"Kepada mimpi-mimpi yang datang dalam belenggu, biarkanlah untuk kali ini semuanya jangan menjadi bunga tidur banyak luka mengajarkan dewasa secara bersamaan."
Pagi ini cuaca sedikit mendung mungkin mentari sedang bersembunyi di balik awan, kadang matahari pun perlu jeda untuk menghilangkan sedikit kecemasan yang ia rasakan wajar saja jika kita juga butuh hal-hal baik setiap harinya agar pikiran jahat tenggelam bersama ketakutan. Siara berjalan menyusuri satu-persatu pijakan trotoar, rasanya mendung bukan penghalang untuk membuat semangatnya luntur.
Diperempatan jalan Siara melihat ada seorang TNI yang terlihat kebingungan mencari sesuatu di dalam tasnya. Siara memutuskan untuk mencoba bertanya kepada orang itu, meskipun nanti pasti dia dipandang aneh lagi, tapi bukannya tidak pernah ada larangan menolong oranglain?
“Maaf Pak, ada yang bisa saya bantu?” tanya Siara ramah.
Seorang laki-laki berseragam TNI yang menundukkan kepalanya dan mencari sesuatu di dalam tasnya nampak terkejut dengan kehadiran Siara,”Saya sedang mencari dompet, tapi tidak ketemu-ketemu, mungkin saja ketinggalan di rumah,” balasnya sambil membehentikan kegiatannya dan menatap lurus ke arah lawan bicaranya.
Siara sempat terkesiap sejenak karena laki-laki di hadapannya ini benar-benar memiliki paras di atas rata-rata dan senyum manis, jangan lupa badan kekar seperti aktor-aktor barat. Namun, Siara segera tersadar dan memilih fokus pada tujuan awalnya untuk membantu memang tidak baik terkesima kepada laki-laki yang bukan mahramnya pastilah banyak setan-setan kecil .
“Kalo begitu pinjam uang saya aja dulu Pak, saya lihat Bapak juga buru-buru,” tawar Siara ramah.
“Beneran Gapapa Mbak?” tanya TNI itu tidak enak.
Hamid Hadar begitulah nama yang tertera di name tag laki-laki itu, sebenarnya Hamid ingin menelepon temannya tapi tidak ada waktu lagi karena dia harus pergi pagi-pagi sekali untuk menyelesaikan kasus perbatasan laut.
“Iya gapapa Pak,” balas Siara cepat sambil mengambil dompetnya dari dalam tas.
Hamid mengecek jamnya yang terus bergerak, dari satu detik, ke satu menit hingga waktu berjalan begitu cepat.
“Saya pinjam lima puluh ribu aja Mbak, sekalian kalo ada kertas, tolong catat nomor Mbak buat saya hubungi lagi jika ingin mengembalikan uang.”
“Engga usah dikembaliin Mas, saya ikhlas, ini uangnya Mas.” Siera mengambil uang lima puluh ribu selembar dan memberikannya kepada laki-laki itu.
“Nama saya Hamid Hadar, tapi yang namanya minjam harus dikembalikan, begitu pula uang Mbak,” jelas Hadar lagi.
“Gapapa Mas, saya ikhlas,” jawab Siara yang sudah memasukkan dompetnya ke dalam tas untuk bersiap melanjutkan tujuan awalnya melamar pekerjaan, dia juga tidak bisa berlama-lama karena angkutan umum jika terlalu siang akan sulit ditemukan.
“Alamat aja Mbak, saya akan mengambalikan uangnya.”
Di depan mereka sudah ada angkutan umum yang biasa mengakut penumpang, tampak orang-orang sudah berdesakkan untuk mengambil tempat, melihat itu Siara tidak ketinggalan ikut berlari cepat untuk mendapatkan tempat.
“Rumah saya enggak jauh dari daerah sini Mas, sebelah pangsit bogel,” teriak Siara sebelum masuk ke angkot dan meninggalkan Hamid yang masih terlihat kaget dengan orang yang baik seperti itu. Kadang terlalu banyak orang jahat, menutup mata kita untuk takut membayangkan masih ada atau tidaknya orang baik di dunia ini.
Jam di tangan Hamid terus berjalan, dia segera berlari mencari angkutan yang bisa membawanya cepat pergi, karena tugasnya untuk Negara sudah menunggu. Hamid memang sengaja tidak membawa kendaraan hari ini karena situasi yang mendadak membuatnya buru-buru padahal tadi bundanya bilang untuk hati-hati jika ingin berangkat kerja.
Pekerjaan sebagai aparat Negara dan mengabdi di perbatasan membuatnya sulit untuk berkumpul dengan keluarga, kebetulan bulan ini dia mendapatkan cuti seminggu karena kakak perempuannya menikah sebenarnya banyak sekali hal yang dia rindukan termasuk rumah yang menjadi tempat ternyaman, seperti lagu “lebih baik di sini rumah kita sendiri” ikut mewakili perasaannya, tapi demi Negara kesatuan republik Indonesianya tercinta dia tidak ingin keutuhan negaranya diganggu. Karena jika bukan kita siapa lagi yang akan melindungi negeri ini, sejauh apapun kita jika demi Negara maka tidak ada kata lelah.
Mungkin setahun lagi maka dia akan kembali lagi ke Bengkulu, karena janjinya terhadap Negara harus menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab, meski kadang satu-satunya hal yang ingin dia lakukan adalah menikmati kebersamaan bersama keluarga.
Bagian 3
Pertemuan itu pun berlalu, setelah turun dari angkutan umum, Siara mulai memasuki sebuah gedung yang memiliki sepuluh lantai dan halaman luas, semoga saja kali ini keberuntungan berpihak kepadanya. Coba saja penampilan tidak terkalahkan dengan skill, sebenarnya terlalu tidak adil jika suatu hal harus dipandang melalui bentuk fisik, seburuk-buruknya perempuan dia adalah makhluk yang harus dilindungi dan dijaga.
Hawa ruangan ber AC yang pertama kali masuk ke alat penciuman Siara, dia melihat ke seluruh bagian ruangan interview, banyak sekali orang mengantri untuk melamar pekerjaan menjadi seorang jurnalis, senang rasanya melihat barisan panjang yang memiliki satu tujuan dengannya, baru kali ini tidak ada pandangan mencela tapi mereka terlihat tegang sambil sesekali melemparkan senyuman ramah.
“Ngelamar pekerjaan juga Mbak?” tanya seorang laki-laki berbadan kekar sambil memegang sebuah camera. Dari cara berpakaiannya tampak sekali dia ingin menjadi seorang cameramen di perusahaan televisi ini, memang banyak sekali lowongan pekerjaan yang diterima tapi melihat banyaknya pesaing membuat rasa percaya diri Siara memudar.
“Iya Mas,” jawab Siara ramah.
“Semoga berhasil ya Mbak,” ucapnya memberikan semangat, lalu memilih latihan kembali untuk mengingat naskah yang akan dia sampaikan kelak.
“Makasih ya Mas, semoga doa baik berbalik ke Mas juga,” balas Siara sambil menunduk sopan.
Ternyata menunggu adalah hal yang sangat membosankan, sudah satu detik, satu menit lalu satu jam hingga dua jam tapi nama Siara belum juga dipanggil padahal perutnya sudah sangat lapar terlebih ini sudah memasuki waktu Zuhur, kemungkinan dia mendapatkan wawancara terakhir sangat besar dan benar saja tidak beberapa lama pengumuman bahwa interview dilaksankan setelah jam istirahat, parahnya lagi ini akan dimulai jam 14.00 nanti, point pentingnya lagi setengah dari mereka belum di wawancara, habis lah lelah ini dengan menunggu sesuatu yang diperjuangkan belum pasti.
Siara mencari tempat makan yang murah dan melihat dompetnya tinggal berisi lima puluh ribu, rasanya hidup sangat sulit dijalani terlebih lagi tinggal di dunia yang mengutamakan uang adalah segalanya dan cantik adalah nilai penting dalam kehidupan. Siara memang sering kali merasa sedih jika mengingat semua perlakuan buruk orang-orang yang mengatainya ini dan itu.
Kadang orang-orang terlalu memporsir untuk membuat oranglain menjadi apa yang dia mau, pernah tidak berpikir jika apa yang kalian ucapkan seringkali melukai dan membuat oranglain merasa dirinya sangat buruk, perihal kesempurnaan dari patokan manusia lain yang kadang kala membuat oranglain tersinggung. Teruntuk para manusia lain terutama perempuan yang kerap kali melukai sesama perempuan, kalian tidak pernah tau apa yang diucap menjadi pikiran dan bentuk makhluk yang kalian hina adalah salah satu bentuk ciptaan Allah yang sangat indah.
Lama berkeliling dan melihat kepadatan orang-orang membeli makanan, akhirnya Siara mendapatkan satu-satunya tempat makan yang tidak terlalu padat namun harganya bisa terbilang sangat terjangkau. Siara memilih masuk ke dalam kedai itu dan memilih mendudukan dirinya di sebuah kursi di dekat jendela yang menampilkan View gedung-gedung kota yang menjulang tinggi.
Seorang pelayan menghampirinya dan memberikan sebuah nota dengan buku menu, Siara mulai memilih makanan yang ingin dia cicipi, sampai dia menemukan salah satu menu favoitnya yaitu nasi goreng, dia lalu menyebutkan pesanannya, setelah selesai pelayan itu meninggalkan tenpat Siara, sampai akhirnya Siara menuliskan sebuah kisah tentang dirinya di buku kecil tempat kumpulan aksaranya.
“Suara yang ku dengar
Teryata gemuruh…
Bertalu menampilkan kisah hidup
Yang duka bercampur pedih
Tak peduli celaan, tak kan hina
Sebab luka menjadikan kuat
Keajaiban datang saat sang pencipta
Mengobati luka dengan akhir yang bahagia”
***
Benar saja Siara mendapatkan kesempatan terakhir untuk wawancara, di hadapannya duduklah seorang pria yang jika dikira-kira umurnya 30 tahunan.
“Baiklah, siapa nama Anda?” tanya bapak itu penuh wibawa.
“Siara Cakrawala Pak,” jawab Siara lugas.
“Kamu siap untuk mengubah penampilan kamu jika diterima di perusahaan ini?”
Bapak itu menatap wajah Siara untuk mencari ketakutan dalam nada perempuan itu.
“Jika untuk kepentingan perusahaan saya bersedia Pak,” ungkapan yakin Siara membuat orang lain percaya dan tidak akan berbohong.
“Apa alasan kamu ingin menjadi seorang jurnalis?” tanya bapak itu seperti ingin mengetahui lebih jauh.
“Selama saya hidup, tidak pernah sekalipun diajak untuk behagia, semuanya terasa hambar tapi sampai saat ini saya bertahan, jika di tanya perihal alasan mungkin sulit di jabarkan karena saya punya seribu alasan kenapa harus bekerja di sini. Saya ingin menjadi seseorang yang berguna menyampaikan informasi kepada khalayak umum, mencari berita ke seluruh negeri untuk mempermudah orang lain, saya ingin mengubah pola pikir manusia. Jika sesuatu yang indah bukan hanya tentang kecantikkan,” itu adalah alasan paling jujur dan apa adanya dari diri Siara.
Bapak yang bernama Antoni itu terkesiap kaget dengan jawaban Siara, mungkin kali ini dia akan mencoba membuka lowongan untuk Siara.
“Baiklah kamu saya terima, tapi masih masa percobaan jika kinerja kamu bagus maka saya akan menetapkan kamu menjadi karyawan tetap.”