“Hah, gila ya! Prof satu itu gaada selesainya ngomong. Udah mah kayak kaset, syukur kalo suaranya merdu kayak oppa-oppa korea, ini teh meni grusuk pisan, ga kuat. Udah mah 3 SKS, heleuh, hareudang euy!!” gerutu perempuan sunda satu ini. Dengan menenteng bawaannya, buku-buku yang seabreg dalam tas jinjing andalan kami, entah apa aja yang dimasukkan gadis satu ini. Yang jelas, buku-buku itu mungkin akan habis dilahapnya. Dilahap dalam mimpi. “Eh mending kita ke kantin aja, gimana?” gadis berambut ikal menyahut menimpali kekesalan sang dara sunda. “ ayo weh, kamu na? Mau ikut ga ke kantin. Lumayan loh buat melepas penat dan melepas dahaga penunda lapar sebelum menza siang hihihi” balas gadis sunda bernama Rina itu.
“hmm... enggak lah, aku lagi gak mantap buat makan makan ena di kantin nih, gatau lagi males aja” ucapku menimpali Rina. “eh, seriusan lo ga ikut ke kantin? Biiasanya kan lo yang paling semangat ke kantin na. Yakin ga tergiur sama bakso bule cong yang niqmat tiada tara itu?” kali ini gadis ikal memanas-manasiku dengan makanan favoritku di kantin. Grace yang berdialek khas betawi menepuk pundakku menandakan aku harus tergoda akan rayuan mautnya. Jujur, aku goyah. Tapi, kali ini entah mengapa aku tak terlalu mempedulikannya.
“beneran deh grace, gue ga ikut klean deh, titip pentolnya aja ya lima ribu buat honey, kesukaan dia banget itu” ujarku dengan menyerahkan 2 lembar uang 2 ribuan serta 1 koin seribu untuk si honey, kucing asrama kami yang sangat garang kalau kenyang tapi sangat manja kalau sedang lapar. “ iya deh, yaudah atuh kita berpisah disini, kamu teh gapapa ke asrama nya sendirian?” Rina berucap dengan nada khawatir.“ah, lebay kali lah kau ini! Dari simpang ini ke kamar deket pun. Lagian jugak ngapa aku harus takut, emang gajelas si kekhawatiranmu tu” timpalku dengan nada sedikit mengejek.
Ingin kucepat-cepat sampai kamar. Melepas seragamku dan rebahan sejenak menunggu waktu makan siang. Kenikmatan yang sangat haqiqi untuk kaum rebahan sejati sepertiku. Kulangkahkan kakiku cepat sambil menenteng tas yang hampir tidak ada isinya. Langkahku melambat saat kulihat Rere melambaikan tangannya kearahku dari depan pintu kamar kami. Roommate satu ini memang sangat idealis, ia pasti tidak akan membiarkanku rebahan barang sebentar saja di kasur. Sesungguhnya aku menjadi berfikir dua kali saat kulihat badan tegapnya di depan pintu kamar, aku menyesal tidak ikut Rina dan Grace makan di kantin. Setidaknya ada secercah kebahagiaan melahap bakso bulek cong daripada tidak merasakan kebahagiaan haqiqi, tidur.
Namun, sepersekian detik kemudian aku tersentak. Ada seseorang disamping Rere, dan bukan perempuan. Ada apa ini? Bukankah asrama putri sangat tidak boleh dimasuki oleh laki-laki. Dan kenapa Rere membawa pria bersamanya? Apakah aturannya sudah berubah atau ada yang tidak beres?. Ah, jangan berprasangka yang tidak-tidak dulu. Mungkin ada sesuatu yang aku tidak tahu, atau mungkin laki-laki itu sedang berkepentingan dengan Rere.
Akupun menghampiri Rere yang tadinya ingin kuhindari, memastikan bahwa prasangkaku tidaklah buruk. Aku tak mau m*****i nama Rere dengan menuduhnya sembarangan. Maka kemudian kupercepat langkahku kearahnya, dengan raut wajah yang akupun tak tahu bagaimana bentuknya. Tepat didepannya, kumenarik lengannya, mendekatkan bibirku di daun telinganya, sembari berbisik pelan,“ hei re, siapa lelaki disebelahmu itu? Apakah ada urusan mendadak? Ataukah ada sidak[1] dari pengasuhan? Wah lampu merah kalo ada sidak ni” seketika Rere menjauhkan badanku dari telinganya.
“apaan sih na? Ada siapa disebelahku? Ah kamu aneh aneh aja nah, ndabisa bepikir kah kamu. Jelas-jelas ini asrama putri, kalaupun ada sidak yang ndamungkin lah ada laki-laki yang mau memeriksa seisi kamar. Ada apa? Ada yang salah ya denganmu?” Rere menjawab sembari melambai-lambaikan telapak tangan kanannya tepat di depan wajahku, dengan kepalanya yang sedikit memiring, menyesuaikan tinggi badanku yang berbeda 10 cm darinya. Aku berusaha mengucek mataku, mencubit pipiku berharap ini adalah mimpi yang lain, sama seperti kejadian aerobik pagi yang sangat rancu itu. Tapi berkali-kali aku mengucek mata dan mencubit pipi, lelaki itu masih disana. Dan justru kali ini, ia tersenyum ke arahku. Jujur, ia tampan. Tapi sepersekian detik kemudian ada yang tak beres denganku. Dengan cepat aku beranjak masuk ke kamarku mengacuhkan Rere yang masih menggelengkan kepalanya melihat tingkahku.
Aku tak peduli kali ini. Bahkan saat Rere kembali mengingatkanku agar tidak rebahan, aku mengelak. Kubenamkan wajahku dibawah bantal, berkali-kali. Mungkin saja ku salah lihat, ya mungkin saja. Tidak mungkin kan ada yang aneh denganku. Ini pasti hanya imajinasiku, karena kebanyakan tidur. Ya benar begitu, bukan penyakit mental yang biasa kudengar ceritanya lewat kanal Youtube yang sering kutonton kala bosan. Namun segala macam praduga itu terpatahkan begitu saja saat seseorang yang kulihat, kini berada tepat di jendela kamarku yang berhadapan langsung dengan kasurku. Ia menyandarkan dagunya pada kusen jendela. Sembari tersenyum, “hai. Kita bertemu lagi. Kuyakinkan kali ini bahwa aku bukan seperti yang kamu fikirkan” dan ia pun berujar. Sontak aku terduduk, apa?! Berarti insiden aerobik itu benar??
“ ya benar. Itu benar terjadi dan itu bukan mimpi” lelaki itu menjawab perkataanku yang bahkan kali ini hanya terucap di dalam otakku, tanpa ada sedikitpun keluar dari mulutku. Seketika aku mundur perlahan, dengan wajah yang tak terdefinisikan berusaha keluar dari kamar dan berlari sekencang-kencangnya. “ oi, tunggu dulu. Aku hanya ingin memastikan sesuatu” ia meyakinkanku lagi. Aduh, please jangan lagi. Kali ini bukan bulu kudukku saja yang berdiri, detak jantungku berdegup dengan sangat cepat. tidak, tidak mungkin. Aku tak terima ini. Pikiranku semakin berkecamuk, apa yang akan terjadi selanjutnya? Semakin aku mundur, suaranya semakin jelas terngiang. Dan separuh diriku berkata bahwa aku harus mendengarkannya. Sedang separuh diriku yang lain sangat menentang keputusanku itu. Aduuh, kutenangkan diri dahulu. Kutarik nafas dalam-dalam, berusaha menenangkan fikiranku. ‘mungkin aku akan tenang saat pergi makan siang’ gumamku pelan dan yang pasti lelaki;atau bukan;atau entah apalah dia itu mendengarku bergumam. Dan semoga ia paham diiringi raut wajahnya yang lebih mengisyaratkan kebingungan daripada kekecewaan. Aku harus mengalihkan diriku darinya. Harus. Dan sedetik kemudian, aku telah melangkah menjauh sejauh-jauhnya dari dia.
[1] Sidak : Inspeksi Dadakan/ pemeriksaan menyeluruh isi asrama tanpa pemberitahuan
***
Di ruang makan, setidaknya ada lebih banyak orang. Aku teralihkan sejenak. Kulihat juga Rere berdiri mengelilingi kami mengecek apakah teman-temannya ini telah lengkap di meja dan siap untuk menyantap makan siang yang disediakan. Pandangannya yang serius membuat siapa saja akan segan, bahkan aku yang satu kamar dengannya. Dan, hal yang sangat ingin kuhindari justru menghampiriku. Lelaki itu, dia lagi dia lagi. Tak pernah lewat dari pandanganku sosoknya. Selalu ketika ada Rere pasti ada dirinya yang kulihat. Dan ini sudah ketiga kalinya, yang kata orang bisa dapat piring cantik nih.
Berusaha kumemalingkan mukaku dalam-dalam, menghindar dari tatapan lelaki yang bahkan aku tak pernah bertemu dengannya. Tapi lagi-lagi, walaupun sosoknya ada jauh didepan, suaranya sangat jelas terdengar olehku.
“ayolah natania, aku sangat ingin menanyakan sesuatu yang bahkan aku sendiri tak tahu jawabannya”
‘bagaimana bisa kamu tak tahu jawabannya sedangkan kamu selalu dapat mendengar apa yang kufikirkan’
“aku pun tak tahu. Yang kutahu hanya kamu satu satunya yang kuingat dan hanya kamu yang bisa k****a. Ayolah, apakah kamu mau mendengarkan barang sepatah dua patah kata dariku?” kali ini lelaki itu berbicara padaku lewat fikiranku, dan bodohnya aku menanggapinya dengan ucapan dalam fikiranku juga! Seperti aku sedang berkomunikasi pada diriku sendiri. ‘baiklah, tapi kali ini saja. Dan jangan disini, orang akan mengira aku sedang berfikir aneh aneh, nanti ada waktunya. Aku akan mendengarkanmu’, “benar ya? Akhirnya... ada juga yang bersedia mendengarku, huft... semoga aja ini yang mengapresiasiku” suara itu menggumam semakin jelas dan jelas. Jengah, benar sih. Tapi sisi kemanusiaanku kemudian muncul dengan adanya dirinya, haruskah aku mendengarnya dengan seksama. Ah, jangan dulu. Banyak orang disini. Bisa-bisa aku dikira sedang terkena penyakit aneh-aneh.
Perpustakaan. Tempat seluruh manusia menjalankan aktifitasnya. Yah, kau tahula apa saja. Bukan hanya membaca atau mencari referensi, tapi begitu banyak kegiatan dari masuk akal sampai yang diluar nalar. Begitupun aku, yang saat ini memilih perpustakaan untuk melakukan aktifitas diluar nalar, berbicara dengan sosok yang misterius, selalu muncul dimana saja akhir-akhir ini. Dan benar saja prasangkaku sepersekian detik yang lalu, ia muncul tepat di depan mataku, berdiri dengan senyum yang merekah.
“oke, aku mendengarkanmu sekarang. Katakan, apa yang kau mau? Dan mengapa kau selalu mengikutiku satu hari ini”
“tenang Natania, aku akan menjawab pertanyaanmu satu persatu. Pertama, ini bukan hari pertama kita bertemu. dan kamu juga bukan pertama kalinya mengelak keberadaanku. Aku telah ada bersamamu sejak satu tahun lalu, saat tahun dimana kamu termenung di bawah gubuk depan asrama. Dan entah mengapa, sejak saat itu aku selalu tertarik padamu. Bukan karena tertarik oleh perasaan, tapi seperti ini adalah sebuah keharusan aku selalu tertarik. Kedua, sejak aku sadar tidak ada yang kuingat, sama sekali. Yang kutahu, aku ada untuk dirimu karena hanya kamu yang bisa berkomunikasi denganku sejak satu tahun yang lalu”
“tunggu dulu. Satu tahun yang lalu? Aku saja tidak sadar bahwa ada kamu; sosok yang lain sejak tahun lalu. yang kutahu kamu menggangguku”, “Ingat tidak saat kamu di tangga kelas, dan ada yang menabrakmu tepat dibelakangmu, apakah kamu tidak curiga sedikitpun ketika seseorang itu tiba-tiba menghilang?” aku mengingat ucapannya dalam-dalam. Benar juga, saat itu ada yang menabrakku tapi hilang. Namun, saat itu yang kupikirkan hanya satu. Masalahku yang selalu ingin kuhilangkan, masalah yang tak akan pernah bisa terpecahkan walau perasaanku pecah dan kepalaku hancur sekalipun. “memang kenapa dengan saat itu di tangga? Dan kenapa kau menabrakku lalu menghilang? Apakah kamu huntu-huntu yang suka jahil itu”
“itulah yang ingin kutanyakan. Apa yang kau lakukan dan kau fikirkan sampai aku muncul di belakangmu dan menabrakmu, kemudian langsung berubah gelap. Aku yang bertanya padamu, karena jujur akupun tidak tahu kamu yang kutabrak. Dan semenjak saat itu, kamu selalu yang muncul. Awalnya, aku tak berani ngobrol denganmu, mempertanyakan apa yang aneh denganku, tapi semakin lama aku semakin khawatir, apakah aku punya hubungan denganmu sampai aku harus mengikutimua dan selalu kamu orangnya” ucapannya sangat meyakinkan. Aku bisa liat kesedihan dan kebingungan serta kekhawatiran di wajahnya. Tunggu dulu. Inikah salahku? Apa yang terjadi dengannya? Harusnya aku yang takut karena dia yang tiba-tiiba muncul di hadapanku dan menghantuiku?
“sudahlah. Begini saja, kalau aku memang menjadi alasan keberadaanmu, satu pertanyaanku, bagaimana dengan kejadian aerobik itu? Bisa kamu jelaskan itu?”tantangku kemudian. nah, kena kamu! Mau kamu bohongi aku bagaimana sekarang?. “itu... sebenarnya adalah perbuatanmu. Kamu yang mengheendaki ketiadaan hari itu. Dan itu mempengaruhiku.” kali ini wajahnya menunduk, berfikir dalam-dalam. Giliran aku yang bingung. Apa aku ini punya kekuatan super?. “ya, kamu hanya tidak menyadarinya. Kamu menginginkan yang kamu inginka, dan mengelaknya seakan itu tidak pernah terjadi, apakah kamu percaya padaku?” “tidak. Aku tak percaya padamu, dan aku tak percaya hal-hal takhayul itu. Bahkan aku tak percaya padamu” “aku mungkin adalah salah satu kekuatanmu saat ini, kekuatanmu untuk menyembunyikan masalah satu tahun lalu, masalah yang...” segera kuhentikan perkataannya. Aku tak ingin mendengar itu lagi. Tidak akan pernah. Biarlah itu terkubur dalam-dalam. “baiklah, tapi sekarang bisakah kamu mencari jalan keluar atas diriku ini?”ucapnya lagi. Hmm... bahkan aku tak tau dia. Tapi seakan dia tau segalanya tentangku.
“baiklah, mari kita telusuri dirimu. Siapakah kamu dan mengapa kamu ada disini, menggangguku” ucapku kemudian. Sebenarnya bukan menolongnya. Ini lebih seperti sebuah hubungan mutualisme. Aku menolongnya, ia menghilang. Dan dengan begitu, aku tak perlu dihantui oleh seseorang sepertinya. begitupun, aku bisa melanjutkan hidupku yang damai selama setahun terakhir ini.
***