Napas Ahana sudah naik turun tak beraturan karena sesuatu dalam dirinya benar-benar bergejolak saat ini. Gadis itu kembali meraih pagar pembatas jembatan dan menggenggamnya begitu kuat sembari berteriak sekencang mungkin yang ia mampu.
Bersama dengan itu, air matanya sudah tak bisa ia bendung lagi. Rasa sakit, perih, hancur, semuanya menjadi satu dalam dirinya.
"Apakah aku memang selalu ditakdirkan seperti ini? Apakah semua orang yang aku sayang akan pergi dariku?" tanya Ahana dengan suara begitu pilu.
Air mata terus mengalir, tubuh gadis itu luruh begitu saja terduduk tak beralaskan apa pun.
"Aku mencintaimu, Kak!" Suara pilu kembali Ahana perdengarkan dalam keheningan. Entah mungkin memang sudah takdir, langit ikut menangis melihatnya bersedih.
Hujan turun begitu deras dan tubuh Ahana basah kuyup.
Ahana berdiri berjalan menyusuri jembatan tersebut dan entah sudah berapa lama ia melangkahkan kakinya, akhirnya raga itu terhenti di sebuah makam yang bertuliskan 'Diandra Utami'.
Ahana kembali terduduk di makam mendiang ibunya dan ia kembali menangis sejadi-jadinya.
"Apa yang harus aku lakukan, Ma? Bantu aku menghadapi kenyataan pahit ini, aku tak sanggup, jika setiap hari harus melihat semua itu ... sakit, Ma! Sakit," racau Ahana meletakkan keningnya pada nisan sang ibu.
Setelah merasa cukup meluapkan segala emosi yang meledak-ledak, akhirnya Ahana memutuskan untuk kembali ke rumah. Namun, sebelum ia benar-benar pergi, ia masih sempat berucap, "Jika memang dia bukan bagian dari masa depanku, bantu aku untuk melupakan itu, Ma! Doakan aku dari sana, agar perasaan ini sirna karena aku tak ingin menjadi duri dalam hubungan adikku."
Indah dan Edi yang sedari tadi menunggu kepulangan putri sulungnya hanya bisa mondar-mandir merasa cemas dengan keberadaan Ahana karena gadis itu belum juga kembali.
"Coba kau hubungi Ahana saja, Mas!" Indah benar-benar cemas karena sebelumnya Ahana tak pernah seperti ini. Ia selalu memberitahukan dengan jelas tempat yang akan ia kunjungi.
Saat dihubungi, ponsel Ahana berbunyi dari dalam tasnya yang tertinggal dan sudah dibawa Indah ke ruang tamu.
Kecemasan semakin menyelimuti hati ibu sambung tersebut karena Ahana mungkin saat ini sedang dalam bahaya, saat hendak menghubungi polisi, suara pintu terbuka dan Ahana muncul dalam keadaan basah kuyup dengan heels yang ia bawa di tangannya.
"Kau dari mana saja? Kenapa sampai basah kuyup seperti itu dan ini sudah jam berapa, Ahana!" Teriakan Edi menggema seisi ruangan.
"Mas!" Indah seketika menengahi suasana yang mulai memanas karena emosi Edi.
"Maaf ... aku ... sangat merindukan ... Mama Diandra." Tak ada sepatah kata lagi yang keluar dari bibir Ahana. Gadis itu langsung berjalan dengan tatapan kosong ke arah kamarnya.
Edi terdiam. Ia cukup tercekat dengan penjelasan putrinya.
"Kau benar-benar harus minta maaf pada Ahana, Mas! Dia bukan anak kecil yang perlu kau ajari sampai seperti tadi, Diandra pasti akan menangis di sana, jika ia tahu kau tak menjaga Ahana dengan baik," jelas Indah langsung pergi meninggalkan suaminya begitu saja.
Edi terduduk di sofa dengan wajah yang tertunduk karena ia benar-benar salah kali ini. "Maafkan aku Diandra," gumam Edi melepaskan kacamatanya sendu.
Suara ketukan pintu terdengar dari kamar Ahana dan si empunya ruangan tahu siapa itu. "Masuk!"
Saat pintu terbuka, ia sungguh terkejut melihat ayahnya yang masuk bukan Indah.
"Ayah membawakan sup hangat untukmu, kau pasti merasa dingin, bukan?" Edi meletakkannya di meja nakas putrinya.
Pria paruh baya itu duduk di sisi pinggir tempat tidur Ahana.
Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut gadis tersebut, Ahana tanpa ragu langsung menyantap makanan yang sudah di bawa sang ayah tanpa berkata apa pun lagi.
"Maaf karena ayah sudah marah padamu tadi tanpa mendengarkan lebih dulu penjelasanmu," jelas Edi membuka suara.
Ahana terdiam sejenak dengan mulut yang masih mengunyah makanannya, sedetik kemudian, ia kembali melanjutkan acara makannya.
"Aku sudah selesai makan, terima kasih karena ayah sudah mengantarkan makanan ini padaku," ujar Ahana.
Putri sulungnya langsung membaringkan tubuhnya karena ia sungguh ingin segera istirahat, sementara Edi hanya bisa memperhatikan Ahana dalam diamnya.
Mendengar suara mobil Elang yang sudah masuk ke dalam halaman rumahnya, pria paruh baya itu segera pergi dari kamar Ahana dan si empunya ruangan yang memang belum tertidur hanya bisa menghela napas karena ia tahu, posisinya di rumah itu tak begitu penting. Merasa terlalu lelah dan suhu tubuhnya mulai naik, akhirnya Ahana tertidur dengan sendirinya.
"Kalian sudah pulang?" tanya Edi pada Elang dan Rania.
"Iya, Yah! Kebetulan tadi kami bertemu dengan teman kak Elang. Jadi, masih makan dulu," jelas Rania.
"Bagiamana keadaan Ahana, Mas?" tanya Indah yang baru saja dari dapur.
"Kakak kenapa?" timpal Rania terkejut.
"Kakakmu sakit dan sepertinya saat ini sudah beristirahat," jelas Edi.
Rania langsung berlari ke arah kamar Ahana karena ia tahu bagiamana Ahana saat sakit.
Semua orang spontan mengikuti langkah kaki Rania menuju kamar putri pertama keluarga itu.
Saat pintu kamar sudah terbuka lebar, terlihat dengan jelas sosok gadis yang sudah terlelap tidur dengan selimut yang menggulung tubuhnya.
Rania meletakkan punggung tangannya di kening Ahana dan gadis itu syok.
"Panas sekali! Kakak sudah minum obat?" tanya Rania pada ayah dan ibunya.
"Tadi dia hanya makan sup hangat saja," jelas Edi.
Indah berdecak kesal karena ia sudah memberitahu suaminya, agar Ahana meminum obat yang sudah di sediakan bersama sup hangat tadi.
Indah yang sigap segera membangunkan Ahana dan gadis itu tanpa kesadaran penuh hanya melakukan apa yang dikatakan oleh Indah, setelah meminum obatnya, Ahana kembali tertidur pulas.
Edi yang melihat putrinya sudah meminum obat langsung keluar dari sana karena ia tak tega melihat Ahana sakit.
Berbeda dengan Rania yang sudah membawa air hangat dengan handuk kecil untuk mengompres kakaknya.
"Biar mama saja," pinta Indah pada Rania.
"Biar aku saja, Ma! Mama istirahat saja dulu," tolak Rania yang tak ingin merepotkan mamanya karena ia tahu sang ibu pasti cukup lelah mengurus rumah seharian penuh. Karena Ahana sudah ada yang menjaga, akhirnya Indah memilih mengalah.
"Apa kau tahu kebiasaan Kakak saat ia sakit seperti apa?" ujar Rania pada kekasihnya yang besok akan resmi menjadi tunangannya
"Memang apa kebiasaannya?" tanya Elang memperhatikan wajah Ahana yang merah karena panasnya terus naik.
"Dia tak akan mengeluh mau sakit itu seperti apa pun. Entah terbuat dari apa jiwanya sampai ia tahan menahan sakit seorang diri," jelas Rania meletakkan handuk hangat di kening kakaknya.
"Aku ganti baju sebentar, apa Kakak bisa membantu merawat Kak Ahana?" tanya Rania pada Elang.
"Kau ganti baju saja, aku yang akan merawat Ahana," tutur Elang menyanggupi.
Setelah kepergian Rania, Elang dengan begitu telaten mengganti kompres yang ada di kening calon kakak iparnya itu, setelah dikira panas Ahana cukup turun, Elang akan pergi. Namun, pria itu terkejut bukan main.