tumben baik

1043 Kata
“Awwww!” teriak Fre ketika kran air di kamar mandi kamarnya terbuka dan menyemburnya. Tak lama kemudian, Stenly sigap datang ke kamar Fre dan melihat Fre hanya mengenakan handuk putih dari dadanya dan hanya sampai diatas pahanya, memperlihatkan kulitnya yang putih. Stenly lalu menarik Fre dan membawanya menjauh dari air yang disembur itu. “Kamu di sini dulu, nanti saya panggil tukang.” “Baik,” jawab Fre menautkan alisnya karena sikap Stenly yang sigap datang ketika mendengar teriakannya padahal yang Fre tahu kamar ini kedap suara, lalu darimana Stenly tahu ia butuh bantuan? “Kamu baru mau mandi atau sudah mandi?” “Baru mau mandi,” jawab Fre. “Kamu mandi di kamarku saja,” kata Stenly. “Apa tidak bahaya mandi di kamar Paman?” tanya Fre. “Tidak apa-apa, aku juga tidak sudi menyentuh istri keponakanku.” Fre mengangguk lalu melangkahkan kakinya meninggalkan pamannya. Fre merasakan detak jantungnya yang semakin tak karuan saja. Karena ia terlihat seksi sekali didepan pamannya. Fre memegang dadanya dan masuk ke kamar pamannya, wangi sekali di sini, rapi dan menenangkan, Fre tersenyum melihat setiap posisi furniture di kamar paman mertuanya. Isi kamarnya seolah memberi penilaian kepada dirinya bagaimana pamannya. Fre lalu masuk ke kamar mandi dan menanggalkan handuknya, menyalakan shower dan berdiri dibawa air yang mengalir. Beberapa menit kemudian, Fre keluar dari kamar mandi dengan handuk yang sama, Fre terkejut melihat pamannya sudah duduk di tepi ranjang dengan menatapnya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Hal ini lah yang Fre maksud akan bahaya jika berada di kamar pamannya, karena Stenly tak akan bisa menahan hasratnya. “Pa-paman?” “Sudah mandi?” Fre menganggukkan kepala. “Ya sudah. Kamu ganti baju, aku antar ke kampus.” “Kampus? Aku bisa kuliah?” tanya Fre menatap Stenly. “Iya. Memangnya kamu tidak mau kuliah?” “Tapi kan Tante Erika—” “Kak Aston dan Kakak Ipar sudah kembali ke Eropa pagi ini, jadi kamu tidak perlu khawatir, aku akan mengantarmu.” Stenly terlihat seperti seorang pahlawan disaat Fre membutuhkan bantuan agar bisa keluar dari rumah ini dengan menghirup udara segar. “Apa tak masalah jika aku ke kampus?” tanya Fre lagi. “Aku takut.” “Kenapa kamu takut? Aku yang suruh kamu bersiap. Jadi, bersiap sekarang, aku antar kamu.” Fre mengangguk lalu melangkah buru-buru keluar dari kamar paman mertuanya, hal ini benar-benar menggodanya, Fre tidak tahu apakah jantungnya akan terus tak aman seperti ini? Setiap berdekatan dengan pamannya, ia terlihat sangat gelisah. Fre tertawa bahagia ketika akhirnya ia bisa bernapas lega dan ia bisa melihat dunia luar tanpa harus merasakan ketakutan pada Erika. *** Kini mereka tengah diperjalanan menuju kampus, Stenly mengemudikan mobilnya dan melintasi macet, ya Jakarta memang terkenal dengan macet, apalagi di pagi hari seperti ini, jadi sudah wajar jika Fre lebih awal ke kampus agar tidak terlambat. Fre menoleh sesaat melihat pamannya. “Ada apa?” tanya Stenly. “Heem?” “Kamu melihatku sejak tadi. Ada apa?” tanya Stenly lagi. “Tidak ada, Paman.” “Oke.” “Paman, Bibi mana? Biar saya juga mengenal Bibi.” Fre belum tahu paman mertuanya sudah menikah atau belum, namun ia harus memancing Stenly agar ia tahu apakah pamannya jomblo atau memang sudah ada yang memiliki? Walau hubungan mereka sudah sangat jauh, tidak seperti seorang pria beristri. “Bibi? Haha. Jangan berlebihan. Pertanyaanmu itu konyol.” Fre tersenyum melihat senyuman diwajah Stenly, pagi ini benar-benar indah, Stenly terlihat menyambutnya dengan baik. “Kenapa Paman ketawa? Bukankah dimana-mana ada Paman pasti ada Bibi?” “Aku tak pernah menikah, jadi bagaimana bisa membersihkan otakmu dari pertanyaan tak masuk akal itu?” “Apa? Belum menikah? Usia Paman kan sudah dewasa, masa tak ada yang suka.” “Apa semua pertanyaan itu harus ku jawab? Kamu duduk tenang saja dan jangan banyak pertanyaan.” Stenly menggeleng. Entah ada apa dengannya pagi ini, ia bisa sebaik ini kepada Fre. Butuh waktu hampir 2o menit perjalanan sudah dengan macet, mereka akhirnya sampai di depan pelataran parkir kampus. Fre duduk diam dan memejamkan mata, lalu menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Stenly tersenyum melihatnya. “Paman, terima kasih sudah mengantarku,” ucap Fre. “Kamu pulang jam berapa?” “Jam 2 siang.” “Baik. Aku akan menjemputmu jam 2 siang.” “Jika Paman sibuk, tak perlu. Aku bisa pulang sendiri.” “Kantorku searah dengan kampusmu, jadi aku bisa langsung mampir kemari jemput kamu. Kalau sempat,” sambung Stenly. “Oh iya.” Stenly meraih dompetnya dan memberikan satu kartu debit untuk Fre. “Apa ini?” tanya Fre. “Ini kartu debit, seperti yang kamu lihat.” “Tapi, ini untuk apa?” “Kamu gunakan untuk jajan atau beli apa pun yang kamu mau. Kamu butuh uang dan kamu juga sudah menolak tawaran Kakak Ipar yang memberikanmu sejumlah uang.” Fre mendesah napas halus. “Apakah paman harus memberikannya?” “Tentu. Kamu istri keponakanku, jadi aku memiliki kewajiban seperti Jael.” Fre mengangguk, lalu berkata, “Aku terima ya, Paman, dan terima kasih karena akhirnya aku bisa jajan. Hehe.” Fre bingung bagaimana bisa menafsirkan sikap paman mertuanya saat ini, baru saja beberapa hari yang lalu Stenly mengatainya, memakinya, namun pagi ini terlihat baik sekali. Ada apa sebenarnya? Apa ini salah satu cara Stenly untuk mendekatinya? “Jajan sepuasnya, traktir teman-temanmu jika diperlukan. Tak perlu berpikir jika habis bagaimana, isinya tak akan pernah habis, jadi gunakan saja sesuka hati kamu.” “Apa ada batas jumlahnya yang harus aku belanjakan?” “Sudah saya bilang, gunakan sepuasnya dan sesuka hatimu.” “Terima kasih ya, Paman,” ucap Fre. Stenly mengangguk dan kembali membelai rambut Fre. Ada rasa nyaman yang Fre rasakan setiap kali sentuhan Stenly menyentuh kepalanya. Fre lalu turun dari mobil dan melambaikan tangannya. Fre lalu melangkahkan kakinya masuk ke Gedung kampus, sementara Stenly sudah meninggalkan area kampus. Fre menjadi bahan tontonan oleh semua mahasiswa yang tahu kasusnya, namun Fre tak akan goyah hanya karena tatapan semua orang, Fre mengingat pesan paman mertuanya, ia cuek saja, semua orang pasti akan melupakannya. Tak lama kemudian, seorang wanita datang dan memeluknya. Fre tertawa kecil dan menggelengkan kepala, ia mengira temannya saat ini tidak akan mengenalnya lagi karena kasusnya, ternyata orang pertama yang menyambutnya adalah Anggi, temannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN