Selly membuka pintu ruangan itu dan tatapan Gabe seolah menelanjanginya.
“Kenapa kamu belum ganti baju?” tanya Gabe pada Selly yang tampak menekuk wajahnya itu karena pertanyaan Gabe.
“Saya kan enggak bilang kalo saya setuju!” seru Selly kesal.
“Saya harus nikah sekarang,” ujar Gabe pelan. “Saya harus cari perempuan kemana lagi?”
“Kenapa kamu harus nikah sekarang juga kalo jodoh aja kamu belum punya?!” Pertanyaan Selly menohok hati pria itu.
“Kamu enggak perlu tau alasan saya.” Gabe tentu enggan menjelaskan alasannya pada wanita yang tak ia kenali itu.
Selly termenung beberapa saat. Wajah putus asa Gabe itu mengganggu pandangannya. Namun gadis itu tahu, memutuskan untuk menerima lamaran dadakan itu tak menjamin banyak hal untuknya meski Gabe yang berdiri di hadapannya itu mengatakan akan memberikannya apa saja yang ia mau.
“Yaudah,” jawab Selly pelan.
“Yaudah apa?” Gabe menajamkan telinganya untuk mendengar ucapan wanita itu.
“Ayo, nikah. Sebelum saya berubah pikiran.” Seulas senyum terbit di wajah Gabe. Pria itu lalu mendorong Selly masuk kembali ke ruangan itu.
“Cepet ganti baju kamu sebelum pendeta yang berubah pikiran,” ujar Gabe sebelum menutup pintu ruangan itu.
*****
Selesai mengucapkan janji pernikahan dan bertukar cincin, Selly dan Gabe saling bertukar pandang. Mereka tahu jika prosesi selanjutnya adalah ….
“Kami malu melakukannya di sini,” ujar Gabe memecah kecanggungan yang ada di antara mereka.
Pendeta yang memberkati pernikahan itu tersenyum penuh arti sementara Ben, satu-satunya saksi yang ada disana memilih untuk berpura-pura tidak mendengar apa yang Gabe katakan. Ben masih bingung dengan mempelai wanita yang sahabatnya itu nikahi. Masalahnya, yang Ben ketahui, Selly bukanlah wanita yang sudah menerima kontrak pernikahan dengan Gabe.
“Kalau begitu, saya akan pergi sekarang. Jemaat saya sudah menunggu sedari tadi,” ujar Pendeta itu sebelum membawa tasnya dan pergi ke luar Villa ditemani oleh Ben.
Selly dan Gabe masih berdiri di tempatnya. Mereka sama-sama tidak menyangka dengan keputusan kilat yang menyatukan mereka itu.
“Ekhm.” Gabe berdehem. “Bisa ikut saya?”
“Iya.” Selly menjawab singkat karena setelah pernikahan mereka barusan, suasana diantara keduanya mendadak canggung.
Gabe membawa Selly ke sebuah ruangan. Ruangan yang Selly yakini adalah sebuah ruang kerja.
“Nih orang gila kali, ya? Di tempat kayak gini masih aja kerja,” batin Selly saat Gabe menyuruhnya untuk masuk ke ruangan itu dan duduk di sebuah sofa yang ada di sana.
“Saya ngerasa enggak enak,” ujar Gabe membuka suaranya. Selly hanya diam, menunggu pria di hadapannya itu melanjutkan kalimatnya. “Kamu mau minta apa dari saya?”
“Sebenernya, saya masih enggak ngerti kenapa kamu ngotot banget mau nikahin saya. Bisa kamu kasih tau saya alasannya?” Satu pertanyaan itu masih bersarang di dalam kepala Selly dan tak berniat sedikit pun untuk pergi.
“Saya enggak bisa ngasih tau kamu,” jawab Gabe.
“Kalo gitu, saya juga enggak bisa bilang apa yang saya mau.” Selly memang butuh uang dan wanita itu tahu jika pria di hadapannya itu tak akan segan untuk memberikannya. Namun wanita itu merasa tidak puas dengan jawaban Gabe. Ia ingin mundur jika bisa. Tetapi mereka sudah terikat sekarang dan Selly tak akan bermain-main dengan ikatan itu.
“Ini.” Gabe membuka dompetnya dan menyodorkan dua buah kartu ke arah Selly. “Kamu bisa pake ini buat belanja kalo kamu mau.”
Selly menerima kartu itu namun mulutnya tak mengatakan apa-apa sampai sebuah pertanyaan yang muncul di dalam kepalanya itu tercuat keluar. “Saya udah nikah sama kamu. Sekarang saya harus apa?”
“Pertama, saya mau ketemu sama orang tua kamu dulu. Saya mau minta maaf karena mereka enggak ada disini buat nemenin kamu. Saya tau saya keterlaluan dan saya mau minta maaf atas hal itu.” Gabe berujar tulus.
“Saya enggak punya orang tua. Jadi, keinginan pertama kamu dari saya itu enggak bisa saya penuhin. Next.” Selly berujar sangat santai. Bahkan bisa dibilang kelewat santai saat hatinya sebenarnya terluka saat mendengar apa yang Gabe katakan padanya.
Gabe tercenung di tempatnya. Pria itu berusaha menyelami jalan pikiran Selly. Namun Gabe akhirnya menyerah saat ia tak menemukan satu pun jawaban mengapa wanita yang baru saja menikah dengannya itu benar-benar tidak punya hati.
“Karena kamu diem, saya boleh nanya? Saya harus manggil kamu apa?” Selly yang pandai menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya itu cepat-cepat mengalihkan perhatian Gabe sebelum pria itu kembali bertanya dan membuat pertahanannya hancur. “Nama kamu Gabriel Auriga, kan?”
“Kamu bisa manggil saya Gabe. Orang-orang terdekat saya manggil saya kayak gitu,” jawab Gabe.
“Jadi, saya termasuk orang terdekat kamu?” Selly mencoba untuk mencairkan suasana.
“Kamu istri saya. Apa pertanyaan kamu masih butuh jawaban dari saya?” Gabe mendengus.
“Kamu serius banget.” Selly tertawa saat jawaban Gabe sebenarnya justru membuatnya tak bisa berkata-kata.
“Nanti malem, saya mau kenalin kamu ke keluarga saya. Kamu enggak keberatan, kan?” tanya Gabe setelah tawa Selly mereda. Wanita itu menggeleng sebagai jawaban.
“Mungkin kita bakalan dapet masalah besar nanti. Tapi kamu enggak perlu ngomong apa-apa. Kamu cukup berdiri di samping saya. Saya cuma perlu kamu untuk itu,” ujar Gabe lagi.
“Kalo kamu cuma butuh saya untuk itu, kita enggak harus nikah, kah? Maksud saya, kita enggak perlu main-main sama ikatan kayak gini kalo tujuan utama kamu nikah sama saya cuma buat nemenin kamu ketemu keluarga kamu.” Selly tentu saja bingung. Lebih tepatnya, wanita itu benar-benar penasaran dengan motif Gabe yang memaksanya untuk menikah bersama pria itu.
Diam-diam, Selly mengingat-ingat. Apa dirinya pernah bertemu dengan Gabe di suatu tempat dan pria itu jatuh cinta pada pandangan pertama dengannya? Namun suara pintu yang berdecit membuyarkan lamunan Selly.
*****