ESTU POV
Malam ini aku tidur sama Papa. Katanya sekalipun udah maafin Mama, tapi Papa belum bisa untuk kembali sekamar sama Mama. Hati Papa belum siap.
"Pa?"
"Yak?"
"Papa sayang sama Mama?" Tanyaku.
"Gak perlu Papa jawab kayanya, nak." Papa mengelus rambutku.
"Huh! Mama selingkuh 4 tahun loh Pa. 4 tahun!" Seruku.
"Ya terus?"
"Kok ya terus sihh?"
"Mama nemenin Papa udah dua dekade lebih Kak, masa iya satu kesalahan ngerubah semuanya? Itu alasan kenapa Papa minta Mama pergi dulu. Supaya Papa bisa mikir dengan tenang dan gak ambil keputusan saat emosi."
"Estu mau punya suami yang kaya Papa ah!"
"Yang jarang mandi??" Ledeknya.
"Yang setia, yang pengertian, yang rajin cuci mobil."
Aku mendekat ke Papa, memeluknya erat. Gosh! Papa sabar banget yaa jadi orang, salut aku. Gak salah aku pilih siapa superhero terfavorit!
"Kamu dua hari ke mana Kak?" Tanya Papa.
"Kalo Estu bilang, Papa marah gak?"
"Ke Ardra?" Tebak Papa.
"Iya!"
"Kalo temenan sama dia gak apa, tapi jangan lebih Kak."
"Kenapa??" Aku langsung melepas pelukanku.
"Dia bisa mukul orang, apa jaminannya kalau dia gak akan mukul kamu?"
"Papa mukulin Ardra sampe babak belur, Papa juga mukulin si Megalomen gila itu, itu jaminannya! Papa bisa mukul orang tapi Papa gak pernah main tangan sama Mama ataupun aku!" Seruku emosi.
Eh bentar, cakep juga ya balesanku itu? Hebat nih otakku kalo spontan.
"Beda Kak!" Papa menarikku lagi ke dadanya.
"Gak ada beda!"
"Kak, Papa gak suka sama Ardra."
"Ya gak apa-apa, kan aku yang suka, aku yang pacaran sama Ardra, bukan Papa. Lagian serem kalo Papa suka sama Ardra."
"Kamu ngerti maksud Papa."
"Gak, Estu gak mau ngerti, Estu mau Ardra. Titik!"
"Kak!"
"Kalo Papa larang! Estu bakal lakuin apa yang Papa sama Mama lakuin dulu, mau?" Ancamku.
"Kalo sampe dia berani macem-macemin kamu---"
"Jangan sampe aku yang macem-macemin Ardra!" Potongku.
Papa memandangku dengan tatapan heran. Iya, heran karena anaknya setengah gila. Tapi yaudah, bodo amat. Aku sayang sama Ardra, aku mau sama dia, kalo bisa sih selamanya.
"Kak, please!"
"Estu mau Ardra Pa! Mau Ardra pokoknya!"
"Kamu baru kenal dia aja Kak, belum kenal banyak orang."
"Terus Estu harus cobain semua cowok yang ada di dunia dulu gitu? Egileee, Estu cuma mau Ardra!"
"Gak gitu maksud Papa!" Ujar Papa.
"Estu ngantuk Pa! Pokoknya, Estu mau Ardra, Papa gak boleh komen!" Aku berbalik memunggungi Papa lalu memeluk gulingku.
Aku udah gak mau lagi dilarang-larang, apalagi untuk gak ketemu Ardra, itu menyiksa sumpah. Orang kata Dilan aja, rindu itu berat, jendral!
"Kak?"
"Estu mau tidur!"
"Yaudah iya, sleeptight sayangku!" Bisik Papa, lalu terasa ciumannya di pelipisku.
Sebenernya, aku nih gak mau mendebat Papa. Papa tuh baik, sungguh. Tapi, aku sayang sama Ardra dan aku gak mau dipisahkan lagi. Aku udah besar dan aku bebas menentukan aku ingin bersama siapa. Dan aku harap, Papa bisa mengerti.
****
Pagi ini aku kaget! Yak, gimana gak kaget kalo ada king of undur-undur liatin aku tidur?
"Biasa aja boss liatinnya!" Kataku sambil mengusap wajah.
"Kamu udah gede ternyata Kak, Papa gak nyangka. Dulu kalo bangun tidur kamu gak liat Papa, kamu nangis, lha sekarang? Papanya ngeliatin malah disemprot."
"Kaget tau!"
"Kak, kamu sama Ardra gak macem-macem, kan?" Tanya Papa, nada bicaranya terdengar serius dan juga khawatir.
"Papa tau? Ardra tuh lempeng banget jadi orang!"
"Maksudnya?"
"Gitulah!" Kataku.
"Turun yuk? Papa laper!" Ajak Papa sambil memakai kausnya.
"Gendong ya?" Pintaku.
"Hayu!"
Papa berdiri di pinggir kasur sementara aku langsung naik ke punggungnya. Kami keluar dari kamarku, menuruni tangga, Papa langsung mengarah ke meja makan.
Mama sudah berada di sana, menata meja dengan banyak makanan yang enak-enak. Nasi goreng, telur dadar, perkedel kentang campur kornet, dan lain sebagainya.
Ahh, aku kangen masakan Mama. Dari kemarin aku sama Ardra makan makanan cepat saji terus.
Papa duduk di kursi biasanya sementara aku mengarah ke keran cuci piring untuk membasuh mukaku.
"Kakak hari ini kuliah jam berapa?" Tanya Mama.
"Jam setengah sepuluh, abis makan Estu paling mandi." Kataku.
"Mau bareng gak?" Tanya Papa.
"Gak, mau naik grab aja."
Papa dan Mama mengangguk, aku langsung menyantap sarapan pagiku ini. Kami makan dalam diam, mungkin Papa sama Mama masih canggung atau entah bagaimana. Aku rasa keduanya memang butuh duduk bersama untuk meluruskan semua masalah.
Kalo Papa nerima dan memaafkan, ya Mama harus menjelaskan semua hal tanpa terkecuali, tanpa ada yang ditutup-tutupi dan harus janji juga kalau gak akan mengulangi, sumpah yang ditandatangai pakai darah, biar lebih maknyus.
Selesai makan, aku menumpuk semua piring kotor di tempat cuci piring, nanti ART kami datang, jadi aku gak perlu repot-repot cuci piring.
Kutinggalkan Papa dan Mama berdua, aku langsung naik ke atas untuk mandi.
Di kamar, aku mengunci pintu, lalu mengeluarkan semua stock rokok dan minuman dari kolong kasur, kumasukan itu ke dalam plastik hitam besar, mau aku buang.
Ardra nyuruh aku berhenti merokok dan aku menyetujuinya, asalkan ia juga berhenti merokok. Meskipun aku yakin aku nanti akan kehilangan rasa di bibirnya yang sudah menjadi candu itu.
Selesai itu, aku langsung ke kamar mandi untuk siap-siap berangkat ke kampus. Setelah mandi aku meraih ponselku, melepas kabel charger lalu menghubungi Ardra.
"Selamat pagi!" Serunya langsung menjawab panggilanku.
"Pagi Ardra Pawaka. Kamu di mana?"
"Lagi di jalan mau ke ruko nih."
"Kamu nelefon sambil---"
"Aku bawa mobil dan ini pakai earpiece." Ia memotong kalimatku.
"Ohh!"
"Kuliah jam berapa kamu?" Tanyanya.
"Ini mau berangkat, pakai grab."
"Oke, baliknya aku jemput ya?"
"Siap boss!"
"Jam berapa bey?"
"Jam 1, hari ini aku cuma ada kuliah umum sama pembagian pembimbing penelitian." Jawabku.
"Oke siap!"
"Oke bey, aku otw yaa, bye!"
"Bye sayangku, hati-hati!" Serunya.
Aku menutup panggilan, lalu membereskan barang-barang yang ada di dalam tasku. Setelah itu aku sedikit berdandan dan memakai parfume.
Sebelum keluar, aku meraih kantong kresek hitam berisi rokok dan minuman keras, membawanya pergi bersamaku.
Di bawah, kulihat Papa dan Mama ada di ruang keluarga, mengobrol dengan suara pelan, mungkin takut terdengar olehku. Keduanya terlihat berdebat.
"Kakak berangkat?" Tanya Papa saat melihatku.
"Iyaa, ini abang grabnya udah di jalan Cermai."
"Itu bawa apa?" Tanya Mama.
"Botol, di kampus anak BEM bikin sayembara buat tiap jurusan ngumpulin barang-barang bekas yang bisa didaur ulang, ini Estu bawa biar jurusan Estu kekumpul banyak." Jawabku.
Itu gak ngarang, itu bener. Tapi ya gak botol bir juga sih. Ini mah alibi aja.
"Oh yaudah! Semoga jurusan kamu menang Kak." Ujar Papa.
"Amin. Duit dong?" Pintaku. Ini senin, duit mingguanku sudah semestinya turun hari ini.
Papa nyengir lalu berdiri dan berjalan ke kamar.
"Ini dari Mama!" Mama memberiku beberapa lembar uang ratusan ribu saat Papa di kamar, aku langsung nyengir dan menerimanya.
"Thank you!" Bisikku.
Mama tersenyum, tak lama Papa keluar, memegang sebuah amplop berwarna cokelat.
"Ebuset, ude kaya gajian aja diamplopin." Kataku.
"Mau gak?"
"Ya mau lah!"
Papa memberikan uang jajan tersebut, aku langsung salim dan mengecup pipinya. Setelah Papa aku beralih ke Mama. Ya, sekalipun membencinya atas apa yang sudah dilakukan ke Papa, tetep aja Mama itu orang tuaku, dan aku wajib menghormatinya. Itu kan yang diajarkan pelajaran PKN saat aku SD dulu?
"Bye! Estu berangkat!" Seruku.
Aku mengecek ponselku, abang grabnya udah di depan rumah. Yuk ah, caw!
*****
"Papa maafin Mama, masa!" Kataku kepada Ardra.
"Ya bagus dong? Keluarga kamu adem deh."
"Tapi aku gak percaya Mama beneran berubah."
"Lha? Kok gitu, bey? Semua orang tuh bisa berubah, kita harus percaya, biar orangnya juga berubahnya makin niat." Ujar Ardra.
"Gak tau Dra, aku bingung."
"Ini kita mau langsung balik?" Tanyanya.
"Kamu sibuk?"
"Ada yang aku kerjain sih di ruko."
"Yaudah ke ruko kamu aja Dra, aku ngadem di sana." Kataku.
"Kamu sendiri di atas gak apa? Aku sama anak-anak lain kerja di bawah."
"Iya gak apa, tapi beliin cemilan ya?"
"Siap!"
Dari kampusku, Ardra mengarahkannya ke ruko miliknya. Kami sempat singgah sebentar di minimarket untuk membeli aneka cemilan untukku dan untuk teman-temannya Ardra. Setelah itu baru kita lanjut ke ruko.
"Bye! Ke atas yaa!" Seruku kepada teman-teman Ardra yang lagi pada kerja.
Di belakangku, Ardra ikut naik, aku menoleh dan ia tersenyum manis padaku.
"Gak apa kan aku tinggal? Aku gak enak biarin kamu sendiri."
"Kamu lagi kerja, jadi yaudah gak apa. Aku gak mau ganggu soalnya." Kataku.
"Yaudah sebentar ya!" Katanya.
Saat Ardra akan berbalik, aku menahannya sebentar lalu memeluknya erat, Ardra tertawa ringan lalu mengecup pipiku.
"Udah ah, di bawah banyak orang." Katanya melepaskan tanganku yang melingkar di pinggangnya.
"Bye!"
"Bye permaisuriku!" Serunya lalu menutup pintu dan menuruni tangga.
Aku langsung melepas sepatuku, lalu duduk santai di sofa miliknya, mengambil remote untuk menonton televisi.
Nonton acara kuliner, bikin aku laper, parah. Tapi aku gak mau ganggu Ardra yang lagi kerja, cemilan di meja malah gak menggugah selera. Jadi kumatikan kembali TV-nya, lalu bangkit dan berjalan ke kamar Ardra. Aku melepas jaket dan celana jeans yang kukenakan kemudian merebahkan diri di kasur Ardra.
Kasur Ardra nih melengkung, agak cekung gitu bikin siapapun yang berada di atasnya pasti langsung ke tengah, seru tau kalo tidur sama Ardra di kasur ini, jadi dempetan terus dan aku bisa menghirup aromanya yang menyenangkan itu banyak-banyak. Kutarik guling untuk memeluknya, lalu membentangkan selimut untuk menutupi kakiku yang telanjang.
Aku memeluk guling, wanginya aroma khas Ardra, aku memperat pelukanku kepada guling ini lalu terpejam, berusaha mengusir rasa lapar yang kurasakan.
*****
ARDRA POV
"Yaudah gue yang anter, lo jaga benteng ya!" Ujar Arvan saat kerjaan kami hari ini selesai.
Aku langsung mengangguk. Aku gak bisa pergi ninggalin Nares, meskipun dia kutinggal di atas, seenggaknya kita harus berada di tempat yang sama. Biar kalau dia butuh sesuatu, aku bisa langsung ada di sampingnya.
"Lo mau ngikut gak Mi?" Tanya Arvan.
"Bentar lagi gue juga balik kok, gak apa kan?" Ujar Azmi.
"Yaudah atuh gue pake mobil sendiri aja, gak usah mobil Ardra, biar langsung balik."
"Yaudah, kalian berangkat, gue tutup ruko!" Kataku.
"Bilang Mas Rud aja yang tutup biar lo bisa langsung ena-ena sama cewek lo!" Ujar Azmi.
"Sinting! Gue gak ngapa-ngapain." Seruku.
"Ammacaa?" Godanya.
"Balik sana lo! Gangguin orang aja!" Sahut Arvan.
"Tau lo! Jangan sama-samain gue sama lo ya!"
"Hahaha yaudah, Van lo bawa dua bocah buat bantu lo! Baliknya anterin mereka, si Rudi mah suruh balik aja sendiri jalan kaki, kan deket, tutup ruko dulu! Gue duluan." Azmi, tumben banget ngasih perintah, biasanya dia yang disuruh-suruh.
"Oh iya boss, siap boss!" Ujar Arvan.
Kami langsung mengerjakan tugas kami masing-masing. Aku membantu Arvan mengangkut baju ke mobilnya lalu setelah itu meminta Rudi untuk menutup ruko dari luar.
Selesai, aku langsung naik ke lantai dua.
Di lantai dua, ruang tengahku terlihat sepi, snack jajanan Nares masih utuh di meja, televisi mati dan ia tak terlihat di ruangan ini.
Aku langsung beralih ke ruangan lain, kamar. Dan benar, aku menemukan Nares sedang tertidur di kasurku, memeluk gulingku dan terbalut selimutku.
Aku tersenyum melihat ini, langsung saja aku duduk di tepi kasur dan mengusap pipinya. Kurapikan rambut-rambut yang menutupi wajahnya.
Entah kenapa, melihat Nares itu selalu membutku tenang dan tegang di saat yang bersamaan. Aku gak ngerti sih kenapa. Mungkin cinta emang seaneh itu. Mungkin.
Aku meraih ponselnya yang berada di dekat bantal, lalu membukanya. Agak syok juga saat kunci layar terbuka dan menampilkan sebuah artikel dengan judul yang sanggup bikin mata melotot 'Bagaimana Cara Memuaskan Pasangan Anda? Temukan Jawabannya Di Sini' apa-apaan? Ngapain Nares baca artikel ginian?
Aku membuka tab history lalu menemukan judul-judul artikel yang sama gilanya. 'Seks untuk pemula!' 's*x Education' 'How to treat your spouse' dan lain sebagainya. k****a sekilas dan, gila! Ini sih beneran gila.
Nares kayanya gak main-main saat bilang pengin coba.
Masalahnya, aku takut. Aku gak siap untuk memulai yang seperti itu. Bahkan, aku gak tau gimana mulainya.
Oke aku gak polos! Udah puluhan, bahkan ratusan film porno pernah kutonton, tapi... beda kan kalau sama praktek sendiri?
Gosh! Nares kayanya emang benar-benar ujian terberat dalam hidupku.
***
*warn 21+*
***
Aku memilih tiduran di sofaku, memandang ke televisi yang menampilkan demo alat masak terbaru, panci dengan berbagai ukuran, tutup kaca tahan panas dan entah apalah.
"Hey!"
Aku langsung menoleh dan terkaget, Nares berjalan ke arahku hanya dengan kemeja flanel dan celana dalam. Serius? Dia gak pake celana?? Oh lord!
Aku mencoba berkedip tapi ternyata susah, aku terus memandang Nares yang semakin mendekat.
Aku menelan ludah saat Nares duduk di pinggiran sofa.
"Kamu kenapa gak pake celana?" Tanyaku, berusaha waras.
"Gerah tau tidur pake jeans tuh." Jawabnya.
Aku mengangguk. Bingung mau respon apa. Yang jelas sih, yang ada di bawah sana sudah merespon duluan, dan makin susah untukku menahan ini semua.
Tanpa aba-aba, Nares merunduk, ia lalu mencium bibirku, pelan. Aku memejamkan mata dan berusaha menikmati ciuman ini.
Aku menyusupkan tanganku ke belakang rambutnya, menahannya untuk tidak menarik diri, tapi, Nares juga sepertinya tak ingin berhenti.
Ciuman kami berubah menjadi lumatan, dan Nares dengan gampangnya pindah posisi, menjadi duduk di perutku. Nope! Gak di perut, tapi tepat di atas situ, membuatku makin....
Akhirnya aku menarik diri dari ciuman yang panas tadi, untuk mengambil nafas. Nares tersenyum melihatku, matanya sudah memerah, bahkan mukanya juga, ia terlihat 1000 kali lebih cantik dari biasanya.
"Aku mau coba Dra!" Bisiknya di telingaku membuatku merinding.
Lagi-lagi aku hanya bisa menelan ludah.
Aku berdebat dengan batinku. Aku ingin menunggu saat yang tepat, tapi aku juga penasaran dan ingin merasakannya.
Belum selesai berfikir, bibir Nares kini mendarat di leherku. Goshh.. ini sih udah gak bisa waras kayanya aku.
Tanganku yang sedari tadi hanya diam di kedua sisi tubuhku, kuarahkan ke bagian depan tubuh Nares. Ia tak berontak saat jari-jariku membuka kancing kemejanya. Nares malah tersenyum lalu melumat kembali bibirku.
Terbawa oleh suasana yang intim ini, aku menyusupkan lengan ke balik kemeja Nares yang sudah terbuka, membuka kaitan di punggungnya.
Ketika terlepas, aku menarik diri dari ciuman ini untuk melihat secara langsung. Aku membantu Nares melepas kemeja dan bra yang menggantung di badannya, ia membantuku melepas kaus yang kukenakan. Kami berdua sama-sama topless.
Sumpah sih ini aku gak bisa kedip kayanya, Nares cantik banget, gak ada lawan, gak ada obat.
Aku menariknya untuk kembali menciumi bibirnya, kali ini tanganku bermain di dadanya. Payudaranya terasa kenyal dan menyenangkan untuk diremas-remas. Dan tentu saja, di bawah sana milikku ingin secepatnya dibebaskan. Dan kali ini, aku gak mau menunggu.
******
ESTU POV
Aku curiga Ardra nih Electro, musuhnya Amazing Spiderman. Kenapa? Karena setiap ia menyentuhku aku seperti tersengat aliran listrik. Tapi, aliran listrik ini menyenangkan, membuat tegang, memicu adrenalin dibandingkan semua wahana yang ada di dufan. Sungguh.
Ardra memutar tubuhku, entah bagaimana meskipun di sofa, Ardra bisa membalikkan keadaan tanpa membuat salah satu dari kami jatuh. Kini ia berada di atasku.
Aku senang kami melakukan ini, rasa penasaranku akhirnya tertebus juga.
Aku memejamkan mata dan menikmati lidah Ardra menari di leherku.
"Gosh!" Kata itu keluar dari mulutku saat Ardra sedikit menggigit leherku. Membuatku makin mengacak-acak rambutnya.
Aku menarik Ardra, membawa bibirnya ke bibirku. Tapi ciuman kami hanya sesaat, Ardra menurunkan ciumannya ke tulang selaka, lalu turun lagi hingga berhenti di dadaku.
"Gosh!"
Kali ini listrik yang lebih parah menyengatku. Membuat tubuhku bereaksi karena sentuhannya. Ardra terus melumat dadaku ketika tubuhku makin melengkung kebelakang.
"Dra! Ayok!"
"Ayo apa?" Sahutnya berhenti sesaat lalu pindah ke d**a sebelah kiri.
"Ardra, please!" Pintaku.
Ardra tak menghiraukanku, ia terus mencium, melumat bahkan sesekali menghisap, membuatku tak kuat menahan apapun yang sedang kurasakan saat ini.
"Dra ayok!"
Ardra menarik diri, lalu ia berbisik dengan lembut di telingaku.
"Kamu relax dulu bey, santai dulu, enak dulu, biar gak sakit! Itu yang aku baca di artikel history kamu!" Katanya lalu setelah itu menggigit kecil daun telingaku.
Aku langsung menggigit bahunya, kesal. Ternyata dia baca juga toh artikel yang aku buka-buka? Dasar!
Ardra mengulang semua perlakuannya, mulai dari mencium leherku, dan seperti tadi, ia berlama-lama di dadaku.
Kalo gini gak ada yang bisa aku lakuin selain meremas rambutnya dan sesekali mencakar punggungnya.
"Ardra! C'mon!"
Ardra terkekeh, ia menarik diri. Mengangkat sedikit tubuhnya lalu memandangku dengan tatapan lapar.
Aku tersenyum, lalu mengulurkan tanganku ke kancing celana jeansnya yang masih terpasang dengan baik. Kubuka kancing tersebut lalu menarik turun hingga sebatas paha.
"Buka gih!" Kataku.
Ardra tertawa, ia bangkit lalu melepas celananya, eh tapi celana dalamnya masih menempel. Ya ampun Ardra, nanggung banget sih!!
Kesal, aku maju dan melepas semua yang menempel ditubuhnya tanpa tersisa apapun. Dan, gossh! Gede yaaa!!
Jantungku mendadak berdetak liar karena pemandangan ini. Ya ampun, ya ampun, ya ampun. Ini gimana??
Ardra tersenyum, ia mendorongku lembut agar kembali merebah. Aku menurutinya, lalu menyambut bibirnya yang sudah mencium bibirku.
"Dra, kamu udah pernah?" Tanyaku saat kami menarik diri.
Mata Ardra menatapku tajam, seolah masuk, tembus ke dalam jiwaku. Tiba-tiba, aku merasa seperti sudah tahu jawaban dari pertanyaanku tadi. Ini juga hal baru untuknya.
"For the first time in forever!" Bisiknya.
"Kayak Elsa." Kataku.
"It's Anna." .
"Kamu nonton frozen?" Tanyaku.
"Olaf is the best bestfriend ever."
Aku tertawa mendengar itu, ia langsung mengecup bibirku. Sementara ia menciumku, aku berusaha melepas kain terakhir yang menempel di tubuhku ini. Ardra tahu apa yang kulakukan dan ia membantuku melepasnya.
Nafasku berhenti saat Ardra meletakkan tangannya di sana. Dan ia tersenyum, senyum manis yang belum pernah kulihat sebelumnya, senyum m***m.
"Kamu basah." Katanya.
Aku menggigit bibir bawahku, mengangguk malu-malu, tapi Ardra mengelus pipiku, membuatku tenang.
"Bener mau?" Tanyanya.
"Masih nanya?!!" Seruku.
Ardra kembali tersenyum, senyum yang sanggup merontokan iman semua wanita yang ada di dunia ini. Aku menarik Ardra untuk menciumnya lagi sementara itu, kakinya bergerak membuat kakiku terbuka dan ia berada di antaranya.
Gosh!
"Kamu gak takut?" Bisiknya sambik menggigit daun telingaku.
"Nggak. You make my whole world feels so right when it's wrong." Kataku.
"That's how I know you are the one." Sambungnya.
"That's why I know you are the one." Aku menyelesaikan penggalan lagu tersebut.
Ardra mengecup keningku, ia bangkit dan bertumpu pada kedua lengannya, menatapku dengan mata setajam belati miliknya.
"Kalau sakit bilang, kalau mau berhenti bilang, pokoknya bilang." Katanya. Aku mengangguk mantap.
Ardra memposisikan tubuhnya, jantungku makin gak karuan saat merasakan sesuatu yang keras menyentuhku di bagian itu.
"Takut gak?" Tanyanya lalu menempelkan bibirnya dengan lembut.
Aku menggeleng, lalu membuka mulutku agar Ardra bisa masuk. Ciumannya kali ini tidak seperti tadi, ia sekarang terkesan menuntut dan membuatku kewalahan membalas semua perlakuannya.
Saat aku terengah-engah membalas ciumannya, Ardra pindah ke leherku, lidahnya menari di sana membuatku melayang, tak lama, Ardra pindah ke leher sebelahnya, sama seperti tadi, sentuhannys membuatku terbang ke entah-berantah.
"Ohh!" Desahan pertama lolos dari mulutku saat sebelah tangan Ardra meremas payudaraku.
Aku hanya bisa memejamkan mata dan menikmati semua sentuhannya.
"Ohh s**t, Dra!" Saat kalimat itu keluar, aku merasakan sesuatu masuk menerobos ke dalamku, di bawah sana.
Aku langsung meremas kedua lengan Ardra sekuat tenagaku. Aku juga merasakan air mataku menetes.
Wajah Ardra menjauh dari tubuhku dan ia menatapku panik.
"Sakit ya? Mau berhenti?" Tanyanya sambil mengusap rambutku.
Aku menggeleng. Aku berusaha beradaptasi dengan benda asing yang ada di dalamku ini.
Aku menunduk untuk melihat itu, tapi Ardra menahan daguku agar kembali menatapnya.
"Jangan liat bawah, liat aku aja." Katanya.
Aku mengangguk.
"Mau berhenti?" Tanyanya.
"Gak. Diem aja dulu." Kataku.
Ardra mengangguk, lalu ia mendekat kembali, memelukku. Gerakan itu membuat benda asing tersebut masuk lebih dalam, membuatku meringis.
"Kenapa?" Bisiknya sambil mengecup mataku yang basah.
"Gak apa. Aku sayang Dra sama kamu." Kataku.
"And I love you more."
Aku merasa damai mendengar itu, aku langsung melingkarkan lenganku ditubuhnya, mempersempit jarak, lalu mengecup bahunya.
Ardra kembali mencium leherku, sesekali menggigit daun telingaku, memainkannya dengan bibirnya. Sementara itu, aku mulai terbiasa dengan apa yang terjadi di bawah. Aku mengacak-acak rambut Ardra ketika ia membawa tangan kami ke atas kepalaku, membuat kami saling menggenggam dan ia menciumku dengan terburu-buru
Aku membalas ciuman Ardra, kami saling berpandangan dan aku melihat Ardra seperti tersenyum, dan detik berikutnya, terasa pergerakan di bawah sana.
Aku sedikit meringis, lalu saat Ardra berhenti, aku berusaha menahan rasa sakit aneh tersebut dan mencium Ardra kembali.
"It's okay!" Desisku di sela-sela ciuman kami.
Ardra mengangguk lalu ia kembali bergerak, kali ini aku berusaha menahan rasa sakit tadi, tapi lama-lama, rasa sakit itu berangsur-angsur menghilang. Ya, bahkan tidak terasa sakit sama sekali.
"Oh s**t Dra, aku mau pipisss!" Seruku ketika gerakan Ardra makin cepat.
"Itu bukan pipis sayang, jangan ditahan." Bisiknya dengan suara yang menggoda. Kenapa Ardra bisa begitu yak suaranya??
Aku mengangguk ketika Ardra menunduk dan melumat payudaraku. Goshhh!
Aku merasa seperti ada sesuatu yang akan meledak, kuregangkan tubuhku dan tiba-tiba saja aku merasa lega. Aku merasakan kenyamanan yang luar biasa dan entah apa, ini sih sejuta rasa. Gak salah orang bilang enaena, emang beneran enak kok, kalo gak percaya, cobain aja sana!
Kutarik Ardra agar bisa memeluknya lebih erat, lebih rapat, lebih hangat.
Ardra yang sedari tadi bergerak tiba-tiba berhenti, miliknya masih berada di dalamku ketika aku merasakan sesuatu yang hangat. Ardra langsung menciumku dalam-dalam. Tangannya sudah tak menjadi tumpuan tubuhnya, ia menempel di badanku.
Aku menyisir rambut Ardra dengan tanganku, berkali-kali mencium ujung hidungnya.
"I love you, Nareswari, so much!" Bisiknya.
Aku merinding mendengar itu. Hatiku mendadak penuh oleh perasaan bahagia. Aku tersenyum dan menciumnya lama.
"Kamu punya baju turtle neck?" Tanyanya tiba-tiba.
"Hah? Kenapa?"
"Merah-merah leher kamu, tutupin ya?"
"Entar, biar imbang kamu juga aku merahin!" Aku menarik Ardra lalu mencium lehernya, sedikit menghisap menggunakan gigi, lalu menariknya.
Aku tertawa saat melihat leher Ardra yang merah itu, bagus juga hasil karyaku.
"Gila, bey! Aku tutupin pake apa?" Tanyanya, ia membalik tubuh kami dan sekarang kini aku yang di atas.
Eh? Anjir-anjir-anjir.
Aku langsung berlari ke kamar mandi agar tak mengotori sofa milik Ardra.
"Woooyyy!" Seru Ardra dari luar.
Aku tertawa di dalam kamar mandi sambil membersihkan diri. Ya ampun, kok menyenangkan gini yaa??
Kayaknya aku mau lagi deh.
*****
TBC
Thank you for reading,