6: JUST DEBBY!

1132 Kata
"Kenapa? Aneh ya seumur aku virgin?" Debby diam saja. Bukan masalah aneh tak aneh yang kini berkelebat di benaknya. "Deb?" Debby masih memilih diam, membuat Borne merasa ada yang salah dengan pembahasan mereka tadi. "Debby?" "Aku cewek ga bener ya Ne di mata kamu?" Borne terpengangah. Ia bangkit dari tidurnya, duduk menghadap Debby. "Aku ga punya hak menilai kamu, Deb!" Gadis itu menghembuskan nafas beratnya. Jauh di lubuk hati Debby, mendengar betapa Borne menjaga dirinya membuatnya merasa begitu kerdil. Debby berbalik, terbaring memunggungi Borne. "I'm tired." Lirihnya sendu. Borne berdiri, beranjak mendekati Debby. Ia menarik selimut Debby hingga sebatas pinggangnya. Lalu duduk di sisi ranjang Debby. "Ga pernah terlintas sekalipun dipikiran aku kalau kamu cewek ga benar Deb. Lagi pula siapa aku berani menilai kamu?" Debby memejamkan netranya. Enggan bicara lebih jauh. Borne mengulurkan tangannya, menyelipkan rambut ke balik telinga Debby, lalu mengelus lembut kepala perempuan itu. "Good night, Deb." Ujar Borne seraya mematikan lampu tidur di samping ranjang Debby. 'Akupun takut jatuh cinta sama kamu, Ne!' batin Debby. 'Duh Debby, lo kenapa sih? Lo tau banget kan, dari dulu Borne ga pernah ngerespon lo, mandang lo aja ga pernah. Dan baru kemarin banget lo putus sama Aldo. Come on, Debby! Kendaliin perasaan lo!' Debby tak kunjung bisa tertidur. Pikirannya berpindah ke masa lalu. Satu masa yang kini begitu ia sesali. "Penerbangan ke Berlin. Empat tahun lalu." ucap Debby pelan tetapi masih mampu tertangkap indra pendengaran Borne. Borne membuka netranya kembali. Terkejut dengan fakta yang entah ada maksud apa Debby mengungkapnya. "First time I saw you." ucapnya lagi, lirih. "Juga pertama kali aku bertemu Aldo ketika penerbangan kembali ke London. Jadi, aku bertemu kamu lebih dulu, baru kemudian bertemu Aldo.” Lanjutnya lagi. "Aku begitu berharap bisa memutar waktu. Mengejar kamu mungkin. Dan tak menanggapi Aldo." Borne tak menanggapi. Tak berani mengatakan bahwa itupun pertemuan pertama dengan Debby yang tak pernah terlupa olehnya. Menatap seorang pramugari cantik bermata biru gelap. Perempuan yang sejak kali pertama membuatnya jatuh hati. "Setahun kemudian, kupikir hubunganku dengan Aldo akan lekang selamanya. Aku tau, aku naif banget. So, I did my first s*x with him. Dia ga kelihatan seperti b******n, Ne. But you know what, once he knew I'm still virgin at that time, dia bilang — 'wow, I'm so lucky!' — tapi nada bicaranya membuat aku ngerasa hina, murahan, gampangan. After that, setelah dia pergi dari unit aku, I drunk! First time juga sampai benar–benar mabuk. Bukannya bahagia seperti gadis–gadis lain di s*x pertamanya, aku malah merasa bodoh." Borne masih tak berkomentar. "Aku ga tau, apa karena itu, karena dia yang mengambil milikku, aku bertahan selama tiga tahun dengan dia. Aku selalu menepis semua pertanda buruk. Bahkan satu setengah tahun terakhir kami hidup bersama. Di unit aku, Ne. “Aku ribut sama Daddy, dan aku meninggalkan Ayahku karena b******n itu. Bisa kamu bayangkan betapa bodohnya aku? “Dia bahkan ga pernah menaruh baju kotornya dengan benar di keranjang laundry. Dia ga pernah mau mengganti lampu yang mati di unit aku. Ga pernah mau nyuci piring setelah makan. Setiap aku pulang dari tugas, aku selalu disajikan dengan unit yang berantakan. Bahkan sepulang kerja dia jarang banget mandi, asked for s*x dengan aku yang ga nyaman dengan bau tubuh dia. “Dan yang lebih mengenaskan, aku membayar sewa unitku dengan uangku sendiri. Hanya uangku! “Setelah semua yang aku berikan untuknya, aku justru baru tau jika selama ini dia nipu aku. Dan dia di sini, dengan cewek barunya. He's absolutely a jerk ass!" Debby tertawa. Terbahak. Mentertawakan nasib atas kesalahan pilihannya sendiri. Borne bangkit dari tidurnya. Membawa bantalnya. Melangkah ke ranjang Debby. "Geser Deb!" "What?" "Geser!" "Kamu mau apa?" "Sleep." "Tempat tidur kamu kenapa?" "Geser!" Debby mengerutkan keningnya, bingung sendiri dengan sikap Borne, tetapi tetap menggeser posisi tidurnya. Borne merebahkan dirinya di samping Debby, tidur menyamping menghadap Debby. "Sempit, Ne!" "Ini bukan pertama kalinya aku sekamar sama perempuan. Backpackers' life, like I told you, bahkan sekamar bisa beberapa orang. But this is my first time seranjang sama perempuan lain. I have a sister for your information. So, let's sleep! Besok kita mau jalan lagi." Borne memejamkan matanya. Sesaat kemudian terdengar dengkuran halus darinya, pria itu dengan mudahnya terlelap. Debby terkekeh, bulir bening menetes dari kedua netranya dalam sunyi, tak menduga Borne akan bersikap semanis itu. Ia pindah tempat tidur hanya untuk menenangkan Debby, sikap tanpa kata yang menunjukkan Debby adalah Debby baginya, bukan perempuan kotor seperti yang sesaat lalu Debby rasakan pada dirinya sendiri. "Borne..." lirihnya pelan. *** Esoknya, di pagi hari, Borne tetap dengan rutinitasnya. Jogging di sekitar hotel mereka sementara Debby masih terlelap atau berpura–pura demikian. Selepas sarapan, Borne menyiapkan barang–barang yang akan dibawanya nanti, seperti memastikan kamera dan tabletnya full charged, memindahkan foto–foto di kamera ke laptopnya, dan membersihkan serta mengisi tumbler-nya. "Kita makan siang dulu ya nanti? Jadi bisa dapat sunset sambil dinner di sana." Debby hanya mengangguk. "Mau makan apa?" "Di café sebelah aja Ne, aku penasaran risotto–nya. Kemarin lihat orang makan kayanya enak." "Ok!" Debby nyaris tak bersuara selama perjalanan mereka ke Sorrento Lift. Melamun. Berkali–kali Borne mendapatkan perempuan di sampingnya dengan tatapan kosong. Bahkan hingga mereka melangkahkan kaki masuk ke lift yang akan membawa mereka ke bagian atas pelabuhan itu, Debby masih terdiam. Borne menggenggam tangan Debby, melangkah keluar dari lift, sementara Debby berjalan dengan menundukkan kepalanya. "Deb, liat di depan kamu." Debby mengangkat wajahnya. Netranya terbelalak menatap keindahan yang tersaji. Ia melangkahkan kaki mendekati pagar pembatas di hadapannya. Debby menutup mata, menikmati semilir angin laut di wajahnya. Hingga suara lensa yang menangkap gambar membuatnya membuka netranya kembali. "Indah kan?" tanya Borne. "Indah banget, Ne!" Borne tertawa renyah. "Udah berapa kali kamu ke sini?" Tanya Debby lagi. "Dua." "Kenapa ke sini lagi?" "Entahlah. Suka aja kalau pas summer di sini." "Another place?" "Spring in Cambridge. Fall in South Island. Winter in Quebec." "Wow!" "Yeah, wow!" Debby tertawa riang. "Deb..." "Hmmm..." "Dirga pernah bilang, salah satu hal yang ga boleh kita lakukan adalah memberi penilaian pada seseorang. Semua punya cerita hidup masing–masing. Aku punya alasan kenapa selama ini belum mau mengikat hatiku pada seseorang. Kamu pun punya alasan untuk semua keputusan kamu, termasuk kenapa harus Aldo. So, don't be too hard on yourself. Ga ada yang berhak menilai kamu Deb, terlebih memberi penilaian hina. Dan sekali lagi, you're just Debby, just Debby! A girl or a woman – you choose, wearing a floral dress, with her hypnotize deep blue eyes, who really bad when singing – oh God, jangan coba-coba nyanyi lagi Deb! You broke my ears!" Debby terbahak geli. "Seriously?" Kekehnya. "Serius Deb! Asli suara kamu ancur banget! Kuntilanak aja kalah Deb!" "Borneeeeee!!!!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN