Empat Ratu

1896 Kata
"Kamu berasal dari agency mana?" selidik Ms. Aziza. Sebenarnya beliau sudah tahu dari membaca data diri Siti yang diberikan oleh Ahmed beberapa hari lalu. Namun, beliau tetap ingin mengecek sejauh mana profesionalitas Siti. "Saya berasal dari Sheldon Baby Care. Jasa baby sitting dan nursery yang berlokasi di Jasmine Towers 1011," jawab Siti lengkap, membuat Ahmed menahan nafas karena takut sekaligus takjub. Takut sebab Siti terlalu nekat dengan memberikan informasi lengkap. Salah sedikit saja, Ms. Aziza bisa langsung mencium hal yang mencurigakan. Takjub lantaran Siti tidak melakukan kesalahan sedikit pun. Bagaimana mungkin dia mengingat data yang hanya sekilas ditunjukkan oleh Tuan Khalid tadi? Ms. Aziza tampak puas dengan jawaban Siti. Beliau menanyakan hal-hal lain yang juga dijawab dengan baik oleh Siti. Kemudian, Siti dipersilakan untuk berkenalan dengan beberapa pelayan lain yang kebanyakan berasal dari luar Almaas. Tiga orang dari Afrika, satu dari India, dan dua orang dari Asia Tenggara. Empat dari mereka, Ana, Rada, Ida, dan Nayla, sudah mulai bekerja di sini sejak Tuan Khalid belum menikah. Mereka sudah cukup memahami seluk beluk rumah ini, termasuk kebiasaan-kebiasaan Tuan Khalid dan selera makan beliau. Di mata Siti, mereka terlihat begitu ramah, keibuan, dan bersahabat. Pantaslah mereka bertahan lama bekerja di sini. Salah satu pendatang baru di sini adalah Alya, wanita paruh baya yang mulai diperbantukan di rumah ini sejak tiga bulan lalu, tepatnya setelah datang istri ketiga dan keempat Tuan Khalid. Usia Alya sebaya dengan Ana dan Nayla, sehingga ketiganya sudah cukup akrab walaupun Alya adalah pendatang baru. Keramahan dan kepandaiannya membuat kue membuat Alya disukai oleh para penghuni rumah. Siti juga merasa akan menyukai Alya, seperti yang lainnya. Terakhir adalah Miranda, pengasuh Nona Sophia, putri Tuan Khalid dari istri pertamanya. Mi bukanlah pengasuh Nona Sophia sejak lahir, karena sejak berumur tiga tahun, Nona Sophia menjadi sangat arogan dan pemilih. Berkali-kali dia meminta berganti pengasuh. Mi sendiri adalah pengasuh yang kesepuluh yang baru bertugas sejak empat bulan lalu. Mungkin, sebentar lagi dia akan disingkirkan dari rumah ini. Iyakah? Tak ada yang tahu. *** Setelah semuanya kembali ke pekerjaan masing-masing, Ms. Aziza meminta tolong kepada Ahmed untuk membawa Siti menemui para nyonya rumah. "Bukankah sebaiknya anda saja yang mengantarkan Siti?" tanya Ahmed keberatan. Dia sebenarnya tidak sanggup untuk membayangkan apabila terjadi hal yang tidak sesuai dengan harapan. "Aku harus menyiapkan banyak hal karena akan ada tamu dari US pekan depan," ujar Ms Aziza. "Aku juga harus menghubungi agency untuk memperbantukan pelayan sementara selama beberapa hari ke depan." Akhirnya, Ahmed menyerah. Dia mengantar Siti menemui nyonya-nyonya rumah. Saat dalam perjalanan ke kamar-kamar para istri, Ahmed bercerita sekilas tentang istri-istri tuannya. Istri pertama Madam Adriana, warga US keturunan Italia. Menikah dengan Tuan Khalid lima tahun lalu. Memiliki seorang putri. Namun, setelah itu tidak pernah hamil lagi sehingga dihadirkanlah Madam Aisha dua tahun yang lalu di rumah ini. Istri kedua, Madam Aisha, putri dari rekan bisnis Tuan Khalid dari Mesir. Saat ini sedang hamil tujuh bulan. Namun karena hasil USG menunjukkan jenis kelamin bayinya adalah seorang putri, Tuan Khalid diminta oleh ayahnya untuk menikah lagi. Oleh karena itulah beberapa bulan lalu Tuan Khalid memperistri dengan Madam Marwa dan kemudian Madam Shereen. Istri ketiga Madam Marwa dan Istri keempat Madam Shereen, keduanya adalah putri dari dua pembesar di Al-Mohsen Group. Mereka masih sangat muda dan diharapkan lahir putra mahkota dari mereka untuk mewarisi kerajaan bisnis Al-Mohsen. Anak memang pemberian Tuhan. Namun, kehadiran anak lelaki dalam keluarga Al-Mohsen sangatlah penting untuk berlangsungnya bisnis keluarga. Sudah menjadi tradisi dan peraturan di keluarga Al-Mohsen bahwa pemimpin Al-Mohsen Group hanyalah dari kalangan lelaki saja, mengingat beratnya tanggung jawab serta persaingan internal yang cukup kejam. Wajarlah bila ayah Tuan Khalid memaksa beliau untuk segera memiliki keturunan laki-laki. Lagipula, bila Tuan Khalid tak segera mempunyai putra sampai berusia tiga puluh tahun, kakek beliau mengancam akan memecatnya dari jabatan CEO. Akhirnya Siti dan Ahmed tiba di depan kamar Madam Aisha. Siti dipersilakan masuk ke kamar, sedangkan Ahmed menunggu di luar. Madam Aisha tampak sedang sibuk membaca buku tentang kehamilan sebelum kedatangan Siti. Setelah memberi salam, Siti pun memperkenalkan diri pada Madam Aisha. "Saya Siti, yang ditugaskan untuk mengasuh bayi Madam nanti." "Siti ...? Aku punya teman dari Malaysia. Namanya Siti Nurhaliza. Dia juga cantik sekali seperti kamu," kata Madam Aisha dengan senyuman yang sangat bersahabat. Paras cantiknya dan perawakannya yang tinggi berisi tampak seperti lukisan yang sangat indah dengan aura keibuan yang muncul dari bagian perutnya. "Dia sangat pandai menyanyi. Apakah kamu juga pandai menyanyi?" Siti pun tersenyum cerah karena tahu siapa yang dimaksud Madam Aisha. Mungkin Tuan Khalid berkawan dengan suami dari Siti Nurhaliza, sang Diva dari Malaysia. "Saya tidak pandai menyanyi seperti teman Madam. Namun, saya bisa membacakan cerita dan dongeng pengantar tidur," kata Siti sambil tersenyum lebar setulus hatinya. Madam Aisha tertawa kecil. "Kamu terlihat sangat cerdas dan anggun untuk seorang pengasuh bayi. Seharusnya kamu bisa mencari pekerjaan yang lebih baik," pujinya lagi. Bibirnya yang indah menyunggingkan senyuman lebar. Matanya yang besar, bersinar memancarkan rasa kasih sayang saat mengelus janin di perutnya sekaligus rasa syukur yang luar biasa besar. "Tapi tak mengapa, aku bersyukur ... Tuhan mengirimkan pengasuh yang luar biasa untuk bayiku." Sebenarnya Siti sangat malu dikatakan begitu bila ingat bagaimana dia bisa berakhir di sini saat ini. Namun, bukan Siti namanya bila dia tidak pandai menyembunyikan perasaannya. "Saya yang merasa beruntung bisa melayani Madam yang baik hati," ujarnya ringkas. Madam Aisha nampak puas dengan kesan pertama bertemu calon pengasuh bayinya nanti. Kemudian, beliau mempersilakan Siti untuk pergi menemui para nyonya rumah yang lain, dan memintanya kembali ke kamarnya esok hari setelah sarapan karena ada hal penting yang ingin beliau bicarakan berdua dengan Siti. Berikutnya, Ahmed dan Siti menuju ke kamar Madam Marwa yang kamarnya paling dekat dengan Madam Aisha. Madam Marwa ternyata masih sangat muda. Usianya sekitar awal dua puluhan. Seperti baru lulus dari pendidikan sarjana. Saat Siti masuk ke dalam kamarnya, dia melihat Madam Marwa sedang sibuk dengan laptopnya. Siti hanya memperkenalkan dirinya sebentar. Madam Marwa hanya sekilas mengamati Siti, lalu kembali ke laptopnya. Wow, sayang sekali jumlah istri di rumah ini sudah empat orang. Madam Marwa bergumam dalam hati setelah melihat dan menilai penampilan Siti sekilas. Kalau dia berniat berhenti bekerja dan keluar dari rumah ini, aku akan menawarkan pekerjaan lain untuknya. Siti kemudian segera berpamitan karena kehadirannya jelas-jelas mengganggu kesibukan Madam Marwa. Dia segera keluar kamar dan disambut dengan wajah heran Ahmed yang dari tadi menunggu di depan kamar. "Cepat sekali?" tanya Ahmed. "Madam Marwa sedang sibuk," jawab Siti sambil tersenyum tipis dan terlalu sopan untuk ditujukan ke Ahmed yang sudah bisa dibilang sangat akrab dengan Siti. Kemudian mereka pergi ke sisi barat bangunan, berlawanan dengan posisi mereka yang sekarang. Mereka berhenti di satu kamar, namun Ahmed tampak ragu. Setelah beberapa saat berpikir, dia mengajak Siti untuk berjalan lagi menuju kamar paling ujung, kamar Madam Shereen. Kamar Madam Shereen lebih terlihat seperti kamar anak sekolah daripada kamar seorang nyonya rumah. Siti tidak dapat membendung rasa herannya karena melihat betapa banyak buku sains dan bahasa di dalamnya. Bahkan saat dia masih duduk di bangku sekolah menengah atas, tak pernah mempunyai fasilitas semewah ini. Tebersit sedikit rasa iri di hati Siti dan godaan untuk menyentuh beberapa judul yang menarik perhatiannya. Namun, Siti segera sadar dan mengembalikan ekspresinya yang semula. Siti pun segera memberi salam dan memperkenalkan diri kepada Madam Shereen yang dari tadi sibuk membaca dan memberi catatan-catatan di bukunya. "Aku Shereen. Umurmu berapa?" tanya Madam Shereen ramah. "Usia saya 18 tahun, Madam," jawab Siti dengan agak canggung memanggil wanita yang sangat muda di depannya dengan sebutan madam. "Wah, sama dengan aku, dong," seru Madam Shereen dalam Bahasa Arab yang kurang dimengerti Siti. Selama ini, Bahasa Arab yang dia pelajari adalah bahasa formal. Mungkin yang dipakai Madam Shereen adalah bahasa anak muda khas Caviya. "Berarti kamu baru saja lulus High School, ya?" Madam Shereen akhirnya menyadari kalau Siti agak kesulitan menangkap bahasanya. Sehingga dia menawarkan percakapan dalam Bahasa Inggris saja. Madam Shereen bahkan mengajaknya mendiskusikan soal ujian masuk perguruan tinggi. Namun, Siti terpaksa menolak karena dia masih harus menemui Madam Adriana, istri pertama. Dengan kecewa, Madam Shereen melepas Siti dan memaksa Siti untuk berjanji agar lain kali meluangkan waktu untuk berdiskusi dengannya. Siti mengiyakan, tapi belum memastikan waktu yang tepat. "Kapan saja kamu luang, datang langsung saja ke kamarku. Aku tak akan kemana-mana kok," janji Madam Shereen meyakinkan bahwa dirinya adalah makhluk anti sosial. Setelah berpamitan, Siti segera keluar kamar dan mendapati raut muka Ahmed yang terlihat resah dan muram. Mereka pun segera menuju ruangan yang awalnya mereka lewati tadi. Ahmed menahan Siti sebelum dia masuk ke dalam. Ahmed merasa tidak ingin Siti masuk. Namun, ia segera melepas Siti ketika mengingat bahwa Siti adalah gadis yang tangguh. "Hati-hati, emosinya agak labil," bisik Ahmed memperingatkan kepada Siti. Siti pun memasuki ruangan dan mendapati kamar Madam Adriana adalah kamar yang sangat berbeda dari ketiga kamar nyonya rumah yang tadi dikunjunginya. Bila kehangatan adalah yang terpancar dari kamar Madam Aisha, kesibukan dari kamar Madam Marwa, dan kecerdasan dari kamar Madam Shereen, maka yang terpancar dari kamar Madam Adriana adalah kesuraman. Madam Adriana sebenarnya seorang yang sangat cantik. Penampilannya seperti pahatan patung bidadari yang sangat indah. Namun kemuraman di wajahnya menutupi semua itu sehingga kecantikan Madam Adriana hampir tak terlihat oleh Siti. Belum sempat Siti memperkenalkan diri, Madam Adriana telah membuka mulutnya terlebih dahulu. "Apa Ahmed memungut puppy dari pinggir jalan lagi?" tanyanya sambil kemudian mengamati Siti dari atas ke bawah. Tak seperti madam lainnya. Madam Adriana berbicara Bahasa Inggris. Kasar. Terlalu kasar. Namun Siti tidak terpancing karena bagaimanapun juga, dia tidak boleh membocorkan rahasia apapun mengenai pertemuannya dengan Tuan Khalid dan Ahmed. "Apakah dia menciummu?" selidiknya retoris sambil memegang dagu Siti dan mengangkatnya ke atas, membuat mata Siti bertatapan langsung dengan mata Madam Adriana yang berwarna hijau gelap. Rambut Madam Adriana yang coklat terang bergelombang terlihat suram karena wajahnya begitu suram. "Apakah kamu juga akan menjadi istri Khalid?" Apa maksudnya ini? Siti memekik dalam hati karena sangat tidak suka dengan perlakuan kasar sang nyonya. Dia sekarang mengerti mengapa Ahmed ragu-ragu untuk mengajaknya menemui Madam Adriana. Namun Siti tetaplah gadis yang pandai menahan rasa kesalnya. Akhirnya dia membuka mulutnya dan memperkenalkan dirinya sesuai dengan yang seharusnya dia lakukan dari awal, sebagaimana dia memperkenalkan dirinya ke nyonya rumah yang lain. "Saya Siti, pelayan baru disini. Tugas saya nantinya adalah membantu Madam Aisha merawat bayinya. Sementara it—" "Wanita itu tidak akan bertahan. Hahahaha ... kamu mungkin nanti akan menggantikannya." Madam Adriana saat ini terdengar seperti wanita gila yang melantur. Entah apa maksudnya mengatakan itu kepada Siti yang hanya seorang pelayan di rumah itu. Karena itu, Siti memilih berpamitan daripada harus kehilangan kesabarannya yang sudah menipis. Di luar, Ahmed yang menunggu dengan cemas segera menanyakan apakah Siti baik-baik saja. "Apakah dia melakukan sesuatu yang buruk ke kamu?" tanya Ahmed dengan wajah sangat cemas. "Tidak, Madam Adriana bersikap biasa saja, kok," balas Siti dengan senyuman yang terlampau manis untuk menutupi kebohongannya. Saat itulah, Ahmed tahu bahwa Siti tidak mengutarakan hal yang sebenarnya. Karena Ahmed lebih dari sekadar tahu mengenai pengalaman pahit yang dialami Madam Adriana di masa lalunya yang menyebabkan perlakuan buruknya terhadap Siti. Jelas bagi Ahmed bahwa Madam Adriana tidak pernah bersikap "biasa saja" bila ada wanita cantik datang ke rumah Tuan Khalid. *** Siti dan Ahmed segera pergi meninggalkan kamar Madam Adriana. Di saat yang bersamaan, terdengar suara ribut-ribut terdengar begitu mengganggu dari arah yang berlawanan. "Nona Sophia! Jangan berlarian begitu! Anda bisa jat—aaaahh!!!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN