ARDRA POV
"Lo tau mantan lo kecelakaan?" Daru datang-datang langsung nanya gitu.
"Lo tahu dari mana?"
"Mamanya ngechat gue, izin kalau anaknya di rumah sakit ditabrak orang, lo gak jenguk?"
Aku menggeleng, lalu membuka ponselku. Nares baik-baik saja dan itu yang terpenting. Aku memandang foto yang dikirim Vizar tadi sore, mereka berdua tersenyum ke kamera.
Kukantongi lagi ponselku lalu menyusul Daru yang sudah masuk ke bagian dalam rumah.
"Ini lo masak?" Tanya Daru sambil membuka tudung saji.
"Yo'i."
"Good! Gue laper. Ayah balik kapan sih? Tumben jam segini belum pulang."
"Biasanya sebelum maghrib udah di rumah, tau dah ini ngapain. Kencan kali." Kataku.
"Lo ngomong sembarangan aja!"
"Gue heran Kak! Akhir-akhir ini Ayah ngomongin elo mulu. Curhat soal pengin lo nikah, pengin gendong cucu. Tapi gue nangkepnya kayak Ayah gitu yang pengin nikah." Aku duduk di kursi menatap serius ke Daru yang ada di seberangku.
"Lo jangan becanda! Masa Ayah gitu sih? Udah belasan tahun Bunda meninggal Dra."
"I know. Ayah duda, gak salah kali kalau mau nikah lagi." Kataku.
"Kenapa baru sekarang? Kenapa gak dari dulu?"
"Mungkin baru nemu yang sreg-nya sekarang, mungkin juga karena kita berdua udah dewasa, udah gak harus diurus sama Ayah, udah gak minta jajan, mulai lah Ayah ngurus dirinya. Lo mikir ke situ gak sih?
"Kita makin sibuk sama dunia kita, umur kaya Ayah tuh butuh temen, temen ngobrol, temen main, temen tidur, apalah." Kataku.
"Kita lagi ngomongin Ayah! Lo jangan nyimpang!"
"Ayah kita manusia bego! Keras emang! Tapi punya perasaan, punya nafsu juga. Mikir gak sih?"
"Lo setuju kalau Ayah mau nikah?" Tanya Daru.
"Kalo Ayah bahagia, kenapa engga? Lo?"
"Gue masih aneh aja denger kaya gitu. Ayah terbiasa sendiri."
"Pokoknya nanti malem kalo Ayah bahas nikah-nikahan lagi, gue mau langsung todong aja ah! Cape gue dikode-kode." Kataku.
"It's up to you, gue cuma numpang makan di sini." Katanya.
"Gue rewel gak kalo tiba-tiba minta uang belanja ke Ayah? Ini masak pake duit gue mulu, jatah rokok gue ngurang terus."
"Duit lo udah banyak setan! Masa masak makanan buat Ayah aja lo masih itung-itungan!" Daru melempar tusuk gigi padaku.
"Kan gue nabung untuk hari tua, monyet!" Aku membalas dengan melempar tempat merica.
Daru langsung bersin-bersin dan teriak. Matanya terkena merica. Mampus gue!
"Ardra! Gue kulitin ya lo!"
"Kenapa ini??" Ayah sudah datang dan masuk ke ruang makan bersama kami.
"Anak gila ini lempar-lempar merica Yah!" Daru, udah 30 tahun masih aja ngadu!
"Ardra?!" Seru Ayah.
"Maaf, Yah. Abis dia duluan."
"Daru cuci muka ayok! Ardra ambil obat tetes mata di First Aid Box!"
Aku mengangguk, berjalan ke arah Daru, menariknya ke arah tempat cuci piring agar ia bisa membasuh matanya, kubantu ia melepas kaca matanya yang banyak bubuk merica itu. Setelah itu baru aku menuju kotak P3K yang tertempel di dinding ruang tamu, lalu mengambil obat tetes mata.
Kembali ke ruang makan, Daru duduk dan matanya tidak mau terbuka. Anjir lah, dihajar Ayah nih aku kalo bikin Daru buta.
"Ini Ayah." Aku mengulurkan obat tetes mata, Ayah menerimanya dan menyuruh Daru membuka matanya.
"Pedih Yah! Pedih banget!"
"Buka Kak, mata tuh punya kemampuan untuk bersihin diri sendiri kalau gak salah." Kataku.
"Bener, dan v****a juga." Daru sempet-sempetnya nyautin gitu. Langsung disentil kupingnya sama Ayah. Aku tertawa.
"Yes I know. Tapi kita gak punya, jadi mending gak usah dibahas!" Seruku.
"Buka matanya Daru!" Seru Ayah.
Daru akhirnya menurut, ia membuka matanya pelan-pelan, lalu Ayah meneteskan cairan obat itu ke mata Daru yang memerah.
"Gak jadi makan aja kalo gini. Padahal laper!" Keluh Daru.
"Kamu mau Ayah suapin?" Tanya Ayah.
"Dihh! Udah Ardra aja Yah! Anak ini nyusahin mulu!" Seruku.
"Gara-gara siapa yaa??" Sindir Daru.
Aku nyengir, Daru masih memejamkan matanya. Aku mengambil nasi untuknya dan beberapa lauk.
"Kalo lo suapin gue terus lo jailin, beneran gue kulitin ya lo!" Seru Daru.
Ayah ketawa dengernya lalu menegur Daru untuk tidak menggunakan gue-elo saat ada Ayah. Daru minta maaf, Ayah tersenyum kemudian masuk ke kamar. Mungkin untuk mandi dan berganti baju.
"Udah, buka mulut lo!" Kata gue.
Daru menurut aku langsung menyuapinya ayam goreng dan potongan kentang. Ya, sore tadi aku masak ayam dan sayur sop.
"Lo masak pake bumbu racik ya Dra? Ketauan banget rasanya." Komen Daru.
"Iye! Biar praktis, gue males nguleg, males juga bongkar lemari nyari blender."
"Lo mau nomor emaknya Estu gak?" Tanya Daru.
"Makan! Kunyah! Telen! Gak usah ngegosip lo!"
"Kan gue mencairkan suasana, gue gak bisa liat!" Serunya sambil membuka mulut, aku menyuapinya kembali.
"Ya bahas apa kek, jangan Nares."
"Dia minta tugas ke gue, biar gak alfa, mau kasih tugas apa nih? Mencintai lo?" Ledek Daru.
"Mulut lo gue cabein ya!"
"Gue suka pedes kok, santai." Katanya sambil mengunyah.
"Pftttt!"
"Gue suruh apa ya? Dia kan bikin lo patah hati. Gue susahin apa?"
"Lo nyusahin dia! Hidup lo gue bikin susah!" Ancamku.
"Hahaha!"
"Lagian lo jadi dosen kenapa galak sih?"
"Kalo gue baik, mereka nanti betingkah, terus sok asik, terus gue digodain. Lo gak sadar apa kakak lo ini tampan dan rupawan?"
"Awas aja lo jahatin Nares!" Seruku.
"Lo doang kayanya yang manggil dia Nares. Kalo lo secinta itu sama dia, kenapa gak lo kejar sih? Setau gue anaknya gak cemen." Daru mulai bahas cinta-cintaan.
"Tapi gue bukan anak yang suka ngelawan orang tua. Pernah lo liat gue bantah Ayah?" Tanyaku, Daru menggeleng.
"Gue nururin permintaan bokapnya Nares, dia minta gue jauhin anaknya, ya gue jauhin. Gue gak mau durhaka, walaupun Pak Anton bukan bapak gue. Gue cuma gak suka ngelawan orang tua."
"Lo sering ngelawan gue." Ujar Daru.
"Jadi lo mengakui lo tua?" Aku nyengir, piring Daru sudah kosong, aku memberinya segelas air.
Ayah keluar dari kamar ketika Daru selesai makan lalu duduk bersama kami, kuberikan piring dan sendok-garpu, Ayah menerimanya.
"Kamu gak makan Dra?" Tanya Ayah.
"Lagi ga nafsu Yah!" Kataku.
"Patah hatinya gak sembuh-sembuh dia Yah, liat aja tampangnya, kurusan gitu terus kaga cukur rambut." Komen Daru.
"Harusnya aku bikin mulut Kak Daru yang gak bisa kebuka, bukan mata!" Keluhku.
"Emang masalah kalian tuh gimana sih sebenernya? Masa Ayah cuma dikasih tahu bagian patah hatinya aja?"
"Ckck!" Hanya itu tanggapanku.
"Ardra berantem sama orang, gak sengaja malah Estu yang kepukul. Ayah tau Estu kan?? Cewek yang nabrak dia dulu!" Ujar Daru, beneran dah, harusnya aku lakban aja mulutnya Daru.
"Iya tau, yang SIM-nya nembak."
"Hahahaha iya itu! Nah Estu kepukul sama Ardra sampe giginya copot, ya marah lah Bapaknya Estu, kan yang bikin Ardra babak belur waktu itu Bapaknya Estu!" Daru bocorrrrrr!!
"Jadi bohong?!" Seru Ayah. Aku tersenyum bersalah.
"Gitu deh dia patah hati dan patah tulang disaat yang bersamaan." Daru selesai.
Ayah mengangguk lalu menatapku serius.
"Kalo kamu suka sama anaknya, ya deketin lagi aja, gak usah takut apapun, Ayah jaga-jaga di belakang kamu, Dra!" Kata Ayah.
Aku mengangguk, tapi hatiku tidak. Aku tetap akan seperti ini, aku bukan orang yang suka memanfaatkan kemampuan orang lain. Dan, kalau aku dan Nares memang ditakdirkan bersama, entah bagaimana kami akan kembali bersama.
"Denger Dra!" Seru Daru.
"Iyeee! Ini yang nempel di pinggir kepala gue kuping kok dua biji. Bukan opak, apalagi enye-enye." Kataku.
"Udah, kalo Ardra gak mau makan Ayah aja malem ini yang cuci piring. Kamu anter Kakakmu ke kamar, suruh istirahat, kali aja pagi matanya sembuh."
"Taro aja Yah, Ardra yang cuci." Kataku. Aku mana tega biarin Ayah cuci piring??
"Udah nurut!" Kata Ayah.
"Siap." Kataku.
Kutarik Daru, lalu menuntunnya ke kamar kami. Ya, kamarku dan kamar Daru itu sama. Rumah ini kecil, hanya ada ruang tamu, ruang keluarga, dapur yang menyatu dengan ruang makan, lalu ada dua kamar, kamar Ayah dilengkapi kamar mandi, satu lagi kamar mandi ada di belakang.
"Lo tidur di kasur bawah aja. Gue di kasur atas." Kataku, kasur kami tipe bertingkat, biar Daru gak glinding, kasih aja kasurku buat dia.
"Gue belom ngantuk, Dek."
"Bodo amat! Ayah nyuruh lo tidur!" Kataku sambil menukar bantal dan guling.
"Ambilin celana pendek dong!" Pinta Daru.
Aku membuka lemari bajuku lalu memberikan celana pendek padanya. Aku meninggalkannya keluar untuk berganti.
Di luar, Ayah sudah selesai mencuci piring, aku bergabung bersamanya di ruang tengah.
"Gimana 3A?" Tanya Ayah.
"Aman kok."
"Udah bilang ke Daru soal nikah?"
Nah kan, bahas nikah lagi.
"Kalo Ardra nanya sesuatu, Ayah jangan marah ya?" Kataku.
"Ya tanya aja."
"Ayah mau nikah ya?"
Ayah diam. Itu artinya ada kemungkinan aku benar. Karena kalau aku ngarang, Ayah pasti langsung ketawa atau setidaknya menyentil telingaku.
"Ayah udah ketuaan kayanya Dra."
"Engga, Ayah keren. Masih banyak kan yang tergila-gila sama Ayah? Kaya lagu jadul aja Yah, tua-tua keladi." Kataku.
Sekarang Ayah tertawa.
"Ayah ada calon? Apa mau aku cariin di Tinder?"
"Tinder?"
"Ada, aplikasi cari jodoh itu loh! Mau aku install-in?"
"Enggak!"
"Ayah udah punya calon?" Tanyaku, lagi-lagi Ayah diam.
"Minggu Ayah kenalin deh ke kamu sama Daru."
"Yes! Gitu dong!" Seruku.
"Kenapa girang banget kamu?"
"Aku pusing seminggu ini Ayah bahas nikah mulu, padahal Ayah biasanya gak gitu."
"Haha sorry, pal!"
"It's okay! Tapi lain kali, gausah kode-kodean ahh, aku gak jago, malah emosi jadinya."
"Oke oke! Kamu sendiri gimana?"
"Gimana apanya?"
"Kamu sama siapa sih tadi namanya?"
"Nareswari?"
"Oh namanya Nareswari, kamu gimana sama dia?"
"Gak tau. Udah pokoknya Ayah nikah aja dulu hahahaha!"
"Ayah gak bakal nikah kalau kamu atau Daru gak setuju."
"Aku mah selama Ayah bahagia ya pasti setuju. Eh iya, Ayah kenal di mana?" Tanyaku.
"Sebenernya udah lama sih kenal, Ayah pernah tolong dia, dua tahun lalu. Terus 6 bulan terakhir ini jadi makin deket gitu. Gak ngerti Ayah awalnya gimana."
Kok agak ser-ser gitu ya denger orang tua sendiri curhat? Pengin ledekin tapi takut kualat. Serba salah deh.
"Yaudah, pokoknya kalau Ayah bahagia, Ardra pasti say yes!" Kataku.
"Kok kamu gak mikir Ayah ngekhianatin Bunda?"
"Bunda udah tenang dari lama, kalau Bunda masih ada terus Ayah kenalin cewek baru, baru itu aku gebugin Ayah hehehe, ini kan engga. Semua orang berhak bahagia kali, Yah. Lagian, Ayah pasti pengin diurusin cewek kan? Bosen pasti kan makan masakan aku yang kebanyakan micin?" Ledekku. Kali ini aku dijitak sama Ayah.
"Dari dulu, Ayah gak pernah ngerti isi kepala kamu. Masih TK udah ikut tawuran sama anak-anak gede. Pas SD doyan plorotin celana orang, pas SMP kerjanya bolos sekolah. SMA? Berapa kali Ayah dipanggil kepala sekolah karena kamu berulah? Kuliah gak beres... tapi kamu bisa bikin Ayah bahagia Dra!"
Aku diam.
"Ayah seneng anak-anak Ayah menjalani hidup sesuai kehendaknya. Kamu tahu kan Kakek dulu tentara?" Ujar Ayah.
"Iyaps, dan Ayah disuruh jadi tentara juga, disuruh nikah sama cewek pilihan kakek juga. Hidupnya banyak aturan dan larangan. Untung Bunda cantik, jadi Ayah langsung naksir dan gak berpaling." Kataku.
"Ayah minta maaf ya, Dra?" Kata Ayah.
"Eh? Maaf apaan?" Tanyaku.
"Ayah suka lepas kendali dan mukulin kamu. Harusnya Ayah sadar, tato kamu tuh nutupin kebengisan Ayah. Karena kalo gak ada tato, akan terlihat separah apa Ayah nyakitin kamu." Kata Ayah dengan suara parau.
"Gak apa. Ayah marah karena Ardra berulah. Kalo Ardra gak bikin gara-gara, Ardra pasti mulus-mulus aja kaya Kak Daru."
Ayah mengangguk lalu mengacak rambutku.
"Udah ayah mau masuk kamar ah, kamu tidur sana!"
"Mau telefon-telefonan sama tante cihuy yak? Ciyeee!" Ledekku.
Ayah nyengir dan menghilang di balik pintu. Aku memandang TV lalu mengeluarkan ponselku, membuka nomor yang berbulan-bulan lalu pernah menelefonku, aku mengatur ulang agar tidak memblokir nomor tersebut, lalu kutekan logo panggilan, menghubunginya. Panggilan terangkat di nada tunggu ke sekian.
"Hallo!" Suaranya terdengar menyenangkan meskipun ia jauh di sana.
"Hallo?!" Serunya lagi, aku masih diam.
"Mbak? Mas? Ini nawarin asuransi lagi ya? Atulah, udah malem oy. Lagian saya udah diasuransiin sama Papa... ke pegadaian haha bye! Selamat malam ya Mbak atau Mas!" Sambungan terputus.
Aku tersenyum, yaudah lah, setidaknya aku bisa mendengarnya bercanda.
Aku membuka aplikasi chat, ada pesan masuk.
Burung Dara:
Kak?
Kakak lo ngajak gue main
Jumat malem
Gimana dong?
Aku tersenyum membaca itu, lalu membalas.
Me:
Kok gimana dong?
Jadiin bego!
Duit si Daru banyak
Minta jajan gih sama dia
Burung Dara:
Gue entar disangka jalan sama om-om gak nanti?
Me:
Bangsat!
Kakak gue gak setua itu
Burung Dara:
Gue mau ajak Mas Daru ke optik ah
Suruh pake contact lens, biar makin cakep
Me:
MAS DARU?????
Burung Dara:
Siaaal
Me:
Anjirrrr
Hay kakak ipar
Burung Dara:
Bangsat Kak Ardra!!!
Me:
Mas Daru udah tidur tauk
Nginep dia, gak balik ke Budi Agung
Mau gue tilep gak lo? Masuk ke kamar?
Gue ikhlas bobok di sofa dah
Burung Dara:
Me:
TAI ANJING
Burung Dara:
Udah ah gue cape chat sama lo, kak
Menguras emosi
Me:
Elo jadi manusia geblek
Tapi gue redo kok lo sama kakak gue
SAMA MAS DARU TERSAYANG
Burung Dara:
Aku hanya membaca pesan tersebut, lalu berlari ke kamar, aku mau laporan sama Daru.
"Kak! Kak! Kak!" Aku mengguncang tubuhnya. Dia bangun dengan mata yang sedikit bengkak. Aduh!
"Apaan sih nyet?!"
"Dara! Mau dia kencan sama lo jumat nanti!"
"Dia cerita??"
"Iyalah! Dia pasti butuh dukungan moril karena dideketin om-om kaya lo!" Seruku.
"Dek mata gue perih banget ini!"
"Yaudah ke rumah sakit deh yuk?"
Daru mengangguk. Lalu aku membopongnya ke luar, dan membawanya ke rumah sakit TNI AU yang tak jauh dari sini.
"Kak, sorry ya, sorry banget. Gue becandanya gak lucu ampe mata lo bengkak gini." Kataku saat kami di UGD.
"Gue tau lo becanda, udah ah, kalem." Katanya.
"Gue bantuin dah ampe lo nikah sama Dara."
"Kalo dia cerita sama lo, tanggepin aja. Tapi jangan lo yang mulai." Kata Kak Daru.
"What? Why?"
"Entar kalo dia rajin chat sama lo, dia naksirnya sama lo!"
Aku tertawa, tapi mengangguk dan membiarkan dokter memeriksa mata kakakku ini. Semoga Daru gak buta deh, amin.
****
Tbc
Thanks for reading