ARDRA POV
Seminggu ini, ponselku jadi cepet low batt, sering banget kemasukan chat dari orang asing, bomb chat gak jelas gitu, nanya lagi apa lah, ini lah, itu lah, anu lah, gak penting. Malah bikin chat yang penting malah tenggelam dan aku jadi melewatkan beberapa pekerjaan.
"Ganti nomor aja udah, Dra!" Seru Azmi, memberi solusi setelah mengomel panjang lebar.
"Dih kaya anak alay ganti-ganti nomor." Sahutku.
"Daripada dedek gemez temennya Melly chat lo mulu!" Ujar Arvan.
"Temennya Melly?"
"Lo kira siapaa?"
Aku diam. Kukira itu Nares, dia pernah menelefonku dulu, tiga bulan lalu, dengan nomor baru, aku langsung memblokir nomor itu karena aku ingin memenuhi permintaan Pak Anton; menjahui anaknya.
"Woy! Dra! Kesurupan tau rasa lo!" Seru Azmi.
"Eh?? Yaudah iya deh ganti nomor." Kataku.
"Good! Langsung kabarin kita ya??" Kata Arvan.
"Gak cuma lo duaan kampret! Semua client kita! Itu yang paling penting." Kataku.
"Eh iya ya?? Semoga aja lo ganti nomor gak bikin pelanggan keder ya!"
"Semoga." Kataku.
Azmi membanting kartu AS diamond, giliranku, aku mengeluarkan Poker heart. Tahu apa?? Arvan langsung membantaiku dengan bomb King. b******k!
Kuambil jepitan kertas lalu menjepit ujung telingaku, kemudian mengeluarkan uang lima puluh ribu untuk taruhan berikutnya.
Malam ini, kami begadang dan menginap di ruko, tadi ada kerjaan sampai malam kerena tiga orang karyawan kami kena cacar air. Iya! Tiga-tiganya sakit bersamaan, bikin keder kita semua.
"Jam segini, beli minum enak kayanya ya?" Ujar Azmi.
"Sana gih lo mangkat!"
"Amer mau?" Tanya Azmi, aku dan Arvan mengangguk.
"Pake mobil elo dong Van, biar aman. Kali aja pulangnya bisa bawa cewe."
"Najis lo!" Seruku.
"Mayan bego. Kata Adam Levine juga 'Best laid plans sometimes are just a one night stand' gue mah penurut kan anaknya." Ujar Azmi.
"Ya bawa ceweknya ke kostan lo, jangan ke sini! Gak boleh bawa cewek buat ditidurin di sini, kalo cuma cium-cium gak apa deh." Kata Arvan. Aku ngakak.
"Ya elo kan cemen, beraninya cuma cium, gak berani yang lain, gue mah rajin mengekesplorasi tau!" Azmi membela diri.
"Udah sana mangkat! Beli dua botol aja!" Kataku lalu melemparkan kunci mobil Arvan.
Azmi menangkap kunci tersebut lalu pamit, ia turun ke lantai satu dan pergi.
"Gue lupa, kita dulu kenal si Ami gimana ya?" Tanya Arvan.
"Ngejar layangan ampe kampung belakang, eh dipalak sama itu anak, dia sendiri, kita berdua, ya kita palak balik." Aku bernostalgia.
"Oh iya haha! Sok jagoan banget yee tu bocah!"
"Iyap, dan berguna, inget pas SMP? dia satu-satunya yang nolong kita dari tentara muda sok preman? Malak-malak gitu, gue masih inget gara-gara Ami ceburin salah satu dari mereka ke got, kita lari ampe jantung mau lepas ke rumah lo!"
Arvan mengangguk.
Aku dan Arvan, kami sama-sama anak tentara, beda kalau Azmi, dia tadinya tinggal di kampung belakang perkomplekan rumah kami, lalu saat SMA dia pindah rumah ke daerah Bogor Kota, meski begitu, kami tetap menjalin persahabatan, Azmi anak yang menyenangkan dan bisa diandalkan meskipun otaknya hilang se-ons.
Sekian menit Azmi pergi, ia kembali dengan berbungkus-bungkus rokok dan dua botol minuman, dia bahkan beli kacang rebus banyak banget. Benar-benar pengertian.
"Naikin ah tarohannya, lima ratus rebu berani gak?" Ujar Azmi.
"Hayu!" Seruku, aku dapet duit banyak banget, baru sekali kalah karena di-bomb Arvan, ini duit haram mending aku abisin aja buat judi. Daripada nanti ini duit kagak kepisahin terus kepake jajan, duhh jangan sampe deh!
"Hayu!" Arvan setuju.
Aku mulai mengocok kartu dan siap untuk permainan berikutnya... semoga aku kalah.
***
Pukul dua belas siang aku ada di jalan pulang ke rumah Ayah, aku belum setor muka ke Ayah, takut Ayah ngamuk karena aku gak pulang, karena kan aku sekarang sudah menetap di rumah Ayah. Entar kalo gak balik aku digebeng lagi.
Masalahnya, aku belum kabarin Ayah karena lupa charge batre ponselku.
Teringat sesuatu, aku menghentikan mobilku di pinggir jalan lalu turun. Kuhampiri konter pulsa untuk membeli perdana baru. Saat sedang bertransaksi, aku mendengar keramaian dari seberang jalan, ada yang tertabrak. Waduh, jalanan lagi sepi gini kok bisa-bisanya ketabrak?
Setelah membayar, aku mengikuti kerumunan ini, heran deh, kok malah ditontonin? Gak langsung bawa ke klinik gitu??
Aku mendengar jeritan beberapa orang yang menonton, banyak pula dari mereka yang mengucap takbir kemudian istigfar, makin penasaran, aku mendekat.
Jantungku langsung turun ke mata kaki saat melihat korban tabrakan ini.
Bidadariku terluka, ia tak sadarkan diri. Darah mengalir dari pelipisnya dan aku melihat tangannya baret parah, sudah memutih karena daging yang tertutup keping darah, lalu celana jeansnya sobek, memperlihatkan luka baret yang sama parahnya dengan lengannya.
Aku langsung menerobos kerumunan, tanpa banyak berkata aku meraup tubuh bidadari ini, menggendongnya dan membawanya ke mobilku.
"Mas? Mau dibawa kemana? Ini tas mbak-nya!" Seru seorang pemuda.
"Rumah sakit lah gila! Daripada sama lo cuma diplototin!" Seruku panik, entah kenapa emosiku mendadak naik.
"Lha? Gak dibawa ke kantor polisi Mas?" Ada lagi beberap yang berseru.
"Lo gila?! Orang kaya gini dibawa ke kantor polisi? Mati di jalan nanti! Udah! Masukin tasnya ke mobil gue!" Seruku sambil mendudukkan Nares yang pingsan ini di bangku depan.
Aku memasangkan seatbelt kepadanya lalu menghampiri orang yang memegang tas Nares.
"Urusin tuh korban yang di motor! Gue ngurus yang ini!" Seruku sambil merebut tas gendong kecil milik Nares.
Aku berbalik ke mobil, ku letakkan tas di jok belakang lalu menyetir sekebut mungkin.
Kami sampai di Rumah Sakit Azra hampir sepuluh menit kemudian, aku langsung memanggil perawat dari ruang IGD agar membawa satu bangkar, mereka merespon dengan cepat.
"Nama korban siapa Pak?" Tanya seorang perawat.
"Nareswari, kayanya ditabrak motor Mbak, oh iya ini tas punya dia. Dan sebentar saya kasih nomor orang tuanya ya." Kataku.
Aku mencoba menyalakan ponselku lalu memberikan nomor Pak Anton, si suster ini mencatat dengan baik sebelum HP-nya mati kembali.
"Mbak, kalau ditanya, bilang aja ada yang anter tapi jangan deskripsiin saya. Kalo ditanya tahu nama dan nomor orang tuanya, bilang aja Mbak buka tas ini yaa!" Kataku sambil menyerahkan tas.
Semoga sih gak ada pertanyaan itu, aku hanya jaga-jaga saja agar aku tetap tersembunyi dengan baik dari kehidupan Nares. Kecelakaan kali ini bukti kalau aku tidak bisa menjaganya, baik dari dekat maupun dari jauh.
"Ya sudah iya, baik Mas."
"Ada yang harus diurus lagi Mbak?" Tanyaku.
"Belum, di dalam dokter sedang memberikan penanganan, kita tunggu hasil dari dokter seperti apa, kalau perlu tindakan yang lebih jauh baru kami sampaikan."
"Kalo saya pergi gak apa Mbak? Telefon aja nomor tadi, rumah dia di Taman Kencana kok Mbak, gak jauh dari sini."
"Baik Mas, terimakasih." Kata si suster. Aku tersenyum lalu berbalik.
Semoga, Nares baik-baik saja. Amin.
***
Sampai di rumah, aku mendadak menyesal karena meninggalkan Nares sendirian di rumah sakit. Harusnya aku menemaninya, diam di pinggiran, lalu saat tahu orang tuanya datang, baru aku pergi.
Aku jadi mendadak tak tenang, aku takut terjadi apa-apa padanya saat aku di jalan pulang dan orang tuanya belum datang.
Duduk di kasur, aku menghadap tembok lalu memukulnya keras-keras. Kenapa t***l banget sih Ardra??!!! Makiku dalam hati.
Kemudian aku teringat lagi keadaannya saat tak sadarkan diri, darah yang mengalir, luka yang memutih dan celana yang terobek-robek. Dia ditabrak apa kecelakaan bareng motor tadi sih?? Dia seperti orang yang terseret di aspal, bukan seperti orang yang ditabrak.
Semua pikiran jelek hinggap ke kepalaku. Aku merebahkan diri, menutup kepalaku dengan bantal agar teriakanku teredam.
Aku meraih ponselku dari meja, kucopot kabel charger yang tersambung lalu membuka sebuah video yang pernah Nares rekam di ponselku.
Kubayangkan kalau ia seperti itu, selalu begitu, sehat, ceria dan bahagia. Kupejamkan mataku dan berharap ia baik-baik saja. Tapi... ah!
Sial! Sial! Sial!
Harusnya aku ada di rumah sakit, menungguinya, menemaninya, mengatakan padanya kalau ia tetap baik-baik saja tak peduli separah apapun lukanya, karena aku bisa jamin, dia akan selalu dikelilingi oleh orang yang menyayanginya. Bukannya pergi seperti tadi.
****
TBC
Thanks for reading