Prolog

770 Kata
"Jangan, kumohon," bisikku, suara tercekik tangis. Tenagaku terkuras habis, tak mampu melawan kekuatan pria yang tengah mabuk, tak menyadari apa yang dilakukannya. "Ah, jangan ... kumohon, hentikan ...." Ucapan itu terputus, lirih, nyaris tak terdengar. Jangankan mendorongnya, bersuara saja terasa mustahil. Sudah cukup lama aku berusaha melepaskan diri, tapi pria itu benar-benar memaksa, tubuhku yang kecil dan ringkih ini, benar-benar telah lelah, habis tenaga tuk melawan. Aku memejamkan mata kala akhirnya aku merasakan sakit di bagian bawahku, sakit yang tak pernah kurasakan sebelumnya dalam 25 tahun hidupku. Lebih menyayat daripada kehilangan kedua orang tuaku lima belas tahun lalu, meninggalkan aku bersama mereka yang begitu kejam padaku sampai susah payah aku lepas dari kehidupan pahit Cinderella itu. "Ah, baby, kau sangat nikmat," desahnya, suaranya membuatku membuka mata kembali. Pria itu tersenyum, tatapannya lembut, penuh cinta, tubuhnya terlihat bergerak naik turun memperlihatkan bahunya yang begitu kekar membuatku sedikit terbuai rasa nyaman yang perlahan pria itu ciptakan. "Sayang, aku mencintaimu, sangat." Pria itu kembali memberikan ciuman lembut di bibirku. Namun, aku tahu, kalimat cinta itu bukan untukku. Itu adalah cinta yang ditujukan pada kekasihnya, bukan aku. Dia mabuk, dan aku yakin, bukan aku yang ia lihat sekarang, melainkan kekasih yang amat ia rindukan. Ya Tuhan, aku pasrah. Mahkota yang kujaga selama ini direnggut paksa. Aku tak berdaya melawan pria gagah yang terus bergerak liar di atasku. Aku hanya bisa pasrah, menerima apa yang terjadi, meski pikiranku mulai berkelana entah ke mana. Akan seperti apa reaksi pria itu ketika bangun nanti dan apa yang harus aku jelaskan. "Sayang, katakan, ayo, katakan kamu mencintaiku dan kamu akan segera kembali padaku, hmm ...." Aku memalingkan wajahku, tak mungkin aku jawab permintaannya itu. "Ah ...." Satu desahanku keluar saat tiba-tiba, pria itu bergerak kasar, ada emosi kurasakan dari tatapannya tiba-tiba. "Katakan, ayo!" ujar pria itu tegas. Aku terdiam, benar-benar bingung harus menjawab apa, tapi aku tahu masalah apa yang terjadi pada pria itu hingga ia mabuk seperti ini. "Ah, ayo katakan!" Aku meremas sprei di sisi bantal, sungguh sakit, pria itu benar-benar kasar dan aku lebih nyaman dengan perlakuannya sebelumnya. Susah payah, kucoba untuk bersuara sembari menahan rasa sakit dan nikmat menjadi satu. "Ti-tidak, a-aku, aku tidak akan meninggalkanmu," ucapku pada akhirnya. Pria itu pun tersenyum, gerakannya kembali lembut membawaku pada kenyamanan yang bisa kunikmati kembali dosa ini. "Katakan, kamu mencintaiku sayang!" "Em, a-aku mencintaimu," ucapku, kuharap ini cepat berakhir. Entah berapa lama, akhirnya dia berhenti. Aku merasakan sesuatu masuk ke dalam tubuhku, disusul ciuman lembut yang tak disadarinya ditujukan pada siapa. Bibirnya masih menyebut nama kekasihnya. Penyatuan itu terlepas, tubuhnya jatuh di sampingku, napasnya terengah-engah, d**a bidangnya naik turun. Dia masih sangat dekat. Dengan sisa tenagaku, aku bergeser menjauh. Aku menghapus air mata yang tak henti mengalir, menarik selimut untuk menutupi tubuhku yang nyaris telanjang. Pakaianku koyak oleh tangan biadabnya, pria yang tadi menganggapku sebagai kekasihnya dan memaksakan kehendaknya. Segera, aku bergegas ke kamar mandi, membersihkan tubuhku yang penuh bau peluh dan rasa jijik. Aku takut jika dia terbangun sebelum aku pergi. Aku tak mau menghancurkan kehidupanku yang selama ini tenang. Setelah membersihkan diri, aku mengambil kemeja dari lemari, memakainya, lalu keluar dan memunguti pakaianku yang koyak. Sebelum pergi, aku melirik sekali lagi pria yang masih tertidur lelap di ranjang. Aku tak mungkin menunggu dia bangun. Aku meninggalkan apartemen mewah itu, mengemudikan mobilku kembali ke rumah kontrakan tempatku tinggal selama ini setelah lepas dari kehidupan Cinderella sebelumnya. Sesampainya di rumah, aku kembali membersihkan tubuhku yang penuh jejak merah yang ditinggalkannya. Entah berapa lama aku mandi, air mataku telah habis, aku lelah. Aku membenamkan diri di dalam selimut, berharap ini semua hanyalah mimpi buruk. Namun, kenyataan pahit ini terus menghantuiku. Bayangan tubuhnya, sentuhannya, dan rasa sakit yang kurasakan masih terasa begitu nyata. Aku merasa kotor, ternodai. Kepercayaan diriku hancur berkeping-keping. Aku merasa telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga, sesuatu yang tak akan pernah bisa kembali. Keesokan harinya, aku mencoba menjalani hidup seperti biasa, namun bayangan kejadian itu terus menghantui pikiranku. Aku sulit berkonsentrasi, selalu merasa gelisah dan takut. Aku mencoba untuk melupakan kejadian itu, namun kenangan pahit itu terus terngiang-ngiang di telingaku. Aku merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk yang tak berujung. Aku merasa sendirian, terisolasi dari dunia luar. Aku tak berani menceritakan kejadian ini kepada siapapun, takut akan dihakimi dan dikucilkan. Aku hanya bisa menyimpan semua rasa sakit dan penyesalan ini dalam hatiku sendiri. Aku berharap, suatu saat nanti, aku bisa menemukan kekuatan untuk bangkit dari keterpurukan ini dan menjalani hidupku dengan lebih baik. Namun, untuk saat ini, aku hanya bisa pasrah dan berharap waktu akan menyembuhkan semua luka batinku. Aku berharap, suatu hari nanti, aku bisa memaafkan diriku sendiri dan melupakan semua kejadian menyakitkan ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN