Pria Yang Selalu Benar

1620 Kata
Di sebuah apartemen di pusat ibu kota tempat tinggal seorang pemuda berusia dua puluh tujuh tahun, memiliki tubuh tinggi dan atletik, rajin olahraga sehingga otot-ototnya juga terlihat sempurna. Bagian perutnya terlihat sangat menggoda sekali, dengan pahatan-pahatan yang bak roti kasur yang pasti akan membuat wanita tergoda dengan otot semacam itu. Libur selama satu minggu usai proyeknya di Bali saat mengerjakan restoran milik seorang artis yang desainnya full dari Agam Rafadhan. Hasil kerja yang baik, menjadi arsitek di sebuah perusahaan swasta yang dipercayai untuk memegang kendali beberapa proyek. Dengan gaji sembilan juta yang diberikan setiap bulannya sudah sangat menguntungkan sekali baginya. Apalagi ini adalah perusahaan orang lain yang dia kerjakan. Agam bukan tipikal pria pemilih dan juga pria yang boros. Kadang banyak sekali yang mementingkan isi gengsi dan malah membuat dompet sekarang hanya ingin membeli barang mahal yang diinginkan. Tapi Agam tidak, ia lebih suka menabung apalagi harus membayar kredit apartemen yang dia tinggali saat ini dan masih panjang sekali. Hari ini ia cukup istirahat di rumah, mengisi waktunya hanya dengan HP dan juga bermain game saat libur. Atasannya juga meminta dia libur setelah mendapatkan proyek yang bisa dikatakan cukup besar. Karena restoran itu bernuansa romance di khususkan untuk pasangan muda-mudi atau pasangan yang sudah menikah untuk merayakan hari pernikahan mereka. Di sana jauh lebih cocok karena memiliki tempat khusus bagi orang-orang yang merayakan hari jadi mereka. Ditambah lagi karena ada di pinggir pantai juga. Ada tempat khusus foto seolah ada pernikahan yang sedang mereka lakukan. Konsep yang sangat menguntungkan juga bagi Agam karena biaya yang dikeluarkan sang artis jelas tidak sedikit untuk semua itu. Belum lagi untuk furniture pendukung, lukisan yang bahkan ada yang mencapai ratusan juta rupiah karena sangat indah sekali memiliki nilai art yang luar biasa. Tok Tok Tok Agam bangun dari tempat tidur bermalas-malasan mendapati tamu yang datang ke apartemennya. Langkahnya gontai ke arah pintu sembari menguap dan menggaruk perutnya. Dia melibat dari lubang intip yang datang adalah mama dan juga kakak perempuannya. Pintu dibuka oleh Agam dan kepalanya di dorong oleh kakaknya. “Jangan sampai ingatanku jadi hilang setelah kepalaku didorong.” Ketus pria itu sehingga wanita yang berdiri di depannya ini tidak memedulikan ucapan Agam. Waktu itu mereka bertiga masuk ke dalam apartemennya Agam tanpa diminta. Ya ini juga yang ikut adalah Felicia, keponakan Agam yang berusia enam tahun. “Uncle, kenapa nggak pulang sih?” Agam mengikuti dua orang yang di depan sedangkan Felicia menggandeng tangannya masuk ke ruang tamu. Sedangkan sang mama langsung pergi ke dapur. “Apartemen besar, sayang sekali nggak ada tangisan anak.” Memangnya apa lagi yang disindir oleh kakaknya selain tentang pernikahan? Agam sendiri sudah biasa menerima sindiran itu dari kakaknya. Jadi apa yang bisa dia protes kalau kakaknya menyindir soal anak. Usianya sebentar lagi juga dua puluh delapan tahun tapi belum juga mendapatkan jodoh karena terlalu sibuk bekerja. Agam mengambil air minum di kulkas. Juga jus yang sudah dibeli kemarin. Apalagi dia meninggalkan apartemen selama berbulan-bulan demi proyeknya. Sekarang dia malah kehidupan yang sangat sederhana sekali. “Kamu kapan pulang, Gam? Nggak bosan apa di apartemen sendirian? Mama nungguin kamu lama banget baru bisa ketemu.” “Papa emangnya nggak sibuk, Ma? Mama bisa ke sini sama Kak Anne?” Fera—mamanya Agam menggelengkan kepala dan memanaskan masakan yang dimasak di rumah untuk disantap Agam. “Papa sibuk kerja sama suami Anne. Kamu kenapa nggak pulang? Tuh perusahaan Papa kamu nganggur. Gaji kamu berapa kemarin?” “Ya masih segitu-gitu aja, Ma. Nggak tahu kapan naiknya.” “Seratus juta?” Agam malah tertawa mendengar ucapan mamanya tentang gaji seratus juta yang diberitahukan oleh sang mama. “Yakali seratus juta, Ma. Gajinya masih sembilan setengah, itu gaji pokok, Ma. Belum termasuk borongan kemarin. Yang borongan kemarin sih lumayan. Mau langsung dipake setor apartemen.” Fera juga berharap anaknya lebih baik pulang karena ingin jika anak-anak kumpul di rumah. Apalagi usaha suaminya juga berjalan dengan baik. Agam selalu menolak keras untuk dibantu soal ekonomi dari keluarga. Hidup di luar sejak dia lulus kuliah itu sangat mengejutkan. Setuju tidak setuju tapi soal keras kepala Agam tidak ada yang bisa menandingi di antara semua anaknya yang lain. “Papa kamu sebenarnya khawatir kamu tinggal sendirian di sini. Kamu pulang deh, nikah, biar ada yang urus kamu.” “Calonnya lho, Ma. Calonnya belum ada.” Fera hampir menyerah mendengar anaknya tidak mendapatkan pacar sampai sekarang. “Kamu ini ya, udah benar-benar keterlaluan. Masa nggak dapat pacar juga di Bali? Kamu kan kerja sambil liburan.” “Mama pikir kerjaan aku nggak berat, Ma? Belum lagi atasan minta laporan terus. Katanya biar jadi bukti nanti kalau misal ada laporan tidak menyenangkan.” “Makanya kamu pulang, kan pulang kamu nggak jadi pegawai lagi. Kamu jadi bos lho.” “Nggak, Ma. Aku nggak mau. Biar saja seperti ini. Lebih nyaman kok. Apalagi nggak beratin, Mama. Terus nanti uangnya aku transfer dua juta ke rekening Mama.” Fera selesai memanaskan makanan untuk Agam lalu mencuci tangannya, dikeringkan dengan tisu lalu menoleh ke arah Agam yang menyebutkan soal uang tadi. Ya, di antara banyak anaknya. Agam yang selalu mengingatnya soal uang. Meskipun tidak pernah kekurangan uang. Tapi anaknya selalu memberikan dan mengatakan itu adalah hasil jerih payahnya. Hasil keringat dari Agam sendiri. Ya, perjuangan anaknya mencari kerja juga tidak main-main. Berapa pun yang Agam berikan, Fera tidak pernah memakainya untuk belanja. Fera ingin membelikan cincin untuk calon menantunya nanti jika Agam ingin menikah. Entah sekarang sudah berapa yang dia tabung. Apalagi setiap gajian Agam selalu memberitahukan bahwa setiap bulan selalu mengirimkan uang. “Kamu banyak kebutuhan, nggak usah kirimi Mama uang nggak apa-apa. Mama nggak pernah kekurangan. Kamu sendiri tinggal di sini sendirian. Harus banyak nabung. Nggak tahu suatu saat nanti kamu juga nikah.” “Nggak, Ma. Mobil sama apartemen belum lunas. Belum mikirin soal nikah. Takutnya nggak bisa nafkahi anak orang.” “Papa berharap kamu pulang, Nak. Kerja di sana. Kamu mau apa aja bisa, tapi kenapa harus mikirin kerjaan sama orang lain. Kamu mau beli apartemen ini cash juga Papa kamu sanggup.” Agam bicara di dapur dengan mamanya, takut juga kalau di dengar oleh keponakan di luar. “Aku nggak mau hanya karena uang aku malah jadi seperti Kak David. Lihat sekarang mama urus dua anak dia dari perempuan berbeda. Bahkan Canis sama Leo nggak tahu siapa ibu kandung mereka. Begitu dilahirkan dikasih anak begitu saja, apalagi Mama sendiri udah tes DNA sama Kak David. Bahkan Kak David akui itu adalah anaknya. Alasan aku nggak mau pulang karena itu juga, Ma.” Dia juga masih merasa belum nyaman ada di rumah. Agam memang benar-benar sudah enggan sekali untuk pulang ke rumah orangtuanya. Pria itu kemudian menghela napas panjang dan berkata. “Aku nggak tahu harus seperti apa, Ma. Aku nggak mau Mama berat sebelah sama aku. Mama andelin aku, sedangkan aku sendiri nggak mau banyak uang dan permainkan perempuan. Kak David nggak nikah, Ma. Tapi dia punya anak, Mama sama Papa lunak lho sama dia. Sedangkan aku, Mama paksa pulanglah, Mama paksa untuk kerja di kantor Papa, mending Mama urus cucu Mama baik-baik dan juga Kak David diajari baik dulu, Ma. Aku sendiri malu, Ma. Masa pas buka pintu tiba-tiba ada perempuan minta tanggung jawab karena dia hamil. Apalagi dia nggak mau nikahi orang. Terus Mama sama Papa kasih uang buat tanggung jawab, pas anaknya lahir diambil. Ma, itu jelas salah. Terus Kak David juga makin suka dengan cara Mama sama Papa seperti itu.” Fera juga serba salah meminta Agam pulang dan segera menikah, sedangkan di rumah dia memiliki dua orang cucu yang harus dijaga oleh pergaulannya David yang menghamili dua perempuan dengan jarak waktu dua bulan yang terbukti juga bahwa keduanya merupakan darah daging anaknya. Agam memang benar bicara seperti itu. Benar kalau dia marah kepada kakaknya, tapi mereka juga ingin hidup dengan tenang. Mendapatkan penghormatan dari orang lain. Akan tetapi anaknya yang menjadi sumber masalah mereka untuk saat ini. Agam juga orang yang tidak bisa diatur. Dari dulu hidupnya selalu berlawanan arah dari apa yang dikatakan oleh orang tua bahkan tidak mau dia dengarkan. Bukan karena dia juga menjadi orang yang melawan, tapi ini adalah cara dia bertahan dengan prinsipnya. “Mama nyerah aja deh paksa aku pulang.” Fera pun akhirnya tidak menjawab. “Uncle, dipanggil Mama!” Felicia datang menghampirinya waktu sedang bicara dengan mamanya. Dengan membawa minuman yang akan dihidangkan untuk keluarga yang datang. Tapi lupa membeli snack untuk Felicia. “Maaf, Fel. Uncle lupa beli jajan, jadi cuman ada jus aja.” “Nggak apa-apa uncle, soalnya Papa juga nggak bolehin Feli buat sering-sering jajan. Nanti gigi ompong katanya.” Yah, kakaknya yang lurus barangkali hanya Anne. Menikah dua tahun baru dikaruniai anak. Sedangkan David tidak menikah tapi sudah punya dua anak. Semua kehidupan mewahnya menjerumuskan ke hal-hal negatif. “Jadi mana calon iparku, Gam?” Anne bertanya langsung pada intinya. Sedangkan Agam sudah biasa mendapati pertanyaan seperti itu. Pria itu duduk di ujung sofa dekat dengan mamanya. “Ya tunggu aja, kalau kakak ada kenalan ya boleh juga.” “Mau dijodohin?” “Kenalan aja. Kalau pacar bisa belakangan, kan.” “Kamu nggak niat kencan buta?” “Nggak, aku mending nyari di tempat kerja. Sekalipun salah satunya harus resign kalau menikah nanti. Tapi yang namanya pacaran menuju pernikahan itu harus punya keberanian juga untuk tanggung jawab. Dan aku mau kalau nanti mau nikah, calon istriku nggak neko-neko apalagi soal kemewahan. Apa yang aku kasih udah cukup, jangan minta dibelikan barang mahal. Jangan juga maksa aku cari duit yang banyak.” “Dahlah, Ma. Males ngomong sama dia, akan selalu salah di mata seorang Agam yang selalu bijaksana.” Anne menyerah, sudah tidak ingin lagi mengajak Agam bicara mengenai pasangan karena akan selalu benar apa yang dia ucapkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN