“Undangan acara nanti malam udah gue forward ke email lo semua, ya,” ultimatum Mbak Nindi pada kami.
“Undangan apa, Mbak?” tanya Feni.
“Acara peresmian gedung baru.”
“Anjrit, acaranya di hotel bintang lima? Gak salah, nih cuy?” Aris berteriak heboh setelah membuka email dari Mbak Nindi.
“Wajarlah, 'kan peresmian gedung kali ini didatengin sama komisaris dan jajaran para direksi, masa iya cuma makan-makan di restoran sushi kayak biasa. Nggak level banget,” timpal Mbak Nindi.
“Lumayan nih, siapa tau, dapet jodoh pulang dari acara.” Aris berkata antusias.
“Ya elah, Ris, cewe aja yang lo pikirin, tuh report lo buru dikerjain. Kan nggak lucu kalo lo tiba-tiba batal dateng ke hotel bintang lima cuma gara-gara lembur dadakan,” ejekku.
“Palingan pikiran lo juga sama kayak gue, Nay. Resolusi lo buat bawa calon mantu ke rumah belum ada progress, 'kan?”
“Gue jelas beda lah sama lo. Kalo target lo disana itu cewek-cewek cantik anak divisi lain, kalo gue mah nggak tanggung-tanggung. CEO-nya sekalian gue bungkus bawa pulang.”
“CEO yang lo maksud itu kakek-kakek tua berdasi?” Aris sengaja meledekku yang kuhadiahi dengan lemparan kertas sampah hasil print out.
Aris tertawa puas, membuat gue ingin menyumpal mulutnya dengan kaos kaki.
“Memangnya lo ngga punya mantan yang bisa lo ajakin balikan buat wujudin keinginan Mama lo itu.”
“Ya elah Mbak, kaya ngga tahu aja, Naya kan termasuk spesies jones yang kuat menghadapi siksaan jomlo selama 26 tahun.” Aris kembali meledekku yang kini benar-benar kuhadiahi lemparan kaos kaki busuk hasil simpananku di kantor.
“SUMPAH DEMI APA NAY? LO NGGAK PUNYA MANTAN?” Aku membekap mulut toa Feni yang berteriak keras memenuhi ruangan departemen kami, mengabaikan protes Aris soal bau busuk dari kaos kaki yang kulempar ke arahnya tadi.
“Ssst, Fen, lo bisa kalem dikit ngga sih? Bisa gawat kalo suara lo sampe kedengeran ke ruangan Bos.” Yah, aku ngga mau Bos tau kalau aku sudah berbohong kepadanya dengan mengatakan bahwa aku memiliki pacar tempo hari.
“Lo selama ini hidup dalem goa apa gimana, sih? Heran gue umur setua lo nggak pernah pacaran.”
Gue mengendikkan bahu, “Memang apa salahnya jomlo? Jadi jomlo itu ngga dosa kali, justru kaum jomlo itu lebih bebas, bisa ngelakuin apa yang dia mau. Lagian jadi jomlo itu hebat, sendirian aja dia kuat, apalagi kalo berdua nanti, double kuatnya.”
“Halah, itu mah alesan lo aja biar ngga dibully,” ucap Aris.
Aku melempar lagi bulatan kertas ke arahnya yang kini tepat mengenai wajahnya.
“Lama-lama gue laporin lo ke komnas perlindungan anak.”
“Cih, anak? Lo tuh pantesnya disebut om-om dibanding anak.”
“Sialan!”
**
Aku mematut diri di cermin, menilai lagi penampilanku dari atas sampai bawah. Hari ini di acara peremesian gedung baru kantorku, aku memilih memakai dress peach sepanjang mata kaki dipadukan dengan stiletto warna senada dan clutch merek Hermes yang aku pinjam dari Kak Ivana sore tadi.
Di bawah, Mama sudah berulang kali memanggilku untuk turun, karena Aris dan Feni sudah menungguku di mobil.
“Iya Ma, ini Naya turun kok.”
“Kamu itu lama banget sih, cuma dandan segitu doang aja lamanya kaya ngantri sembako.” Mama masih setia mengomeliku yang aku potong dengan mencium kedua pipinya, lalu melambaikan tangan untuk pamit.
“Hati-hati.”
Mama mengantarku sampai mobil Aris berbelok di perempatan jalan dan hilang di kelokan jalan.
“Ngaret banget sumpah lo, Nay! Kalo sampe kita telat dateng dan nggak dapet akses masuk, ini semua salah lo,” protes Aris.
“Duh, cerewet banget sih, lo kayak ngga tau cewek aja deh. Gue dandan lama itu biar keliatan perfect. Biar misi gue dapetin CEO-CEO muda di sana berjalan mulus.”
Aris mendengus pendek, membuat gue tertawa melihat wajah putus asanya. “Udah, lo fokus nyetir aja. Tenang, kita ngga bakalan telat kok, percaya sama gue.”
Sesampainya di hotel tempat perusahaan kami menggelar acara, ternyata sudah ramai orang yang datang. Bahkan pembawa acara sudah mulai mengisi dengan hiburan-hiburan yang membuat suasana makin ramai.
Aku tak memedulikan acara yang tengah diisi oleh pembawa acara dan memilih untuk berbelok ke arah stand makanan yang menyediakan berbagai hidangan mewah ala orang-orang kaya. Bahkan kini aku sudah terpisah dengan Aris dan Feni yang tenggelam di antara kumpulan manusia.
“Udah gue duga sih, lo pasti di sini.” Aku menoleh menatap Mbak Nindi yang berdiri di sampingku yang tengah asik menyantap kambing guling resep hotel sini.
“Sumpah, Mbak, lo harus cobain kambing guling di sini. Gila, enak banget.”
Mbak Nindi tertawa, “Gimana sih lo, katanya mau bungkus CEO-CEO buat dibawa pulang, kok malah nyasar ke sini, sih.”
Aku menyengir, “Ternyata godaan kambing guling lebih kuat daripada CEO-CEO itu, Mbak.”
Kali ini Mbak Nindi terbahak mendengar guyonanku.
“Eh, btw hari ini lo cantik banget, Mbak. Duileh, udah punya buntut aja masih pengin tampil modis ya, Mbak.”
“Ya iyalah, gue nggak mau kalah sama single-single kaya lo. Eh, btw lo sendirian aja nih? Katanya janjian berangkat bareng Aris sama Feni.”
“Tadi sih gue berangkat bareng mereka, tapi nggak tau tuh orang dua cepet banget ngilangnya.”
Mbak Nindi ber-oh ria.
“Gue haus nih Mbak, mau ambil minum di sana, lo mau sekalian gue ambilin, nggak?”
“Boleh deh, orange juice satu ya, Nay.”
Aku mengangkat jempol, lalu berjalan menuju stand minuman yang berada di seberang stand makanan. Aku mengambil dua orange juice dan berniat kembali ke tempat dimana Mbak Nindi menungguku, tapi sialnya dress yang kupakai tak sengaja nyangkut di antara paku-paku yang ada di kaki meja. Alhasil aku terjatuh dan double sial karena gelas yang kupegang menumpahi baju seorang wanita.
“Aduh.” Wanita itu terkejut mendapati aku yang tiba-tiba menubruknya, hingga tumpahan orange juice mengenai dress-nya.
Buru-buru aku berdiri, mengabaikan rasa perih yang menjalar di pusat telapak kakiku.
“Maaf Mbak, maaf. Saya nggak senga ….”
“Kamu nggak papa?”
Belum selesai aku menyelesaikan kalimatku, datang seorang laki-laki yang panik memeriksa keadaan wanita itu dengan raut wajah khawatir. Aku ingin sekali meragukan penglihatanku, tapi saat ini sosok bertubuh tinggi dengan rambut cepak yang serasa familier di mataku tergambar nyata saat ini. Pak Farhan dengan balutan jas warna hitam dipadukan dengan dasi kupu-kupunya, sedang sibuk mengecek keadaan wanita itu.
“Kamu bisa lebih hati-hati la … Naya?” Pak Farhan juga sama terejutnya seperti diriku.
“Maaf Pak, saya ngga senga ….”
“Naya, itu kaki kamu berdarah.” Teriakan Pak Farhan berhasil mengalihkan atensiku ke telapak kakiku yang sudah mengeluarkan banyak darah.
“Ayo ikut saya.”
“Tapi Pak ….”
“Kamu bisa ngga sih, sekali aja ngga membantah saya. Kamu ikut saya sekarang!” Selanjutnya aku terkejut mendapati tangan Pak Farhan yang menelusup di lipatan lututku dan membawaku ke gendongannya.
DUH GUSTI, INI BERKAH ATAU ANUGERAH?!
**