Hempasan p****t Bianca di kursi kenyamannya menjadi bukti bagaimana perasaan yang sedang ia rasakan. Matanya menatap proposal wedding ceremony yang akan mereka kerjakan.
Pengalaman merancang pernikahan indah sepupu dan kakak tirinya dulu membuatnya dan Tari memutuskan untuk menjadi wedding planner untuk pekerjaan sampingan mereka. Jika dulu, Ia hanya bertugas untuk mendesain pakaian pengantin yang sesuai untuk para klien melalui internet. Sekarang, karena Tari sedang mengandung. Mau tak mau ia harus mengurus segalanya.
Wedding Planner ini mereka melakukan secara exclusive dan hanya mau menangani satu pernikahan per-tiga bulan. Dan proposal yang Bianca lihat sekarang adalah proposal pertama yang akan mereka lakukan sejak 6 bulan terakhir. Suami Tari melarangnya untuk mengerjakan hal lain selain bisnis Interior Desain yang dimilikinya, tapi karena kakaknya yang tak bisa ditegur itu tetap saja melakukannya.
Tangan Bianca mengambil proposal itu dan mulai membaca profil pengantin yang akan menyewa jasa mereka. Ia terkekeh, antara geli dan miris saat melihat berapa umur pengantin wanita.
22 tahun. Wanita yang terlalu naif yang berpikiran bahwa dengan menikah muda akan membawa kebahagiaan.
Bullshit
Pemikiran sinis itu mulai kembali memenuhi kepala Bianca. Menikah di usia muda dengan cinta yang masih menggebu. Tak taukah bahwa cinta yang menggebu itu akan hilang dengan cepat dan bergantikan dengan kebencian. Banyak pasangan naif yang katanya menikah cepat karena cinta, namun akhirnya akan mengakhiri pernikahan itu dengan cepat juga. Saat cinta yang mereka agungkan menghilang tanpa bekas.
Bukan bermaksud berpikiran terlalu sinis, tapi itulah kenyataan yang banyak terjadi. Baginya sekarang pernikahan bukanlah hanya menyatukan dua insan yang dimabuk cinta, namun juga menyatukan dan meleburkan dua ego yang berbeda menjadi satu. Jika di dalam pernikahan mereka masih mementingkan ego masing-masing. Bianca akan menjamin seratus persen bahwa pernikahan itu tak akan pernah bertahan lama.
“Permisi, Mbak.”
Bianca menghentikan lamunannya saat melihat Nadya, Asistennya sedang berada di depan pintu.
“Masuk, Nad.” Senyum Bianca, matanya menatap Nadya membawa beberapa potong pakaian rancangannya untuk memenuhi rak New Arrival.
“Mbak, bagaimana pakaian-pakaian ini cocok dipakaikan di mannequin?” tanyanya menunjukan pakaian dengan d******i warna hitam putih.
Tahun ini Trend Fashion menggunakan warna-warna monocrome. Trend Cut it Out, ataupun segala macam yang berbentuk Asimetris sedang Booming. Lalu, untuk bagian casual, Tee shirt dan Motto Jacket akan populer di pertengahan tahun.
“Itu sudah bagus,” angguk Bianca selalu puas dengan pilihan busana Asistennya. “Ah, jangan lupa cek stok barang lama, lalu masukan ke bagian sale ravkPastikan juga apa yang Fa(Bi)lous pajang, tak ada satupun butik yang menyamainya.”
Bianca tersenyum saat melihat Nadya tersenyum mengerti akan apa yang ia perintahkan. Fa(Bi)lous, nama butik maupun Brand Fashion yang ia luncurkan pertama kali di London Fashion Weeks dua tahun yang lalu. Setelah, semua usaha, perjuangan, kesakitan bahkan kehilangan yang ia alami. Akhirnya apa yang ia mimpikan sejak ABG menjadi kenyataan. Melihat bagaimana rancangannya digunakan dan disukai orang lain membuatnya merasa begitu bangga.
“Kamu boleh pergi,” suruh Bianca pada Asistennya itu. Matanya kembali mencoba fokus pada proposal pernikahan tadi.
“Eh, iya, Mba,” ucap Nadya kembali berbalik. “Tadi Ibu Ambar nelpon. Katanya mbak harus pergi ke tempat kursus masak yang sudah beliau pilihkan. Kalau, nggak mau beliau akan...” kata-kata Nadya terhenti.
Bianca menatapnya yang terlihat ketakutan dengan apa yang akan mamanya lakukan.
“Mama bakalan ngelakuin apa?” tanya Bianca membuat Nadya meneguk air liurnya.
“Ehmm.. Beliau..” Nadya kembali mengigit ujung bibirnya gugup untuk melanjutkan ucapan, takut kalau mood Bianca akan kembali hancur dan membuat amarahnya menjadi tak terkendali.
“Mama bilang apa?” tanya Bianca mulai tak sabar dengan ucapan setengah-setengah yang Nadya ucapkan. “Nad, Mama bilang apa?!” tanya Bianca dengan nada tinggi , Nadya semakin ketakutan
“Beliau... Bilang bakalan ngebakar butik ini dan ngusir mba dari rumah.”
“WHAT THE?! MAMMMMAAAAA!” Suara Bianca mengelora membuat Nadya bergegas meletakan post it alamat tempat kursus masak itu di depan proposal yang dikerjakan Bianca, lalu tergesa keluar dari ruangan Bianca sebelum amarah gadis itu semakin menjadi.
*****
Sialan.
Satu kata itu yang tepat melambangkan makian yang seharusnya Bianca ucapkan. Mamanya benar-benar seenaknya. Bagaimana mungkin beliau dengan sebegitu mudahnya mengatakan akan membakar butik yang sudah susah Bianca bangun tanpa memperdulikan tetes keringat, air mata, bahkan darah yang telah anaknya keluarkan.
Tangan Bianca meremas lembaran post it berwarna kuning yang sedari tadi ia genggam dan bergegas ingin membuangnya ke kubangan air yang berada tak jauh darinya, jika tak ingat post it itu akan menjadi satu-satunya cara agar bisa menyelamatkan butiknya.
Mamanya kejam. Itu hal yang terekam dibenak Bianca perihal watak Ambar. Ambar tak ada bedanya dengan Tari yang kejam jika sudah berurusan dengannya. Ancaman yang mereka lontarkan benar-benar akan menjadi kenyataan, jika Bianca tidak mengikuti semua permintaan mereka.
Kadang-kadang dia merasa bingung sendiri. Yang sebenarnya anak mamanya itu dia atau Tari. Tari mempunyai kecendrungan mirip dengan mamanya membuat Bianca hanya bisa merengek kepada Papanya atau Alfian jika ingin menolak permintaan mereka berdua.
Bianca menghela napas dalam, mencoba menghirup aroma hujan yang baru saja membasahi kota tercintanya. Aroma yang lembab sekaligus manis dan menyenangkan membuat amarahnya sedikit menurun.
Terdengar suara siulan dari beberapa pria yang lewat di sekeliling memandangnya dengan tatapan begitu kagum. Bayangkan saja hanya dengan bermodalkan jaket Moto Denim yang melapisi kaos putih Fit body yang ia kenakan dan skinny jeans dengan warna yang sama dengan jaketnya dan Open Toe Stiletto yang dikenakannya membuat Bianca terlihat sebagai model iklan yang sedang memamerkan karya denim terbarunya.
Dia kesa, seharusnya dia meminta Papa, Alfian atau bahkan mungkin Alan, sepupunya agar membelikan mobil sehingga dia tak harus menunggu taksi di jalan depan butiknya seperti ini dan membuatnya harus mendengar siulan menjijikan dari p****************g yang lewat.
Bianca menghentakan kakinya kesal saat tak ada satupun taksi yang ditunggu menunjukan bumper..
“Need a driver?” tanya seseorang dari balik kemudi mobil hitam sport yang berhenti di hadapan Bianca membuatnya tersentak. Diturunkan tubuhnya melihat ke kaca mobil yang terbuka dan menampilkan salah satu dari Black knight-nya Tari.
Bianca tersenyum cerah, bergegas membuka pintu mobil dan duduk dengan begitu santai di kursi kulit mahal yang menghiasi interior mobil sport pria itu.
“Baru keluar dari tempat Tari?” tanya Bianca sesaat setelah ia memasang sabuk pengamann. Pria itu menjalankan mobilnya kemudian mengangguk. Jarak antara Butik dan Kantor plus Studio baru Rising Sun yang begitu dekat membuatnya tau siapa saja keluarga atau kerabatnya yang datang dan pergi dari tempat kakak tirinya itu.
“Aku selalu disuruh menengahi pertengkaran suami istri yang terjadi itu,” desah pria itu kesal.
“Mereka bertengkar lagi?” kikik Bianca. “Masalah apa?”
“Wedding Planner yang kamu dan Ibu hamil itu lakukan. Kamu tau bagaimana kemarahan suami dari Ibu hamil itu mendengar istrinya kembali bekerja keras di tengah perutnya yang semakin membuncit.”
Bianca kembali tertawa memikirkan perang kesekian kalinya yang terjadi diantara rumah tangga kakak tirinya itu. Yakin 100% bahwa Tari akan memenangkan pertarungan dengan rengekan bahkan tangisan buaya yang akan membuat suaminya luluh dan mengijinkannya untuk melakukan apapun yang Tari minta.
“Kamu terlihat kesal. Kamu mau kemana?” tanya Pria itu seraya fokus kearah jalan membuat tawa Bianca kembali berhenti.
“Daerah Selatan. Mama bersikukuh memasukanku ke tempat kursus masak sialan itu,” decak Bianca kesal membuat pria itu tertawa menampilkan deretan gigi putih bersih dan senyum menawannya yang selalu bisa membuat semua wanita berdecak kagum.
“Tante benar-benar memaksamu untuk ikut kelas masak itu?” kekeh pria itu sembari menghapus air matanya yang keluar.
Bianca merengut kesal. “Kali ini dengan ancaman. Kamu tau kan gimana ancaman mama kalau tidak di laksanakan?”
Ditatapnya pria itu yang sedang fokus menyetir, membuat pria itu kembali terkekeh dan mengangguk. Ia tersenyum lemah, lalu mengusap penuh kasih sayang adik dari wanita yang dulu pernah ia cintai itu. Rasa cinta yaang teramat sangat kepada Tari membuatnya rela melepas dan hanya menjadi sahabat dari Tari dan suaminya.
“Namanya keren!” seru Pria itu membuat Bianca mengarahkan pandangan menatap bangunan berlantai 2.
“B’Licious. Namanya mengingatkanku dengan brand Fashion yang kamu miliki B,” ucap Pria itu membuat Bianca terdiam seolah teringat sesuatu. “Bian..” panggil pria itu menbuat Bianca menatap wajah khawatirnya lalu tersenyum kecil.
Dengan cepat, Bianca melepaskan sabuk pengaman, lalu berjalan keluar. Matanya kembali menatap bagunan bergaya industrialis yang membuat bagunan itu terlihat begitu ekslusive. Dibenarkannya shoulder bag berwarna hitam yang ia gunakan sembari menghembuskan napas membayangkan neraka yang ada di hadapannya.
“Sudah masuk aja. Kamu tidak akan tau ini neraka atau bukan untukmu sebelum kamu mencobanya,” ucap Pria itu tiba-tiba berada di sampingnya membuat Bianca tersentak. Entah bagaimana, sahabat kakak nya ini mempunyai ilmu membaca pikiran dengan tepat.
“come on. Baby girl. Just go..” kekeh Pria itu mengacak rambut Bianca sehingga menbuatnya kesal.
“Aku bukan Deeva. Sebaiknya kamu pergi duluan,” usir Bianca dengan mendorong tubuh besar sahabat kakaknya ini sehingga membuatnya tertawa. Bianca melirik kesal sembari merapikan rambutnya.
“Just Call and i’ll pick you up.”
Bianca tersenyum lalu melambaikan tangan saat mobil hitam yang pria itu kendarai menjauhinya. Senyum Bianca membeku bergantikan dengan raut tak nyaman melihat bangunan di depannya. Dengan langkah berat Bianca mulai berjalan mendekati bangunan itu melangkahi beberapa genangan air bekas hujan tadi. Hingga tiba-tiba...
Byur...
“Jeans dan Sepatu gue!” pekik Bianca saat mobil dengan seenak udelnya berlalu dihadapannya tak memperdulikan genangan air sehingga genangan itu mengenai bagian bawah tubuh Bianca.
Bianca berdecak kesal. Matanya menatap mobil Sport berwarna merah yang tadi dengan sengaja membuat tubuhnya basah. Bergegas ia berjalan menuju mobil yang sudah terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri.
“Heiii, Lo bisa bawa mobil nggak?!” ketuk Bianca kasar pada kaca mobil itu. Emosinya kepada Ambar yang sedari tadi belum turun ditambah lagi insiden tadi membuat amarahnya memuncak. Dengan kasar, ia terus mengetuk, atau lebih tepatnya menggedor kaca mobil.
“Lo bisa bawa mobil nggak sih. Mata lo meleng ya. Ngelihat ada orang berdekatan dengan genangan air itu lo nggak bisa buat mobil lo tu minggir ya?!” gedor Bianca terus. “Ya!!! BUKA!” teriaknya frustasi saat merasa pemilik mobik itu tidak menggubrisnya.
Bianca tersentak. Tubuhnya terdorong kebelakang saat tanpa aba-aba pemilik mobil itu membuka pintu mobilnya. Matanya memandang marah saat melihat pemilik mobil yang ternyata Pria itu berkacak pinggang dan menatapnya dengan amarah yang sama.