakah ia akan marah karena Reza melakukannya tanpa persetujuan wanita itu. Entahlah, Reza tidak ingin memikirkannya. Lelaki itu ikut memejamkan matanya kembali padahal hampir jam sebelas siang. Kedua pasangan istri itu belum makan apapun dan memilih untuk mengistirahatkan tubuh lelah mereka.
Reza kembali membuka matanya saat mendengar bunyi perut Jeni. Lelaki itu mendengus lalu menepuk ringan pipi Jeni membangunkan wanita itu. Beberapa kali Reza menepuk-nepuk pipi Jeni tapi tidak mendapatkan respon sama sekali.
Memilih menyerah membangunkan Jeni yang sepertinya sangat nyenyak tidurnya lelaki itu bangun dan memunguti pakaian mereka yang berceceran di lantai.
Reza mengirimi pesan kepada Dimas meminta dibawakan baju ganti dan makanan untuk mereka sarapan.
Selesai menggunakan pakaian nya kembali Reza menemukan Jeni yang sudah terbangun. Lelaki itu menghampiri Jeni lalu duduk di samping istrinya itu. Dengan pelan Reza mengelus rambut Jeni dan menatap lembut istrinya itu.
"Sebentar lagi Dimas datang bawa baju ganti sama makanan. Tunggu sebentar," tutur Reza lembut.
Seperti terhipnotis dengan perlakuan Reza yang berbanding terbalik dengan tadi malam Jeni mengangguk dengan polos.
"Kita kapan pulang?" Jeni bertanya sambil mengedarkan pandangannya.
"Setelah Dimas sampai dan kita sudah mengganti pakaian dan sarapan."
"Sarapan?" Beo Jeni sambil melirik jam dinding yang menunjukan pukul setengah dua belas.
Reza berdehem "maksudnya makan siang."
"Aku mau ke kamar mandi," ucap Jeni.
"Kenapa?" Tanya Reza ketika Jeni menatapnya.
"Minggir dulu. Aku mau lewat," Jeni mendorong pelan lengan suaminya.
Tanpa berucap Reza menggendong Jeni ala bridal style membawa istrinya yang terbungkus selimut ke dalam kamar mandi.
"Kalau sudah selesai bilang," ucap Reza setelah menurunkan Jeni.
"Kenapa?" Tanya Jeni bingung.
"Pasti masih sakit karena tadi malam."
Jeni mengedipkan matanya beberapa kali mendengar perkataan Reza yang ambigu. Setelah tersadar wanita itu menunduk dengan pipi yang merona. Reza terkekeh melihat wajah malu-malu istrinya. Tidak mau membuat pipi itu semakin memerah Reza keluar meninggalkan Jeni.
"Gua kenapa?" Jeni menangkup pipinya yang terasa panas.
"m***m banget sih," omel Jeni sendirian sambil tersenyum.
Dengan cepat wanita itu membersihkan tubuhnya yang terasa sangat lengket. Setelah membilas tubuhnya dengan air Jeni mengambil bathrobe putih yang sangat pendek dan memakainya.
Reza mengangkat wajahnya ketika mendengar pintu dibuka. Lelaki itu terpaku pada Jeni yang berjalan pelan menuju ke arah dirinya dengan sedikit tertatih. Wanita itu terlihat sangat segar dengan rambut panjangnya yang basah. Tersentak kaget ketika mendapati kakinya bersentuhan dengan dinginnya kaki Jeni.
Setelah mengambil pakaian baru di atas ranjang, Jeni kembali berjalan ke dalam kamar mandi. Di dalam kamar mandi ia asik menatap pantulan dirinya di cermin yang sudah mengenakan dress putih tulang di bawah lutut dengan lengan batas siku.
"Cantik amat gua," ucap Jeni sambil menyisir rambutnya yang masih basah menggunakan tangan.
"Ah gua jadi malu keluar," Jeni mengigit bibirnya.
Dengan percaya diri Jeni keluar dari kamar mandi dengan wajah terangkat. Reza yang melihatnya tersenyum geli. Sepertinya gadis itu kembali ke pengaturan awal dimana ia menjadi gadis yang barbar.
"Cantik," Reza berdiri di depan Jeni.
Jeni mengulum bibirnya yang berkedut sambil menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Tangan Reza sangat gatal ingin mencubit gemas pipi Jeni yang memerah. Kemana sikap percaya gadis itu tadi. Sekarang Jeni terlihat tidak seperti Jeni kemarin malam yang pemberontak. Sekarang di hadapan nya hanya ada Jeni yang malu-malu kucing ketika ia mengatakan gadis itu cantik.
"Dress nya," sambung Reza.
Jeni melotot menatap lantai lalu mendongak menatap Reza dengan mulut yang terbuka. Jeni mengepalkan tangannya emosi karena sudah salah mengira. Dengan kasar wanita itu duduk di sofa dan membuka kotak makanan lalu memakannya dengan cepat.
"b******n," Jeni mendesis sambil menyuapkan nasi ke mulutnya.
"Makanya pelan pelan."
"Nyenyenye," Jeni nyolot.
Reza menggelengkan kepalnya melihat tingkah Jeni yang seperti anak anak. Emang anak anak sih. Jadi sekarang anak anak yang sedang makan belepotan di depannya itu sudah menjadi miliknya sepenuhnya.
"Hallo?"
Jeni melirik Reza melalui ekor matanya ketika lelaki itu menerima telepon entah dari siapa. Dari wajahnya Jeni dapat melihat bahwa suaminya itu sedang marah. Memilih tidak peduli wanita itu melanjutkan sarapannya yang terlewat.
"Saya ada urusan penting. Kamu bisa pulang sendiri?" Reza menyisir rambutnya seraya berjalan menghampiri Jeni.
"Kemana?"
"Ada hal mendesak dan saya harus segera pergi. Kamu pulang sendiri kalau sudah selesai," Reza mengambil kecupan singkat pada kening istrinya lalu pergi menghilang di balik pintu.
"Emang lebih penting dari gua yang tadi malam baru dibobol gitu. Dasar b******n," Jeni membereskan barangnya lalu pergi keluar kamar dengan hati dongkol.
Ketika melalui area ruangan tadi malam Jeni seketika teringat dengan Rey, temannya yang selalu saja ia tinggalkan itu. Wanita itu mencoba membuka pintu tempat nya dan Rey tadi malam minum. Di dalam ruangan itu cahaya nya sangat minim walaupun sekarang siang hari membuat Jeni harus menajamkan penglihatannya ketika melihat bayang bayang orang bergerak di atas sofa. Apakah itu Rey? Jeni berjalan mendekat memastikan penglihatannya.
Langkahnya mundur selangkah ketika melihat Rey yang sedang tertidur pulas dengan seorang wanita yang berada di atas tubuhnya tanpa menggunakan sehelai benang pun. Jujur ia syok melihatnya. Yang ia tahu Rey memang nakal tapi nakalnya cowok itu tidak sampai sembarangan mencelupkan miliknya ke jalang murahan.
Tidak ingin ikut campur dan juga tubuhnya masih lelah minta diistirahatkan Jeni berbalik pergi meninggalkan dua insan yang tertidur dengan posisi masih bersenggama. Ia ingin cepat cepat sampai rumah dan tidur sepuasnya karena tadi malam mereka baru tidur sekitar pukul setengah empat pagi. Reza benar benar menyeramkan ketika di atas ranjang. Mengingatnya membuat Jeni bergidik ngeri saat lelaki itu bergerak dengan bruntal di atas nya.
Bunyi rem mobil yang di diinjak secara tiba tiba itu menggema di parkiran sepi apartemen elit. Seorang lelaki keluar dengan tergesa gesa sambil terus mencoba menelpon asistennya.
"Bos," sapa dimas saat Reza ingin masuk ke dalam lift.
"Bagaimana bisa?" Tanya Reza tak percaya sambil menyandarkan tubuhnya pada dinding lift.
"Kemungkinan dari sandi apartemen yang tidak anda ganti," Dimas menatap bos nya iba.
"Sejak kapan?"
"Dua hari yang lalu."
"Dua hari yang lalu?" Tanya Reza terkejut.
"Saya baru semalam balik dari sana. Gimana bisa?" Reza berjalan menuju unit apartemen nya dengan langkah cepat.
"Memang. Tapi baru tadi malam dia tidur di sana."