02

1299 Kata
"Itu kenapa jidat kamu, Dik?" tanya Bio dengan rasa penasaran yang cukup tinggi. Ekspresi jahil turun diperlihatkan olehnya kepada sang adik. Danan langsung berhenti mengunyah. "Jidatku merah. Gara-gara aku sama Dhiya terlalu semangat tadi lanjutin perang kemarin yang belum selesai." Acara sarapan di ruang makan kediaman Bio pagi ini yang semula tak terusik oleh berisiknya suara, kini terganggu akan batuk akibat tersedak yang tengah dialami Anandhiya setelah mendengar celotehan sang suami. Ia tentu merasa kaget dengan lontaran jawaban 'asal' pria itu. "Uhukk...uhukk." Batuk Anandhiya tidak kunjung mereda. "Minum air dulu, Ana." Anandhiya menganggukkan kepalanya seraya mengambil gelas yang diberikan Rinda, sang kakak ipar. Istri dari Bio. Anandhiya ingin melontarkan ucapan terima kasih. Namun, belum bisa. Alhasil, ia memilih untuk meminum air di dalam gelas lebih dulu agar batuknya cepat hilang. "Sudah mendingan?" tanya Danan tak berselang lama. Suara pria itu, memang terselip nada kekhawatiran. Akan tetapi, berbanding terbalik dengan sorot jahil yang dipancarkan matanya kepada sang istri. Anandhiya sangat menyadari arti tatapan dari seorang Danan. Ia pun telah menggerutu kesal beberapa kali di dalam. Andai saja tidak ada Bio serta Rinda di sini. Sudah dapat dipastikan jika tinjuan mautnya akan diterima oleh sang suami sebagai balasan. Namun, Anandhiya harus mengendalikan diri saat ini. Tidak boleh gegabah mengeluarkan emosinya. "Apa kamu perlu napas buatan dariku, Na?" Danan bertanya kembali dengan serangkaian kata yang sengaja diluncurkan untuk menggoda istrinya. "Senang sekali kamu isengin istri sendiri, Dik." Rinda mengomentari. Danan lantas memamerkan cengiran tak berdosanya di wajah selepas ucapannya ditanggapi sang kakak ipar. Dan saat ia melirik ke arah Anandhiya, maka tatapan tajam nan kekesalan dari wanita itulah yang didapatkan olehnya. Seperti biasa, Danan akan memerlihatkan seringaian. "Aku nggak perlu napas buatanmu sekarang. Kamu simpan aja untuk nanti." Anandhiya pun membalas secara asal-asalan. Tanpa memperhitungkan efek yang akan timbul karena jawabannya tersebut nanti. Seringaian Danan bertambah. "Boleh juga," tanggap pria itu santai. "Aduh, pengantin baru main kode-kodean," celetuk Bio sengaja dan mengimbuhkan dehaman yang cukup keras. Danan ngakak. "Jangan sirik gitu, Kak. Kasih adiknya senang-senang sebagai pengantin baru. Ya nggak, Bebh?" Pria itu seakan meminta dukungan dari sang istri. Dan kemudian, hanya sorot sarat permusuhan yang ia dapatkan. "Iyain aja." Anandhiya menaruh pekanan pada dua kata yang terucap. "Asal kamu nanti nggak kalah dariku," imbuhnya seolah menantang. Suara tawa Danan kian mengeras. "Awas aja kalau kamu yang malah tepar nanti, Bebh." Senyuman nakal dipamerkan oleh pria itu. "Kalian boleh terus perang sampai membuahkan hasil. Eh, bikin anak maksudnya," ceplos Bio tanpa menyaring kata-katanya lebih dulu. "Udah ada tanda-tanda nggak?" Gelengan cepat ditunjukkan Danan. "Belum, Kak. Ini kita lagi usaha terus biar segera jadi. Nggak absen perang tiap malam." Demi apa pun, Anandhiya begitu ingin menyumpal mulut sang suami supaya bisa berhenti memuntahkan kalimat-kalimat yang berbau rekayasa dan sama sekali tidak benar tersebut. Tetapi, suasana serta keadaan benar-benar tak sedang mendukung. Anandhiya tak tahu harus melakukan apa. Kekesalannya belum terlampiaskan. "Nanti jangan seperti Kakak. Baru tahu hamil setelah usia kandungan menginjak 3 bulan. Kakak aja baru tahu gara-gara merasa telat menstruasi yang lama banget. Takutnya kenapa-kenapa, eh malah hamil," cerita Rinda. Berbagi pengalaman yang pernah dialami. Kini, kandungannya sudah berumur 8 bulan. "Dikarunia anak adalah sebuah anugerah terindah dari diberikan oleh Tuhan," lanjut Rinda seraya mengelus-elus senang perutnya. Dan sedetik selepas sang kakak ipar berbicara, Anandhiya pun mulai berpikir. Kejanggalan turut dirasakan olehnya. Terutama mengenai masalah siklus menstruasi yang bulan ini belum ia dapatkan. Mendadak Anandhiya jadi ngeri. Dugaan-dugaan negatif bermunculan di benaknya. "Tidak mungkin." "Ana, ada apa?" tanya Rinda saat menyadari perubahan raut ekspresi adik iparnya yang tiba-tiba. Ia pun sedikit cemas. "Aku telat, Kak. Belum menstruasi bulan ini." Anandhiya membalas polos. Berujar sangat jujur. Tidak ada yang ditutup-tutupi. "Uhuk...uhuk...uhuk." Kali ini Danan tersedak dan terbatuk-batuk. Ia sangat kaget mendengar pengakuan istrinya. ********************* Sejak perjalanan pulang hingga tiba di kediaman Danan, tidak banyak percakapan atau pertengkaran kecil yang biasa dilakukan oleh pasangan suami-istri itu ketika berada di dalam mobil. Mereka lebih sering diam serta asyik dengan aktivitas masing-masing. Seolah juga memang sengaja bersikap cuek satu sama lain. Saat sampai di rumah pun, Danan dan Anandhiya belum terlalu terlibat obrolan yang panjang. Walau, mereka berdua sedang menonton acara sepak bola di ruang tamu bersama. Seperti tak ada yang ingin memulai lebih dulu. Gengsi besar dijunjung tinggi oleh Danan serta Anandhiya. Kemudian, keheningan yang setia menemani kebisuan mereka sejak tadi sukses pecah akibat suara mengaduh cukup keras dikeluarkan Anandhiya secara mendadak. Dan seketika berhasil mengalihkan perhatian Danan dari layar televisi, lantas membuatnya langsung memandang wanita itu yang sedang memegang perut. "Kenapa, Na?" Danan bertanya dan hendak memastikan kondisi sang istri yang masih mengaduh sakit. Ia jadi merasa tidak tega. "Dismenore." Anandhiya menjawab singkat dengan suara pelan. Selepas mendengar balasan istrinya, Danan dilanda kebingungan. Ia tidak bisa mengerti atau memahami. "Dismenore apa, Na?" tanya Danan lagi. Ingin memperoleh penjelasan yang pasti. Tanpa harus dipikirkan mendalam. "Sakit perut karena menstruasi." Anandhiya menyahut cepat sembari tetap berupaya menahan nyeri yang semakin kuat menyerang perut. Kedua mata Danan melebar, menerima efek dari jawaban istrinya. Ia seakan-akan belum memercayai lontaran kata-kata wanita itu. "Tadi pas sama Kak Bio dan Kak Rinda, kamu bilang telat. Nggak menstruasi. Kenapa malah sekarang datang bulan? Kok bisa?" Keingintahuan Danan yang besar kumat. "Ya, memang telat dari jadwal menstruasi yang seharusnya. Tapi yaa bukan berarti aku nggak datang bulan. Lagian mana kamu ngerti soal beginian. Kodratnya laki-laki emang selalu kurang peka sama lingkungan, apalagi sama cewek." Anandhiya membalas dengan nada sedikit ketus dan kesal. "Udah tahu lagi sakit, mana banyak nanya." Wanita itu jadi sewot. Danan hanya memasang wajah tanpa dosa tatkala ditatap sangar oleh sang istri. "Ya 'kan aku nggak tahu, makanya nanya. Kamu juga pakai bilang telat sama Kak Rinda. Aku pikir kamu hamil, Na. Aku kagetlah." Anandhiya pun melebarkan kedua bola mata. Dan kemudian, pukulan maut dilesatkan dengan segera pada lengan kanan suaminya. "Ngaco kamu!" "Mustahil, mana mungkin pula. Aku ngga--" "Iya, yah. Mana mungkin perut kamu bisa melendung kalau aku sama sekali belum pernah diisi, ya. Haha." Danan memotong sengaja ucapan sang istri. Kalimat-kalimat bernadakan godaan diluncurkannya tanpa beban ataupun rasa bersalah tersebut. Asalkan dapat membuat istrinya sedikit marah, maka ia akan puas. "Mulut ini orang satu kalau ngomong suka asal aja. Laki-laki m***m. Buaya darat kelas kakap." u*****n penuh kekesalan diloloskan Anandhiya. Danan memamerkan seringaian nakalnya. "Kapan nih kamu mau aku coba isi, Na? Aku yakin kalau cuma butuh tiga kali aja. Pasti langsung jadi anak kita. Nggak masalah mau cewek apa cowok." Setelah pertanyaan terlontar. Danan lalu mendekatkan wajahnya ke sang istri hingga kini hanya tersisa kurang dari dua cm jarak yang memisahkan mereka berdua. "Gimana, Na? Sip?" "Kepala dan mulut kamu memang selalu kotor," sindir Anandhiya pedas. "Kamu juga m***m!" Untuk menghindari keluarnya kata-kata lebih pedas lagi dalam debat dan pertengkaran mereka yang tak penting ini, Anandhiya memilih mengalah. Wanita itu lantas bangkit dari sofa, hendak pergi ke kamar. Mengistirahatkan diri sejenak. Terlebih rasa nyeri belum berkurang. "Ada apa lagi, sih? Jangan coba nyari-nyari masalah sama perempuan yang PMS. Akan Bahaya." Kalimat peringatan langsung saja Anandhiya berikan tatkala tangannya diraih oleh sang suami serta membuat niatannya jadi tertunda. Anandhiya mencoba melepaskan pegangan pria itu pada tangannya, tapi tidak berhasil. "Danan, tolong ya. Aku lagi nggak ingin bercanda." "Siapa yang mau bercanda sama kamu, Dhiya?" sahut Danan sembari melempar tatapan cukup intens. Seringaian pria itu tak hilang saat melakukan gerakan mendorong yang menyebabkan istrinya terduduk kembali di sofa. "Diam di sini dulu sebentar. Aku akan buatkan air jahe hangat. Siapa tahu sakit perut kamu bisa sedikit berkurang, Na." Kali ini, sorot mata Dan terlihat semakin serius. Pandangannya masih tertuju ke wajah sang istri yang baginya tampak cantik. "Aku juga mau minta maaf soal candaanku tadi. Aku nggak maksud serius. Jangan dibawa baper ya, Na? Tapi, aku nggak akan larang kamu kalau terpesona dan jatuh cinta padaku kok. Boleh-boleh aja." Danan berkata penuh percaya diri. "GR banget kamu!" ............
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN