Bab 2

2053 Kata
Lucas menggeliat untuk meregangkan otot-ototnya, dia baru saja bangun dari tidur. Sepasang mata birunya mengerjap beberapa kali sebelum terbuka dengan sempurna, dan terbelalak melihat keadaan hari yang terang-benderang. Cepat Lucas duduk, menghiraukan kepalanya yang tiba-tiba terasa berputar Lucas mengambil jam digital dari atas nakas. Memeriksa jam dan mengerang. Dia terlambat bangun! Benar-benar pagi yang buruk bagi Lucas. Dia yang tidak pernah terlambat bangun pagi malah terlambat pagi ini. Biasanya jam tujuh pagi seperti sekarang dia sudah rapi dan bersiap untuk pergi ke laboratorium, pagi ini jam tersebut dia masih duduk di atas tempat tidur. Astaga! Bergegas Lucas turun dari tempat tidur, berjalan menuju kamar mandi dengan sedikit sempoyongan. Dia masih mengantuk dan kesal. Terlambat tiba di tempat kerja sudah merupakan sesuatu yang membuatnya kesal, ditambah hari ini terlambat bangun pagi. Benar-benar merupakan suatu kesialan bagi Lucas. Bisa dijamin suasana hatinya tidak akan bagus hari ini. Lucas berharap kekesalannya tidak berimbas pada pekerjaannya hari ini. Harapan yang ternyata sia-sia. Sepagi ini sudah beberapa kali dia melakukan kesalahan. Ternyata efek terlambat bangun pagi sangat tidak baik baginya, padahal hanya satu jam dia terlambat bangun. Bagaimana kalau seandainya lebih? Bisa-bisa suasana hatinya tidak akan membaik selama seminggu. Aaarrrgghhh! Lucas terus saja menggerutu. Bahkan sampai dia berada di dalam mobil di perjalanan, gerutuan masih terdengar dari mulutnya. Apalagi tadi dia lupa di mana menaruh kunci kontak mobil. Alhasil pukul sembilan pagi dia baru memasuki mobil. Satu jam perjalanan tidak membuat kekesalan Lucas menghilang. Dia terus saja menggerutu, sampai-sampai salah memasukkan cairan. Seharusnya dia menggabungkan kedua cairan berbeda warna itu di labu ukur bukan di gelas piala. Satu kesalahan menjalar pada kesalahan lainnya. Lucas juga salah mencampur dua jenis bahan kimia, ledakan kecil terjadi. Mejanya berantakan, semua alat-alat berhamburan. Lucas menggeram tertahan. Membuka pintu ruangannya, berteriak memanggil petugas kebersihan. Meminta mereka untuk membersihkan ruangannya. Untuk merapikan meja, Lucas melakukannya sendiri. "Astaga! Apa yang terjadi di sini?" Lucas tidak menghiraukan pertanyaan Peter. Tidak penting juga menurutnya. "Kalau kau datang hanya untuk mengejekku, sebaiknya lakukan nanti saja. Aku sedang sangat sibuk dan tidak bersemangat hari ini!" ucap Lucas ketus. Peter tertawa kecil. "Kurasa aku tidak akan melakukannya," sahutnya. "Daripada mengejekmu, aku lebih senang mengajakmu ke kantin. Aku perlu secangkir kopi." Lucas menghentikan tangannya yang merapikan meja, berpikir untuk menerima ajakan Peter atau tidak. Pilihannya jatuh pada opsi kedua, sepertinya dia juga membutuhkan segelas kopi. Lucas berbalik, melangkah keluar ruangan mendahului Peter. "Baiklah, ayo! Apalagi yang kau tunggu!" serunya. Peter menggelengkan kepala pelan sebelum menyusul Lucas yang sudah berada beberapa kali di depannya. Sepertinya temannya ini mengalami hati yang buruk. Setahu Peter, Lucas hampir tidak pernah melakukan kesalahan, dia sangat hati-hati saat bekerja. Namun, yang dilihatnya hati ini berbeda. Ruangan Lucas berantakan seperti kapal pecah. "Kau mau menceritakan bagaimana harimu padaku?" tanya Peter hati-hati begitu mereka tiba di kantin. Keadaan kantin masih sepi, tidak seramai saat jam makan siang. Para peneliti yang bekerja di laboratorium ini masih sibuk dengan semua pekerjaan dan penelitian mereka. Hanya ada beberapa orang di kantin termasuk mereka. Lucas mengibaskan tangan kacau, kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri beberapa kali. "Ini sangat buruk, Pete. Aku sudah mengacaukan pagiku," akunya Lucas dengan wajah menekuk. "Aku terlambat bangun pagi, lupa untuk menggosok gigi dan lupa di mana aku meletakkan kunci kontak mobilku." "Astaga! Yang benar saja? Bagaimana mungkin kau lupa menggosok gigimu?" Mata hijau Peter membulat. Sangat sulit dipercaya kalau Lucas yang menjunjung tinggi kebersihan melupakan hal sepenting itu. Lucas mengangguk kacau. "Iya," jawabnya tanpa semangat. "Padahal aku sudah rapi. Terpaksa aku kembali ke kamar mandi dan coba tebak? Seluruh pakaianku basah." Sesungguhnya Peter ingin tertawa mendengar cerita teman seperjuangannya ini, tapi mati-matian ditahan. Apalagi melihat wajah menderita Lucas, ingin rasanya dia mengabadikannya dalam sebuah foto. "Dan tadi ... aku lupa cairan apa saja yang harus aku campur sampai akhirnya meledak itu. Aku juga lupa wadah untuk mencampur, aku mencampurnya di gelas piala padahal seharusnya di labu ukur." Kali ini Peter tidak bisa menahan tawanya. Peter terbahak sampai-sampai mereka menjadi pusat perhatian penghuni kantin yang tidak seberapa. Hanya 3 orang petugas kantin dan 2 pembeli. Kedua pembeli itu adalah rekan kerja mereka yang juga sedang menikmati kopi seperti yang mereka lakukan. Namun, Peter tidak peduli. Dia terus tertawa sampai rasanya sulit bernapas. "Kau tertawa saja sampai mati!" maki Lucas kesal. Sungguh, Peter bukannya menolong dan membuatnya lega malah semakin membuat suasana hatinya memburuk. "Maafkan aku, Kawan," ucap Peter setelah berhasil menghentikan tawanya. "Menurutku ini sangat lucu. Sungguh, maafkan aku. Tapi, apa tidak sebaiknya kau pulang dan beristirahat saja? Aku tahu usulku sangat berlawanan denganmu, tapi percayakah, kau membutuhkan waktu untuk beristirahat lebih banyak." Lucas hanya mengangkat bahu sebagai tanggapan. Dia tidak ingin memikirkan usul Peter yang tidak masuk di akal baginya. Dia sangat menyukai berada di laboratorium dan tidak akan pulang sebelum jam kerjanya habis. Hari ini pun dia akan seperti itu. Usul Peter sedikit gila baginya yang suka bekerja. "Terima kasih, tapi aku tidak akan melakukannya." Peter mengerang. "Sudah kuduga," ucapnya kesal. "Padahal kau sangat membutuhkannya, Kawan. Tubuhmu perlu kau istirahatkan." "Tidak perlu memberitahu, aku sudah tahu!" ketus Lucas. "Jantung dan seluruh organ tubuhku perlu beristirahat setelah bekerja seharian. Tapi, apa kau tahu? Aku sudah kelebihan istirahat tadi malam. Aku bangun kesiangan kalau kau lupa!" Peter menjentikkan jarinya. "Itu adalah bukti kalau kau perlu hiburan!" ucapnya bersemangat. "Bagaimana kalau kita pergi ke bar seperti usulku kemarin?" Peter menaik-turunkan alisnya menggoda. Lucas memutar bola mata kesal. "Kurasa kau sudah tahu jawabannya, Pete," sahut Lucas. "Aku tidak mau. Alkohol sangat tidak baik untuk tubuh." "Kau bisa memesan jus jeruk kalau kau mau," ucap Peter. "Dengan resiko kau akan ditertawakan seluruh pengunjung bar." Kalimat kedua diucapkan Peter dengan berbisik. Peter mencondongkan tubuh ke depan, berbicara tepat di telinga Lucas. "Kau akan dianggap bayi oleh mereka." Sekali lagi Lucas memutar bola mata. Dia tidak terpengaruh pada perkataan Peter. Mungkin dia memang masih bayi, bayi besar yang sangat sehat karena selalu menjaga pola makan dan teratur berolahraga. "Aku tidak peduli! Aku tidak suka tempat-tempat yang kau sebutkan itu. Menurutku, aku tidak pantas berada di sana." Peter mengangkat tangan setinggi telinga, ia menyerah. Lucas memang sangat keras kepala. Ia tidak mudah tertarik pada apa pun yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. "Baiklah, Bung, kau menang!" ucap Peter sambil menggeleng pelan. "Aku tidak akan mengajakmu pergi ke tempat itu lagi kecuali kau yang meminta." Peter tersenyum jahil. Menurutnya Lucas hanya belum pernah menginjakkan kaki ke bar saja. Seandainya saja pernah, ia yakin pasti Lucas akan ketagihan. Bar bukan tempat yang buruk. Tempat itu sama saja dengan alkohol yang akan berakibat tidak baik bagi kesehatan bila kita tidak terlalu mengonsumsinya. Begitu juga dengan bar, kita akan baik-baik saja bila kita pergi ke sana hanya untuk menghilangkan penat setelah bekerja. Bar tidak seburuk klub malam. Di mana perempuan yang bekerja mencari laki-laki hidung belang bisa langsung menarikmu ke dalam kamar. "Apa maksud senyummu itu? Astaga!" Lucas menggeliat jijik. Sebenarnya ia bukan pria yang anti sosial, ia juga senang bergaul dan bersenang-senang. Hanya saja tidak sekarang, saat ia mengacaukan pagi dan pekerjaannya. Yang dibutuhkannya saat ini adalah sesuatu yang dapat menenangkan. Mungkin sendirian di kamarnya dan tidur lebih awal agar besok tidak bangun terlambat lagi bisa sedikit mengurangi kekesalannya hari ini. Peter semakin tertawa. Reaksi yang ditunjukkan Lucas terlihat sangat lucu di matanya, membuat perutnya sakit karena harus menahan tawa. Bukankah sesuatu yang menyakitkan sebaiknya dibuang? Karena itu ia tertawa, lagipula tertawa dapat mengurangi stress. Itu menurut pendapatnya. Bekerja di laboratorium yang dipenuhi dengan bahan kimia terkadang bisa saja membuatmu tertekan. Sah-sah saja kalau kau bersenang-senang. Tertawa adalah salah satu dari sekian banyak hal yang menyenangkan. Lagipula tertawa tidak dilarang, kecuali kau membuat keributan dengan tawamu itu. "Kau sangat lucu, Kawan," ucap Peter setelah tawanya reda. "Seharusnya kau bercermin dan melihat bagaimana wajahmu tadi. "Peter menggeleng pelan beberapa kali. "Astaga, itu sangat menggelikan!" Lucas memicing, menatap Peter tajam. "Aku sudah sering bercermin, Pete, dan aku sangat tampan." Peter berpose seolah ingin muntah. Di dalam hati ia mengakui ketampanan Lucas. Mereka sudah bersahabat sejak lama, lebih dari tujuh tahun. Bukankah persahabatan lebih dari angka itu akan abadi? Paling tidak itulah yang dikatakan orang-orang. Bersahabat selama itu dengan Lucas Collins membuatnya mengenal dokter yang satu ini. Seandainya saja Lucas mau, banyak rekan kerja perempuan mereka yang tertarik padanya. Sayangnya Lucas tidak pernah menanggapi mereka. Dokter Lucas Collins bukanlah pria yang peka akan perasaan wanita. "Tidak perlu bertingkah seolah jijik seperti itu padaku," ucap Lucas sambil memutar bola mata kesal. "Kenyataannya aku memang tampan." "Baiklah baiklah, lupakan apa yang barusan kau lihat. Lagipula aku tidak sungguh-sungguh dengan hal itu ...." "Aku tahu!" potong Lucas cepat. "Sejak kapan kau itu serius? Kau selalu bercanda, Bung!" "Syukurlah kalau kau tahu!" Peter tersenyum lebar. "Kau memang tampan, Luke, sayangnya kau tidak peka sehingga beranggapan tidak ada perempuan yang tertarik padamu." "Kenyataannya memang seperti itu," sahut Lucas. "Bagi para perempuan, aku ini pria yang membosankan." Lucas menarik napas, mengembuskannya kasar melalui mulut. "Tidak ada perempuan yang menyukai laki-laki yang tidak pandai bersenang-senang sepertiku." Peter memutar bola mata bosan. Lucas memang tipe pria pekerja keras. Ia tidak akan merasa puas sebelum mendapatkan yang terbaik. Katakanlah Lucas pria perfeksionis, tapi itu hanya dalam masalah pekerjaan dan waktu. Selebihnya Lucas sangat menyenangkan, meski bukan pria humoris tapi Lucas masih bisa diajak bercanda. Satu yang paling menyebalkan dari seorang Lucas Collins, ia tidak pernah peka pada sekelilingnya. Bagi Lucas laboratorium hanyalah tempat bekerja, bukan tempat untuk berci*ta. "Dasar kau saja yang tidak peka!" sungut Peter. "Coba saja kau perhatikan sekelilingmu, banyak wanita-wanita cantik di laboratorium ini." Lucas bersedekap, punggungnya melekat pada sandaran kursi. "Kau tahu sendiri, aku paling tidak suka mencampuradukkan masalah pekerjaan dan asmara. Mereka adalah dua hal yang berbeda. Kau tidak akan menekuni keduanya dalam satu ruangan yang sama." "Astaga!" Peter mengacak rambutnya frustasi. "Terserah kau sajalah. Aku menyerah lagi!" Lagi-lagi Peter mengangkat kedua tangannya setinggi telinga. Sungguh, berbicara dengan Lucas membuatnya harus memiliki kesabaran dan perbendaharaan kata-kata ekstra. Kalau tidak pasti akan mengalami kekalahan sebanyak dua kali seperti sekarang ini. Lucas terkekeh, memundurkan kursi dan berdiri. Ia harus kembali ke ruangannya. Mungkin saja petugas kebersihan sudah selesai membersihkannya. Ia perlu kembali melanjutkan pekerjaan sebelum waktu pulang tiba. *** Sangat tidak mudah mengembalikan suasana hati yang buruk dalam bekerja, dan itu terjadi juga pada Lucas. Setengah mati ia mencoba untuk bekerja kembali, tapi hasilnya nihil. Semuanya tetap terasa serba salah. Lucas memutuskan untuk mengakhiri pekerjaannya hari ini dan melanjutkannya besok, toh ia masih memiliki banyak waktu. Tidak ada yang mendesaknya untuk menyelesaikan pekerjaan secepatnya. Para investor mengetahui bagaimana sulitnya pekerjaan mereka. Tidak sembarang orang yang bisa mencampur berbagai macam zat kimia kemudian menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Salah campur zat malah akan meledak, seperti yang tadi dialaminya. Lucas membereskan meja penelitiannya, melepaskan jas lab dari tubuhnya, meletakkan jas itu pada keranjang cucian kotor yang selalu tersedia di setiap ruangan. Lucas memutuskan untuk pulang lebih awal, ia perlu mengistirahatkan otaknya. Sepertinya kapasitas otaknya sekarang melebihi batas sehingga semua terlihat salah. Sungguh, ia perlu tidur awal malam ini. Sebelum pulang Lucas menyempatkan diri untuk mengunjungi Peter di ruangannya. Ia merasa perlu pamit pada sahabatnya itu. Lagipula tadi ia sudah meninggalkan Peter di kantin sendirian begitu saja, Peter juga yang membayarkan kopinya. Setidaknya ia perlu mengucapkan terima kasih untuk traktiran itu. Lucas mencoba untuk membuka pintu ruangan Peter tapi tak berhasil, pintu itu terkunci dari dalam. Lucas mengerutkan kening. Apakah terjadi sesuatu pada Peter? Atau mungkin pria itu sudah pulang? Sepertinya belum, Peter juga pasti akan berpamitan padanya kalau ingin pulang lebih dulu. Penasaran, Lucas mengetuk pintu itu. Seruan dari dalam membuatnya lega, Peter masih berada di dalam ruangannya. "Siapa di situ?" "Aku!" balas Lucas berseru juga. "Lucas!" "Astaga!" Lucas mengernyit mendengar suara Peter yang gugup. Benarkah itu, Peter gugup? "Tunggu sebentar, Luke. Aku akan membukakan pintu sebentar lagi!" Lucas mengangguk. "Iya!" Beberapa detik kemudian pintu terbuka. Peter berdiri di depannya dalam keadaan yang sedikit ... berantakan? Rambut cokelat gelapnya terlihat acak-acakan. Lucas mengerjap sekali, mengabaikan itu ia langsung saja memasuki ruangan Peter tanpa sempat dicegah oleh si pemilik ruangan. Bukan hanya Lucas yang terkejut, tetapi juga Emily yang masih merapikan pakaiannya. Emily adalah salah satu rekan kerja mereka. "Wow, maafkan aku!" Lucas mengangkat tangan. "Aku tidak bermaksud mengganggu, Bung. Aku hanya ingin mengatakan kalau aku pulang lebih awal." Lucas segera keluar dari ruangan Peter setelah mengatakan itu. Ia sudah mengganggu kesenangan sahabatnya. Bukannya menyesal, Lucas malah terkekeh geli. Rasanya menyenangkan juga bisa mengganggu temanmu saat ia tengah sibuk bersama kekasihnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN