3

1088 Kata
Satu menit sebelum pukul dua belas, aku sudah bersiap dengan dompet dan ponsel di pangkuan. Kakiku bergerak gusar di kolong meja. Mataku bolak-balik melirik jam dinding dan layar monitor. Tik. Jarum panjang bergerak ke angkat dua belas. Aku bergegas mematikan komputer lalu berlari ke arah tangga keluar. Edi sempat meneriakkan namaku yang aku balas lambaian tangan. Entah dengan maksud apa aku melambai, sekadar respons sopan mungkin. Begitu keluar kantor, aku menyeberang jalan menuju gang di seberang gedung kantor yang ramai dengan gerobak penjual makanan pada bahu jalan. Aku memutuskan akan makan siang di situ daripada ke kantin. Sebenarnya aku menghindari Friska yang bisa-bisa muncul dan mengajak makan. Lebih buruk lagi jika dia mengajak kakak sepupunya itu. Aku mengamati makanan apa saja yang dijajakan. Kebanyakan makanan yang tersaji adalah menu yang biasa aku temukan di kantin kantor. Akhirnya pilihanku jatuh pada batagor yang terlihat menggiurkan saat penjualnya sedang menuangkan sambal kacang kental di atas potongan batagor yang gendut. Aku memesan seporsi batagor dengan ekstra telur rebus. Sambil menunggu pesananku tiba, memoriku mengulang kisah masa lalu. Kilas potongan kelam memoriku yang egois dan dengki. Demi memuaskan kebahagiaan semu, aku sampai membuat pertunangan sepasang kekasih batal di tengah jalan. Karena amarahku pada hak prerogatif Tuhan pada makhluk-Nya, aku sampai tega menyakiti hati perempuan lain. Lima tahun tidak bertemu, aku pikir aku sudah sepenuhnya sembuh dari penyesalanku di masa lalu. Nyatanya, bertemu kembali dengannya masih menimbulkan sensasi memilukan. Anggaplah aku perempuan bodoh yang berputar-putar pada masa lalu, tapi nyatanya aku masih manusia yang hatinya berfungsi mengolah perasaan. “Kenapa makan siangnya batagor?” Kepalaku berputar ke asal suara. Admiral Putranto duduk di sisiku dengan sebelah tangan memangku wajah. Seulas senyum tergores di bibir merahnya. Bibir yang tetap semerah dulu walau si pemilik sering menghisap tembakau. Aku memilih diam dan kembali menatap punggung penjual batagor yang masih sibuk menyiapkan pesanan pelanggan. “Cogan dicuekin nih? Fine, gue balik aja ke kantor,” goda Admiral. Aku mengulum senyum mendengar ucapan narsisnya. “Sok ganteng.” “Gitu dong bersuara. Gue kira udah putus pita suara lo.” Dia terkekeh akan ucapannya sendiri. “Gue tadi ketemu Deva,” ceritaku tanpa ditanya. Admiral tergagap di depanku. Wajahnya berubah pias. Ini kodrat kami sebagai pelakon kejahatan di masa lalu untuk takut pada balasan di masa kini. “De.. Deva..rio.” Pertanyaannya kental akan kesan tidak percaya. Aku mengangguk lemah. Sepiring batagor diantar ke mejaku. Sebenarnya aku tidak lapar sama sekali. Pertemuan dengan Deva sukses menghilangkan selera makan. Pergi ke sini hanya pelarian agar aku tidak perlu bertemu Friska. “Dia bos gue dari kantor pusat,” kataku sembari menyuap satu potong batagor. Admiral melihat gedung kantorku bekerja yang terdiri dari lima tingkat. Papan nama perusahaan terpampang jelas di puncak gedung. “Setahu gue kantor lo bebas dari sangkut-paut keluarga Deva...” Admiral tidak melanjutkan perkataannya. Mulutnya menganga dengan mata membelalak. “Damn, gue rasa gue ketinggalan sesuatu.” Dia mengotak-atik ponselnya, lalu mengumpat. Aku hanya memperhatikan tanpa niat bertanya apapun. Hampir sepuluh tahun berteman, aku tahu dia akan bercerita sendiri tanpa diminta. Sama halnya denganku yang akan bercerita sendiri tanpa ditodong pertanyaan. Sebuah aturan kasat mata yang berlaku dalam hubungan kami. “Kantor lo di bawah naungan perusahaan bokapnya Friska.” Admiral menunjukkan laman internet yang memberitakan kepemilikan saham perusahaan tempatku bekerja oleh Gusti Indrayuda, almarhum papa Friska. Aku menutup mulut dengan tangan. Info yang tidak pernah aku ketahui setelah empat tahun lebih bekerja di sana. Oh, tentu saja. Siapa aku di sana, kecuali karyawan yang datang, kerja, lalu pulang. Interaksiku bersama rekan kerja hanya mentok pada Edi yang duduk di sebelah. “Tapi bulan lalu, Friska cerita bokapnya udah meninggal.” Mata Admiral membelalak tidak percaya. “Bulan lalu lo ngobrol sama Friska?” Aku mengangguk lemah. Selama dua bulan terakhir, aku dan Admiral tidak bertemu, banyak cerita yang tidak aku bagi kepadanya. Admiral pasti terkejut dengan kabar yang berikutnya aku sampaikan. “Friska bos besar kantor gue.” Tangan Admiral meremas jemariku. Wajahnya serius menatap mataku. “Resign dari sana. Gue nggak mau lo kenapa-kenapa.” Aku menggeleng. “Gue baru naik gaji.” Admiral berdecih ke arah lain. “Jangan tergiur sama gaji lebih gede. Lo mau ketemu sama Deva tiap hari?” Kepalaku tertunduk lemas. Aku akui, sekali bertemu saja sudah membuatku sangat amat tidak tenang. Tidak terbayang bagaimana hidupku jika terpaksa bertemu setiap hari. Tapi itu tidak mungkin. Deva bekerja di kantor pusat, nyaris tidak punya kepentingan untuk selalu datang ke sini karena kantor kami hanyalah anak cabang kecil. “Cabut aja dari sana. Kerja bareng gue,” saran Admiral. Tangannya merebut sendok yang ada di tanganku. Dengan cepat, dia menyuap hampir setengah porsi batagor yang ada di piring. “Heh, Kunyuk, itu makan siang gue. Jangan dihabisin.” Aku menoyor kepalanya lalu merebut kembali sendokku, dan menjauhkan piringku dari jangkauannya. “Medit. Belom kaya aja udah medit.” “Ini hemat. Life budgeting itu wajar bagi orang susah. Nah lo ngapain di sini?” “Abis ketemu klien. Terus gue lihat lo nyeberang, gue ikutin sampai ke sini.” “Tambah klien, tambah bonus dong. Ada jatah dewi fortuna lo ini, kan?” Admiral terbahak. Penikmat batagor yang sedang asyik bersantap sampai menoleh semua ke arah kami. Beberapa perempuan berbisik-bisik dengan lirikan genit. Pasti membicarakan ketampanan Admiral. Aku pasti akan mengakui ketampanannya jika saja dia lebih normal secara harfiah. “Ketawa nggak sadar diri gitu. Dilihatin, malu.” Aku menepuk bahunya keras demi menghentikan ulah seeking attention memalukannya. “Abis semena-mena lo ngaku dewi fortuna gue. Yang ada hidup gue kusut dekat sama lo bertahun-tahun.” Tanganku mencubit perutnya yang keras. Sedikit sekali daging perutnya yang bisa aku jepit dengan ibu jari dan telunjuk. “Itu bukan karena gue. Itu keadilan alam.” Admiral meringis. “Iya, benar omongan lo. Ini keadilan alam, yang jahat nggak bakal mujur.” Aku merutuki omonganku yang jelas menyinggungnya. Jika saja kami bisa memutar waktu, pasti aku dan Admiral tidak akan hidup dalam kubangan penyesalan demikian lama. “Kapan nikah, Vhi?” Admiral terlihat mengubah topik pembicaraan. “Mau nikah sama siapa?” tanyaku ketus. “Makanya jangan ketus gitu, mana ada cowok mau nikahin lo.” “Ntar gue nikah sama lo aja, ya?” Aku meliriknya dengan aksi genit. “Sakit, Mbak?” “Gitu, ya? Awas datang ke gue minta nikah, gue tolak lo,” kataku berpura-pura mengancam. “Ampun, Kanjeng. Nggak lagi-lagi deh bikin Kanjeng sakit hati.” Tangannya ditangkup di depan wajah. Ulahnya sungguh memalukan. Dia seolah lupa umur berlaku kekanakan di tempat umum. Namun kekonyolannya sukses membuatku tertawa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN