Kisah Sang Penulis

1814 Kata
Yogyakarta menjadi tempat pertemuan pertama untuk ketiganya. Carissa datang terakhir karena ia sengaja untuk membuat ketiga perempuan itu akrab. Niatnya, dengan kisah ini adalah untuk berbagi sekaligus memotivasi hidup. Bahwa siapa pun mungkin pernah berada di bawah hujan. Di bawah masalah yang seolah terus berlarut dan tak ada habisnya. Seperti beberapa daerah yang akhirnya banjir karena hujan yang tak pernah berhenti. Dan kisah mereka yang pernah berada di posisi di mana seakan-akan penderitaan itu tak pernah berakhir. Dan hari ini, kisah ini akan dimulai dari mereka. Mereka adalah perempuan-perempuan yang berhasil melewati badai kehidupan yang mungkin tak seberapa tapi keyakinan untuk meloloskan diri dari badai ini yang sangat luar biasa. Hingga akhirnya menemukan jalan bahagia dengan bersama-Nya. Sebab pada akhirnya, berharap pada manusia hanya akan membuahkan kecewa. Jika berharap pada Tuhan lantas akan bahagia? Tentu saja, iya. Dan tak akan pernah ada yang namanya penyesalan dalam hidupnya. Mau bukti? @@@ "Apa arti dari cinta?" Ketika ditanya itu, alih-alih menjawab, Inshira malah terbahak. Kedua perempuan yang ada di sebelah kanan ya kontan saja menoleh. "Woi, Ris! Lo bayar gue cuma buat jawab pertanyaan sereceh ini?" semprulnya yang membuat Carissa melotot sementara ia malah tertawa. "Jawab aja kenapa sih? Rempong amat deh!" sungutnya sebal. Belum apa-apa kesabarannya sudah diuji seperti ini. Inshira tertawa lagi. Rasanya ia hobi sekali mengerjai gadis ini. Eh....gadis? "Eh suami lo mana sih?" ledeknya yang membuat Carissa berdesis sementara kedua perempuan yang sedari tadi diam pun kontan terkaget dan menatap ke arah Carissa. "Kamu udah menikah?" tanya Arabella. Perempuan itu yang paling kaget. Pasalnya, ia mengira jika Carissa masih jomblo atau yah setidaknya bukan tipe perempuan yang ingin menikah cepat begitu. Ia tak tahu saja kalau usianya sudah 26 tahun. Carissa hanya nyengir. Ia tidak ingin menjawabnya secara gamblang. Biar lah menjadi rahasia dalam hidupnya. Walau.... "Dia bahkan sudah punya anak," bocor Shira. "YAK!" seru Carissa dengan kesal. Dan seruannya semakin membuat Shira terbahak. Rasanya ia puas sekali balas dendam untuk mengerjai Carissa. Ya sejak dulu, ia dan Carissa memang seperti ini. Bersahabat bagai anjing dan kucing. Setiap hari pasti selalu bertengkar. Itu karena keduanya sama-sama menyebalkan. Tapi begitu jauh, sok-sokan saling merindukan. Kecuali ya....semenjak Rissa menikah. Shira tidak ingin menjaga jarak tapi semua sudah pasti berbeda. Apalagi prioritas Rissa berubah pesat. Sepuluh menit berlalu dan masih diisi dengan celotehan milik Shira yang tak berhenti membuat Rissa kesal. Ia terpingkal-pingkal tapi setelah itu lari terbirit-b***t karena dikejar Carissa. Hampir setengah jam berlalu akhirnya suasana kembali tenang. Carissa yang ngos-ngosan dan ia hendak memulai syuting rekaman ini tapi..... "Hape lo noh!" sungut Shira. Gadis itu baru hendak berbicara tapi malah diganggu dengan suara ponsel milik Rissa. Tadinya Rissa hendak mematikan ponselnya. Tapi begitu melihat siapa yang menelepon, ia terpaksa mengangkatnya. "Iya, Mas?" "Waalaikumsalam, Rissa." Jawaban itu membuat Rissa nyengir. Ia menjauh sebentar agar obrolannya tak terganggu mulut-mulut ketiga perempuan yang mulai asyik mengobrol itu. Sementara Rissa menjepit ponsel dibahu juga telinganya. Lalu ia mengucap salam karena tahu jika suaminya baru saja menyindir. "Kenapa, Mas?" tanyanya. Pasalnya ia tadi sudah berpamitan kalau akan berangkat ke rukonya yang terletak tak jauh dari kampus UGM (Universitas Gadjah Mada) untuk rekaman eksklusif hari ini. "Fatih rewel," tuturnya. "Aku sudah dalam perjalanan menuju tempatmu," lapornya. Rissa hanya bisa menghela nafas. Ya sudah lah. Nasib begini. Begitu ada jadwal syuting yang pas malah terganggu. "Oke, Mas," tuturnya pasrah dan kembali menghadap ketiga perempuan itu. @@@ "Arti cinta?" tanya Davira pada diri sendiri. "Cinta itu yaa perasaan berkasih sayang entah sesama manusia atau pun pada Allah," jawabnya dengan senyuman tipis. Ia yang paling tampak tenang dibandingkan dengan kedua perempuan yang ada di sebelah kiri dan kanannya. "Perasaan sentimentil sih. Tapi alih-alih cinta ada hal lain yang lebih bermakna," jawab Inshira. Seperti biasa, gadis itu memang hobi membawa semaunya. Davira menoleh, mendengar kata-katanya. Kalau bagi Davira ya, cinta itu sudah tingkat teratas dalam hidup. Menurutnya, tanpa cinta yaa semua akan rapuh. "Apa?" tanya Arabella. Perempuan yang paling tua dibandingkan dengan dua gadis lain ini tentu saja tertarik dengan kata-katanya. Ia juga hampir sama dengan Davira. Agak kusut wajahnya jika berbicara tentang cinta. "Kesetiaan. Apa gunanya cinta tapi tidak setia?" Kening Davira mengerut. Tampak tak setuju. "Kalau tidak setia berarti tak benar-benar cinta," celetuknya dengan wajah polos. Ia mana tahu kalau kata-kata yang keluar dari mulutnya justru agak membuat kedua hati milik perempuan di kiri dan kanannya tergelitik. Walau kata-kata yang diungkapkannya benar. "Tapi menurut aku sih, alih-alih setia, barangkali dia lupa siapa yang sebetulnya harus disetiakan," lanjutnya yang membuat Inshira dan Arabella berdeham bersamaan. Carissa mengangguk-angguk. Ia juga menyetujui kata-kata Inshira tentang kesetiaan yang tepat dan di mana seharusnya kesetiaan itu diletakkan. Tentu saja pada Allah kan? "Ya, itu benar. Dan alih-alih berpikir yang macam-macam tentang masa lalu. Barangkali ini lah cara Allah menunjukan jalan-Nya yang terang kepada seorang hamba yang barangkali telah salah menaruh letak kesetiaannya. Ini juga bisa jadi sebagai sebuah takdir terbaik sekalipun pahit tapi akan berbuah manis pada waktunya." Carissa tersenyum kecil. Ia tahu jika seseorang yang pernah sengsara, pernah terluka dan bisa belajar dari semua hal itu tentu akan menyerap hikmah dari berbagai kepikuan yang pernah terjadi di dalam hidupnya. "Lantas bagaimana cerita Teteh hingga bisa dititik ini?" Rissa sudah memulai. Ia mengganti panggilannya ketika Arabella tahu wajah aslinya. Ia kira Carissa adalah perempuan yang mungkin lebih tua sedikit darinya menilik ucapannya yang begitu bijak. Ia terdengar seperti perempuan 35 tahun. Padahal masih jauh lebih muda dari itu. Sementara Davira ikut menatap Arabella yang tampak menarik nafas dalam. Ia tahu kabar pahit yang menimpa artis cantik yang satu ini. Rasa-rasanya hampir seluruh masyarakat tahu. Hanya saja, tak pernah ada yang tahu bagaimana kisah sebenarnya dan ini membuatnya makin penasaran. Alih-alih ingin berkisah tentang pengalaman pribadinya, ia lebih tertarik dengan kehidupan Arabella yang kini terlihat begitu tertutup. Inshira hanya menatap kosong ke arah Arabella yang sudah mulai bercerita. Padahal ia bisa melihat setitik air mata yang ada dipelupuk mata Arabella. Ia tentu sama dengan Davira. Pernah mendengar selentingan kabar hidup perempuan itu. Tapi tak pernah tahu bagaimana cerita aslinya. Menurutnya, kisah pilunya mungkin tak seberapa jika dibandingkan dengan dua perempuan yang ada di dekatnya ini. Keduanya lebih banyak menelan pahitnya pil kehidupan. Dan Carissa? Perempuan itu berdiri di belakang kamera yang merekam bagaimana masing-masing perempuan ini berkisah tentang kehidupan mereka. Mungkin pengalaman hidup juga kepahitan yang pernah menimpanya dulu tak sepahit kehidupan dari ketiga perempuan yang ada di hadapannya ini. Ia hanya memiliki selentingan kisah yang mungkin bisa dianggap biasa-biasa saja. Ia sudah melewati beragam macam cemoohan juga tatapan remeh sekalipun dari sahabat terdekat. Misalnya..... "Baru segitu aja udah bangga banget, Ris! Emang gaji penulis berapa sih sampai bisa biaya kuliah gitu?" Rissa hanya diam saja kala itu. Tak menjawab. Ia sama sekali tak ingin memberitahu gaji per bulannya bahkan bisa membeli motor tiap bulan. Tapi ia diam saja. Biar kan saja perempuan itu membangga-banggakan harta suaminya di depan matanya. Bagi Rissa, nominal itu tidak penting. Ada hal yang lebih penting dari pada itu. Apa? Tentu saja manfaat hidup. Karena hidup hanya sekali. Apa pentingnya membanggakan pendapatan jika tak bermanfaat pada kehidupan? Kalau harta itu digunakan di jalan yang benar dan tidak perlu berkoar-koar seperti itu, ia akan dengan senang hati mengangkat kedua jempol kakinya. "Kamu mah enak. Punya orangtua mampu. Lah aku? Kudu nanggung hidup orang tua. Mana bisa jalan-jalan ke luar negeri kayak kamu itu." Haaaah. Rissa hanya menghela nafas saja kalau mendengar ini. Ia mana tahu perasaan sebagai anak pertama? Anak pertama bukan sekedar menjadi contoh untuk adik-adik tapi juga orang pertama yang harus bertanggung jawab jika terjadi sesuatu pada keluarga. "Kapan nikah, Ris?" Haaah. Sakit hatinya kalau mendengar pertanyaan ini beberapa bulan lalu. Walau sekarang doanya sudah dijabah. Nyatanya Allah tak hanya memberikannya suami tapi juga seorang anak laki-laki. Masih sangat kecil. Usianya bahkan baru memasuki tujuh bulan. Dan.... Suara tangis memenuhi ketika pintu ruko terbuka. Semua mata tertuju pada sosok lelaki yang menggendong bayi tujuh bulan ditangannya. Rissa tersenyum sementara ketiga perempuan itu masih ia minta untuk terus bercerita tentang bagaimana kehidupan mereka yang pernah kelam. Sekelam hujan badai yang pernah menerpa. Di mana mereka bahkan tak punya tempat berlindung untuk bertahan. Walau akhirnya pelangi kini hadir menutupi kepiluan. Dan bahagia yang menyingkap tabir luka. "Anak Bunda....," serunya lantas mengambil alih bayi laki-laki yang semakin manja ketika dipeluknya. Tak pernah ia membayangkan akan menikah dengan seorang duda sekece ini. Masih muda. Yaaa hitungannya sih begitu. Masih 29 tahun dan berstatus duda beranak satu. Keduanya bertemu ketika Carissa menghadiri orientasi mahasiswa baru di UGM. Lelaki ini menjabat sebagai salah satu dosen di sana juga dokter di sebuah rumah sakit. Awal bertemu yang tak disengaja dan langsung bertanya namanya. Kalau ingat itu, agak malu rasanya. Walau hati sempat tak ingin menerima lantaran status yang tak terduga. Rissa hanya merasa aneh dengan usia anaknya yang masih tiga bulan kala itu. Ia bertanya-tanya....sebab lelaki ini bilang kalau sudah lama bercerai dengan istrinya. Sudah sebelas bulan katanya. Padahal anak ini masih sangat kecil. "Kami dijodohkan. Aku gak pernah tahu kalau dia sebenarnya tak pernah mau. Hingga akhirnya pergi seminggu setelah pernikahan." Lantas Rissa bertanya, kenapa tak mempertahankan jika perempuan itu memang layak diperjuangkan? "Aku percaya takdir Allah, Rissa. Bertahan dengan keterpaksaan akan tumpang tindih dengan janji yang ingin aku bangun untuk akhirat. Bagaimana mungkin menjalankan ibadah tanpa ada rasa ikhlas darinya? Aku tak mau memaksa." "Tapi kamu mencintainya, Mas?" Lelaki itu berdeham kala itu. "Aku mencintai Allah. Aku mencintai ibuku. Itu menjadikan alasan untukku juga agar bisa mencintainya. Walau takdir Allah berkata lain, kenyataannya bahwa aku memang tak harus mencintainya." "Lalu bagaimana semua itu bisa berakhir?" "Dengan keputusan. Dia akhirnya memilih untuk tetap bersama pacarnya. Sekalipun anak yang ia kandung sempat membuat beragam pertanyaan. Kami tetap bercerai dan setelah melahirkan aku hanya perlu membawa Fatih karena ia yang meminta. Katanya tak mau mengurus anakku. Jadi aku pergi tanpa pernah tahu kalau dua bulan setelah itu, dia yang benar-benar pergi." Kening Rissa mengerut kala itu. "Pergi?" Ia mengangguk. "Untuk selamanya dengan lelaki itu. Bunuh diri." Rissa terbatuk-batuk saat itu. Kaget. "Bagaimana bisa?" "Apapun bisa terjadi Rissa. Yang menjadikan satu-satunya alasan adalah ketidakrestuan mantan mertuaku terhadap hubungan mereka. Katanya si lelaki tak bertanggung jawab. Kerjaannya hanya memeras orangtua. Maka orangtua mana yang rela anak perempuannya hidup dengan lelaki seperti itu?" Aaaah. Rissa seakan paham kala itu. "Lantas kenapa mau dengan duda sepertiku?" Aaah Rissa menoleh malu ke arah lain kalau ditanya seperti itu. Ia awalnya tak pernah berpikir untuk bersanding dengan lelaki seperti ini. Tak pernah mengira pula makanya kaget sekali saat tahu bagaimana statusnya. Kemudian kebimbangan menerpa karena lelaki itu bercerai hidup bukan bercerai mati. Itu membuatnya agak takut kan. Siapa yang tak takut kalau menikah lalu ditinggal demam meninggalkan sebuah perceraian? Namun ternyata kenyataannya malah demikian. Dan kalau ia pikir-pikir jawabannya lagi. Tidak ada alasan lain untuk menerima lelaki ini sebagai suaminya selain..... Karena cinta kepada-Nya yang ditawarkan oleh lelaki itu padanya. Bagi Rissa itu keren. Bayang kan saja, cinta pada-Nya saja diperjuangkan apalagi cinta kepadamu? @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN