Lo di mana, World?
Muti memutar bola matanya membaca pesan dari Damar. Damar selalu memanggilnya ‘World’ kalau ada maunya! Pasti cowok itu mau kabur dari kencannya dengan Acha.
Gosah ngerayu gue! Lo mau kabur kan??
Haha, lo emang paling mengerti gue, My World. Gue bete sumpah. Acha nyerocos mulu kayak petasan cabe.
Nikmatilah malammu, Anak Muda!
Muti terkekeh dan memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Dia bisa saja memberitahu Damar di mana dirinya sekarang karena toh mall yang dia kunjungi tidak jauh dari tempat mereka nonton. Akan tetapi, dia tidak ingin merusak rencana malam Sabtu Acha.
Acha sudah sejak lama naksir Damar. Sejak mereka masih awal masuk SMU Persada Bangsa. Muti ingat sekali bagaimana Acha begitu terpesona saat Damar memperlihatkan kelihaiannya bermain basket ketika angkatan mereka bertanding melawan para senior. Dan memang semua gadis terpesona melihatnya. Aura Damar selalu menghipnotis para gadis-gadis. Yah, kecuali Muti tentu saja.
“Udah dapet berapa, Dek?” Muti melirik kantong belanja Langit yang tampak berat. Alisnya berkerut heran melihat banyaknya komik yang dibeli Langit. “Dek, uang kamu emang cukup?” Bisiknya di telinga Langit.
“Kan ada Kakak,” jawab Langit dengan santai.
Mampus! Muti menepuk jidatnya dan meraih dompet di tasnya. Uang jajannya satu minggu tinggal tersisa enam puluh ribu rupiah. Tadi, Ayahnya memberi ongkos taksi seratus ribu yang sudah berkurang lima puluh ribu untuk berangkat, jadi otomatis tinggal lima puluh ribu lagi untuk pulang. Ibunya memberi tambahan uang jajan lima puluh ribu, jadi uang Muti sekarang hanya seratus sepuluh ribu. Oh, ada tiga puluh lagi, ‘uang rahasia’ Muti di sela-sela dompetnya.
“Adek bawa uang berapa?” Muti berbisik, takut ada orang lain mendengarnya.
Langit itu sama 'gilanya' dengan ibunya jika urusan buku dan komik. Buku apa saja bisa dimasukkan kantong belanja jika mereka sudah memutuskan untuk tertarik membelinya. Makanya, ia tidak pernah mau pergi belanja buku dengan mereka berdua di waktu yang bersamaan. Bisa gila Muti jika harus menunggu dua orang itu berbelanja buku.
“Tiga ratus ribu.”
“Kok uang Adek banyak?”
Sebagai anak bungsu, tentu saja Langit mendapat uang saku yang lebih sedikit dari Muti. Apalagi sekolah Langit dekat dengan rumah. Anak itu hanya naik sepeda yang jelas-jelas tidak butuh ongkos. Terlebih, Mama sering membawakan bekal untuk Langit.
Langit tersenyum. “Langit menang lomba desain sampul komik, Kak.”
Satu hobi Langit adalah menggambar. Kamarnya penuh dengan tempelan gambar-gambar tokoh komik rekaannya. Namun, Muti tidak menyangka jika adiknya itu sampai ikut lomba seperti itu.
“Traktir kakak satu novel ya?”
Langit menggeleng. “Ini aja Langit hitung udah habis tiga ratus lima puluh ribu.”
Mata Muti melotot. “Gila! Cukup, Dek! Ayo, pulang sekarang!”
Astaga, ini anak bisa membabi buta kalau dibiarkan berbelanja sendiri. Mau bayar pakai apa kalau uangnya kurang.
“Satu lagi ya, Kak? Please!”
“Uang Kakak nggak cukup, Dek.” Kembali Muti berbisik karena beberapa orang mulai menatap mereka.
“Tapi aku belum punya seri ini, Kak. Cuma satu nomor.”
Muti mengembuskan napas kesal dan meraih komik itu untuk melihat harganya. Matanya melotot melihat harga komik itu mencapai delapan puluh ribu.
“Adek, ini mahal banget. Uang Kakak kurang.”
Langit merengut dan meraih kembali komik itu, meletakkannya ke rak dengan tidak rela dan menatapnya lama-lama seolah tidak ikhlas untuk meninggalkannya.
Muti mengacak rambutnya dengan sebal. Dia benci membuat adiknya kecewa. Akan tetapi, jika dia memaksa membeli buku itu, uang mereka tidak akan cukup untuk naik taksi pulang. Ayah dan Mamanya tadi sore berangkat ke Bogor ke rumah nenek mereka. Sedangkan Bintang bekerja part time. Tidak ada siapapun di rumah yang bisa ia mintai uang. Mungkin ia bisa mencari-cari di laci dapur tempat Mama biasa menyimpan recehan sisa belanja, tetapi bukankah semakin lama taksi menunggu, maka argonya akan semakin membengkak?
“Kalau kita pulang naik bus nggak apa, Dek?”
“Tapi komiknya dibeli kan?” Mata Langit mulai berbinar mendengar pertanyaan itu.
Muti mengangguk dengan sedikit tidak rela.
“Iya! Adek mau, Kak!” Teriak Langit girang dan langsung memasukkan komik laknat itu ke dalam tas belanjanya.
Muti kembali mengacak rambutnya saat mengikuti Langit menuju kasir. Tidak apa-apa deh uangnya habis asal adiknya senang. Itu memang kewajibannya sebagai kakak untuk menyenangkan hati adiknya. Meskipun ia tidak akan punya uang lagi setelah ini.
“Kusut amat.”
Muti melotot mendengar suara itu dan menoleh pada Damar yang sudah berdiri di sampingnya sambil tersenyum lebar.
“Kok lo di sini? Yang lain mana?”
“Nonton.”
“Jadi lo beneran kabur?”
Damar mengangguk.
“Tahu dari mana gue di sini?”
“Bunda yang bilang.”
Muti berdecak kesal. Ibu Damar -yang biasa Muti panggil Tante Hannah itu- dan mamanya adalah BFF abad ini. Berawal dari hubungan profesional di tempat kerja dan berujung pada hubungan persahabatan yang kental antara keduanya. Tante Hannah juga bekerja sebagai penulis lepas di kantor majalah yang sama dengan mamanya.
Sebenarnya, Tante Hannah dan mamanya sudah sering bertemu dulu saat ada pertemuan para orangtua murid di sekolah. Namun, mereka tidak terlalu akrab. Barulah setelah tahu bahwa mereka memiliki hobi yang sama dan ternyata bekerja di tempat yang sama, mereka menjadi akrab sampai saat ini.
“Jangan bilang sama Acha kalau lo ketemu gue!”
“Siap!” Damar kembali tersenyum dan memberi tanda hormat padanya.
Muti memutar bola matanya dan menyusul Langit yang sudah antri di kasir. Dia membuka dompetnya, kemudian menyerahkan uangnya pada Langit. Uang terakhirnya minggu ini. Bisa dipastikan hari Sabtu dan Minggu besok dia hanya akan tidur di rumah.
“Banyak banget, Dek belinya?” Tanya Damar saat melihat belanjaan Langit yang berat.
Langit tersenyum pada Damar. “Kan besok libur, Kak.”
Muti menunggu Langit yang tengah menyelesaikan pembayarannya dengan Damar yang berdiri di sampingnya.
“Makan yuk!”
Muti mendongak. Damar cukup tinggi seperti tiang listrik sehingga -meskipun Muti juga tidak pendek- dia harus sedikit mendongak pada cowok itu.
“Lo yang bayar kan?”
Damar tertawa dan mengacak rambutnya. “Iyalah, Marmut!”
“Asyiik!” Muti berlari menyongsong adiknya dan meraih lengannya. “Ayo makan, Dek.”
“Lho, katanya uang Kakak habis?”
Muti menyeringai. “Kan Kakak Damar yang bayar.”
“Beneran, Kak?” Langit memandang Damar dengan berbinar-binar.
Damar mengangguk. “Pizza mau?”
.....
Muti tersenyum menatap adiknya yang masuk ke rumah dengan riang membawa komik-komik laknatnya itu. Berkat Damar, mereka bisa pulang naik taksi plus bonus makan pizza. Bahkan, Damar menelepon orang rumahnya untuk mengambil motornya sehingga dia bisa pulang dengan Muti dan Langit dalam satu taksi.
“Pulang sana gih, udah malem.”
Mereka sudah sampai di rumah. Langit langsung berlari ke dalam sementara Muti dan Damar masih berdiri di luar halaman.
“Lo ngusir gue, Mut? Setelah semua yang gue lakuin buat lo? Lo terlalu.” Damar menggeleng-gelengkan kepalanya sembari satu tangan diletakkan di dadanya dan muka yang seolah-olah tersakiti.
“Lebay, lo!” Muti menyenggol Damar dengan bahunya, tetapi cowok itu tak tergoyahkan.
“Kak Bee pulang jam berapa?”
“Jam sebelas biasanya.”
Tiap weekend, kakaknya bekerja paruh waktu sebagai penyiar radio. Mengisi waktu libur dan menambah uang saku katanya. Itu juga menjadi keuntungan bagi Muti karena ia bisa meminta uang jajan lebih pada kakaknya itu.
“Gue tungguin sampai Kak Bee pulang deh.”
Tanpa menunggu jawaban Muti, Damar melangkah masuk ke halaman rumah dan duduk di bangku kayu di bawah pohon rambutan. Kakinya yang panjang dia luruskan saat badannya duduk bersandar di bangku buatan ayah Muti itu.
Tempat ini adalah spot favorit keluarganya menghabiskan sore. Biasanya ayah akan membaca koran sore bersama Mama yang membaca tabloid wanita atau menyulam. Lalu dirinya, bersama Bintang dan Langit akan duduk di tikar piknik sembari memakan gorengan atau keripik. Hanya begitu saja, mereka semua sudah sangat senang.
“Mau minum?”
Damar menggeleng dan menarik tangannya, mendudukkannya di samping cowok itu.
“Gue cuma mau di sini kok. Nggak apa-apa kan?”
Muti mengangguk. Suasana halaman rumahnya tidak gelap karena ayahnya menempatkan banyak lampu taman di sini. Seluruh keluarganya tahu bagaimana bencinya Muti dengan gelap.
Mereka tidak bicara selama beberapa saat. Agak aneh karena biasanya Damar tidak bisa berhenti bicara. Cowok itu tergolong cowok cerewet dan berisik. Suara ponsel Muti bahkan membuatnya terlonjak. Setelah keheningan panjang, agak aneh rasanya mendengar suara.
“Kan! Si Acha nelepon gue.” Dia berdecak saat melihat si penelepon yang tak lain tak bukan adalah gadis populer itu.
“Nggak usah diangkat.”
Muti memasukkan kembali ponselnya ke tas dan memandang Damar. “Kenapa sih lo nggak suka sama dia?”
Damar mengangkat bahu tanpa menatapnya.
“Dia kan cantik. Kulitnya putih. Mulus. Langsing. Kaya. Banyak peng...”
“Berisik lo, Mut.”
Muti menutup bibirnya dan cemberut menatap Damar. “Ya udah sana pulang kalau gue berisik.”
Kali ini Damar menoleh dan terkekeh. Dia berbalik menghadap Muti, satu kakinya diangkat ke bangku. “Gue belum mau punya cewek.”
“Kenapa?”
Lagi-lagi Damar mengangkat bahunya. “Nyokap bilang, gue masih kecil, belum pantes pacaran.”
“Tapi, lo suka nggak sih sama Acha?”
“Kepo!” Damar menoyor dahi Muti dengan telunjuknya.
“Ish! Acha gitu loh. Mana ada sih cowok yang nolak dia.”
“Ada. Gue.”
Muti mencibir dan menatap tepat di mata Damar. “Gue yakin lo bakal jatuh cinta sama dia.”
“Nggak bakal. Berani taruhan?”