Salah Mengira

1069 Kata
"Dari mana saja kau?" tanya Edi pada Ahana yang sudah berada cukup dekat dengannya. "Tadi ... aku masih memban--" "Ayah! ayo cepat kita mulai acaranya, ini sudah terlalu lama," celetuk Rania sang bintang utama malam ini. Raut wajah Edi yang awalnya marah pada Ahana, seketika sirna saat ia berbalik menatap ke arah Rania. "Baik, sayang! kita mulai sekarang acaranya," ujar Edi menuruti kemauan putri bungsunya. Ahana terpaku melihat semua itu, semua perbedaan yang semakin hari, kian membuat dirinya merasa asing berada di dalam lingkaran keluarganya sendiri. Indah tahu tatapan yang diperlihatkan Ahana karena ia sudah pernah menjadi seorang gadis kecil sebelumnya. Indah menarik tangan Ahana untuk ikut bersamanya ke meja utama. Elang melihat ke arah gadis kecil yang berulang tahun hari ini. "Bukankah baju itu ...." Ucapan Elang terhenti saat ia sadar akan sesuatu dan menaikkan sedikit kemejanya dan melihat ke arah lengan yang sudah terbelit kain berwarna sama seperti yang dikenakan Rania. Elang dengan arah tatapan spontan melirik ke arah Rania. "Jadi, dia yang menolongku." Dia siapa?" tanya Elang yang cukup penasaran dengan gadis lain dari keluarga Sucipto yang tak lain adalah Ahana. Acara potong kue di mulai, setelah acara utama selesai dilakukan indah lebih mendekat ke arah Ahana. "Kenapa kau berganti baju?" tanya Indah di tengah-tengah acara. "Gaun kembar itu robek, Ma! jadi, aku ganti baju," jelas Ahana pada Indah. Ibu sambung itu hanya tersenyum sembari mengusap puncak kepala anak sulungnya. "Tidak apa-apa, Nak!" ujar Indah membuat Ahana lega. "Saatnya pesta dansa, apakah dari para Tuan muda yang hadir ingin berdansa dengan Nona Rania?" tanya pembawa acara pesta tersebut. "Saya!" Elang membuka suara dan langsung berjalan ke arah Rania. Senyum gadis berumur 9 tahun itu begitu terlihat jelas karena anak lelaki yang akan berdansa dengannya sangat tampan. Tatapan mata semua orang tertuju pada Elang, tak terkecuali Ahana yang cukup terkejut karena ia bisa melihat dengan jelas wajah anak lelaki yang tadi ditolongnya. "Dia Kakak tadi, 'kan? apakah tangannya baik-baik saja?" tanya Ahana dalam hati. "Baiklah, mari kita sambut Elang Bimantara dan Rania Ananda!" Semua orang berdecak kagum karena ketampanan yang dimiliki oleh pewaris keluarga Bimantara. Edi tersenyum begitu lebar karena respon itu sangat baik menurutnya. Rencana kecil sudah terlintas dalam benaknya untuk membuat perusahaannya semakin berkembang dan kuat di kemudian hari. Ahana memperhatikan setiap gerakan yang dilakukan oleh Rania dan Elang. Bukan paras tampan yang menjadi fokus kedua manik mata Ahana, melainkan lengan anak lelaki itu. "Sepertinya sudah tak sakit," pikir Ahana dalam hatinya. Di sepanjang acara dansa bersama Rania senyum Elang tak luntur seperkian detiknya karena ia saat ini bersama dengan malaikat kecilnya. "Terima kasih," ujar Elang di tengah acara dansa keduanya. Rania hanya mengangguk karena gadis kecil dengan rambut yang diikat ala Belle itu mengira, jika ucapan terima kasih ditujukan karena ia mau berdansa dengan Elang. Setelah acara dansa Rania dan Elang usai, anak lelaki itu berniat akan kembali ke kursinya. Namun, suara sang ayah menggema. "Alangkah lebih baiknya, jika semua putri dari keluarga Sucipto juga kau ajak berdansa, Nak!" saran Wahyu Bimantara. Ahana yang sedari tadi memperhatikan Elang, langsung melihat ke arah anak lelaki tersebut. Indah yang peka langsung menuntun putrinya ke arah Elang. "Ma ... kita akan ke mana?" tanya Ahana tak paham. Indah terdiam. Namun, ibu sambung itu tetap melangkah ke arah Elang dan telapak tangan Ahana ia berikan pada putra pewaris keluarga Bimantara tersebut. "Dia Ahana, anak tertua keluarga kami, Nak Elang!" jelas Indah tersenyum ramah pada anak lelaki tampan tersebut. Akhirnya tatapan mata keduanya mulai bertemu. Ada perasaan akrab di sana. Namun, Elang mencoba mengabaikan karena ini bukan saat yang tepat untuk memikirkan hal seperti itu. Elang memilih langsung melakukan tugasnya berdansa dengan Ahana. Tak seperti Rania, Ahana nampak terlihat hati-hati saat menyentuh lengan Elang karena ia tahu, luka anak lelaki di hadapannya itu masih sangat sakit. Saat sedang berputar, Ahana tak sengaja menekan bagian lengan Elang. "Maaf, Kak!" sesal Ahana. Gadis itu benar-benar merasa bersalah dengan menundukkan kepalanya. "Untuk apa?" tanya Elang cukup dingin. "Pasti tangan Kakak sakit karena aku tak sengaja menekan bagian yang luka itu," jelas Ahana tanpa sadar membuat jati dirinya terekspos. Elang menanggapinya dengan wajah biasa saja karena ia berpikir mungkin Rania sudah menceritakan insiden tadi pada Kakaknya. "Tak apa-apa, ini hanya luka kecil," jelas Elang begitu irit. Tuan muda itu langsung mengakhiri acara dansa dengan Ahana. Elang pergi meninggalkan Ahana, dan gadis itu merasa perlakuan Elang padanya berbeda dengan Rania. "Mungkin hanya perasaanku saja," pikir Ahana yang lagi-lagi mencoba berpikir baik. Saat Ahana pergi, sekelebat wangi parfum gadis cantik itu tercium oleh Elang yang masih berada di jarak cukup dekat dengan Ahana. "Wangi ini?" tanya Elang dan ia masih berpikir mungkin ini wangi dari parfum Rania yang menempel pada jas yang dikenakannya. Setelah acara inti selesai, kini hidangan makanan sudah dapat di santap dan semua tamu yang hadir mulai menikmatinya. Edi yang cukup akrab dengan keluarga Bimantara, langsung menuju ke arah meja keluarga tersohor tersebut. "Apa kabar, Pak Wahyu!" Edi menyapa sembari duduk mendampingi tamu pentingnya. "Keluarga kami sehat semua, Pak Edi," sahut Wahyu tersenyum pada Edi. "Selamat untuk ulang tahun putri kedua Anda ya, Pak!" ujar Silvia, istri dari Wahyu Bimantara. "Terima kasih, Bu Silvia!" sahut Edi tersenyum manis. Sebenarnya ini bukan hanya ulang tahun Rania, tetapi ulang tahun Ahana yang sudah lewat beberapa bulan karena gadis itu sebelumnya tak mau dirayakan besar-besaran. Sama seperti saat ini, di dalam kartu undangan yang di sebarkan, Ahana juga tak mau namanya di tulis di sana karena ia tak ingin menambah beban biaya keluarganya, serta tak ingin pula membuat pengeluaran hadiah yang dibawa oleh para tamu harus membengkak. Jadi, gadis itu memilih hanya nama sang adik yang tercetak di kartu undangan tersebut. Saat semua tamu sudah menikmati hidangan penutup, Wahyu kembali membuka suara. "Sepertinya Pak Edi akan memiliki acara besar nantinya," ujar Wahyu. "Acara besar apa ya, Pak?" tanya Edi masih tak paham. "Dua putri Anda memiliki jarak yang cukup dekat, dan sepertinya mereka berdua akan bergantian membuat ruangan ini kembali mengadakan pesta pernikahan," jelas Wahyu tersenyum. "Wah, Pak Wahyu benar sekali, dan semoga saja calon menantu saya salah satunya adalah putra Anda!" gurau Edi membuat Wahyu dan Silvia bertukar tatapan. "Jika sudah digariskan untuk berjodoh, pasti akan terjadi, Pak!" Silvia berceletuk sembari mengusap punggung putranya. "Bagaimana, Elang? apa kau mau menjadi menantu di keluarga ini?" canda Wahyu pada putranya. Elang yang tengah asyik makan seketika menghentikan kesibukannya itu dan meletakkan sendok dan garpunya begitu rapi sembari melihat ke arah para tetua yang hadir di mejanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN