Housemates With The Boss – 01

1604 Kata
Bandara Soekarno Hatta, 12 januari 2019. Seorang perempuan dengan setelan yang modis terlihat berjalan berlenggak-lenggok sambil menarik sebuah koper berwarna merah di belakangnya. Dia mengenakan setelan jas dan rok di atas lutut berwarna senada dengan kopernya.  Pakaiannya itu terlihat sedikit ketat sehingga menampakkan lekuk tubuhnya yang sempurna. Penampilannya kian menarik dengan sentuhan make up yang cukup bold dengan lipstick berwarna merah menyala. Rambut panjangnya yang berwarna cokelat itu dibiarkan tergerai di sisi kanan bahunya. Dia terus melangkah dengan percaya diri dengan kakinya yang terlihat jenjang. Kehadirannya bahkan sukses menarik perhatian pengunjung bandara yang lainnya. Tak sedikit mata yang terhipnotis menatap kecantikan perempuan itu. Sebagian bahkan mengira bahwa perempuan itu adalah sosok selebritis dari luar negeri. Wajar saja, kulit putih, rambut cokelat dan hidungnya yang mancung memang membuatnya terlihat seperti orang barat. Tak lama berselang langkahnya terhenti saat handphone miliknya berdering. Perempuan itu mengambil handphone-nya dari dalam tas dan tersenyum saat melihat nama yang tertera di layar itu. “Halo, Lish ... kamu udah landing, kan?” tanya suara dibalik telepon. “Iya aku baru aja ngambil bagasi. Sekarang lagi jalan keluar dari gate,” jawab perempuan itu. “Aku udah nungguin kamu di luar!   Jadi buruan, Oke!” “Okey, aku segera keluar.” Tut. Panggilan itu pun terputus seiring dengan perempuan itu kembali melanjutkan langkah kakinya. Perempuan yang memiliki paras seperti bule itu bernama Eilish Anderson. Dia memang seorang blasteran Minang-Belanda. Sang Ayah Cliff Anderson berasal dari negeri kincir angin, sedangkan sang ibu—Mariana merupakan wanita asli Padang, Sumatera Barat. Eilish baru saja menuntaskan gelar sarjana manajemennya dua bulan lalu di Universitas Andalas, Padang. Setelah itu dia pun gencar mengirim lamaran pekerjaan ke mana saja. Beruntung salah satu perusahaan di Jakarta menghubunginya untuk melakukan interview. Menurut profilnya yang sudah dipelajari Eilish, perusahaan itu bergerak di bidang advertising  dan juga periklanan di dunia entertaintment. Itulah alasannya Eilish terbang ke Jakarta. Dia sangat bersemangat untuk memulai kehidupan barunya di Ibukota. Interview itu akan dilakukan dua hari lagi, namun Eilish memutuskan untuk datang lebih awal karena dia ingin bersenang-senang terlebih dahulu bersama sahabatnya—Aqina. “Eiliiiiiiiish ...!!!” Aqina langsung berteriak antusias menyambut Eilish. Mereka berdua pun berpelukan sebentar sambil melompat-lompat pelan. Aqina melepaskan pelukannya, lalu menatap Eilish perlahan. “Ya ampun, Lish. Kamu semakin tinggi aja! leherku jadi sakit kalau kelamaan melihat kamu.” “Hahaha.” Eilish tertawa pelan. “Dan kamu masih saja terlihat imut seperti dulu,” sahut Eilish sambil mencubit pipi Aqina yang sedikit chubby. Aqina menempelkan ujung kedua jari telunjuknya ke pipi. “Oh iya dong! aku akan selalu menjadi cutes and sweetes sepanjang masa. Hahaha.” “Iya deh, iya ... yang punya baby face, mah emang beda,” ucap Eilish. “Sekarang kita ke mana, nih? Langsung ke kost-an aku atau bagaimana?” tanya Aqina kemudian. “Hmmm ....” Eilish berpikir sebentar. “Sepertinya aku mau makan dulu deh, abis itu aku juga perlu belanja kebutuhan mandi dan pakaian juga.” Aqina mengacungkan jempolnya. “Oce deeeh ...!” Mereka bedua pun melangkah riang menuju taksi yang sudah menunggu, tapi kemudian Aqina menghentikan langkahnya dan beralih menatap Eilish. “A-ada apa?” tanya Eilish. Aqina mendesah pelan. “Itu kacamata itemnya bisa dicopot dulu nggak? beneran deh, kamu kelihatan seperti tukang pijat.” Eilish memanyunkan bibirnya, namun dia tetap menurut dan melepas kacamatanya itu. “Udah, kan?” Eilish menatap Aqina dengan bola mata indahnya yang berwarna cokelat pirang. “Nah ... gitu dong! kalau gitu ayo kita berangkat!” Aqina menarik Eilish untuk bergegas. Eilish pun tersenyum senang. “Ok, let’s go ....” _ Jarum jam yang melingkar di pergelangan tangan Eilish sudah menunjukkan pukul 13.00 siang. Padahal tadi dia mendarat tepat pukul 10.00 pagi dan saat ini mereka masih terjebak di dalam kemacetan Ibukota yang luar biasa. Eilish mendesah pelan menatap padatnya kendaraan di depan dan dibelakangnya. Senyumnya kini tidak telihat lagi. Rasa lapar, gerah dan bosan kini datang mendera dan membuat mood Eilish menjadi anjlok. “Apa Jakarta selalu seperti ini?” tanya Eilish kemudian. Aqina yang sedang asyik bermain mobile legend di handphone-nya hanya mengangguk samar dan itu membuat Eilish semakin kesal. Dia menatap sahabat masa kecilnya itu lekat-lekat dan menggeleng pelan. “Dari dulu kamu emang nggak pernah berubah, ya! game teroooos,” gerutu Eilish. Perempuan berambut pendek dengan kacamata bulat itu mempunyai nama lengkap Aqina Khairani. Sebelumnya Aqina merupakan tetangga Eilish saat dia masih menetap di padang. Mereka memang sudah bersahabat sejak kecil, walaupun persahabatan mereka itu lebih sering diwarnai oleh peperangan di masa lalu. Eilish dulu selalu mengejek Aqina yang terlihat cebol. Sedangkan Aqina juga mengejek Eilish yang sangat tinggi dan jangkung. Setiap harinya selalu saja ada yang mereka ributkan baik di sekolah atau pun di rumah. Mereka selalu ribut satu sama lain, tetapi akan saling membela jika ada anak-anak lain yang mengganggu salah satu di antara mereka. Walaupun berperawakan mungil dan kecil, Aqina layaknya seperti seorang bodyguard Eilish di masa lalu. Masa kecil Eilish memang kurang mengenakkan. Dia kerap mendapatkan perlakuan rasis karena fisiknya yang terlihat berbeda dari warga pribumi. Anak-anak yang lain selalu mengejek Eilish dan memberinya gelar yang beragam. Mulai dari di pirang, bule sesat, penyihir, dan berbagai julukan lainnya yang dulu selalu membuat Eilish menangis diam-diam. Eilish tersenyum pelan mengingat segala kejadian masa lalu itu. Dia terkenang bagaimana sosok Aqina yang selalu ada untuk melindunginya. Aqina bahkan tidak segan-segan melempari anak-anak yang menganggu Eilish dengan menggunakan batu. Sedikit bar-bar memang, tapi semua itu ampun untuk membasmi semua penganggu. “AAA...! sakit, Lish! Kamu kenapa, sih?”  Aqina terkehut saat Eilish mencubit pipinya. Eilish tersenyum pelan. “Aku gemas sama kamu, Na.” Aqina tersenyum dan mematikan handphone-nya. “Kamu pasti kangen ya, sama aku? iya, kan? kita sudah berpisah selama kurang lebih tujuh tahun, lho.” Eilish mengangguk pelan. “Ya, ternyata waktu sudah banyak berlalu dan sekarang aku bener-bener seneeeeeng banget karena akhirnya kita bisa bersama lagi.” Aqina bertepuk tangan dengan antusias. Sopir taksi yang duduk di depan bahkan tergelinjang kaget dan memegangi dadanya karena terkejut. “Pokoknya nanti aku akan ngebawa kamu ke semua spot-spot  yang epik di Ibukota tercinta ini,” ucap Aqina. Eilish hanya memasang wajah datar. Aqina pun langsung menepuk jidatnya menyadari satu hal yang dia lupakan tentang Eilish. “Aku lupa kalau kamu itu kaum rebahan yang nggak suka keluyuran keluar rumah. Yang kamu butuhkan hanya kasur, bantal, selimut, jaringan internet dan kuota bukan?” tanya Aqina. Eilish terkekeh pelan. “Nah, itu kamu tau! Lagian kalau kondisinya seperti ini aku bener-bener malas keluar rumah. Sekarang mau ke pergi makan dan belanja aja masih belum kesampaian juga.” Aqina menepuk pundak Eilish perlahan. “Sabar... nanti lama kelamaan kamu juga terbiasa dengan ritme kehidupan Jekardah dengan segala ke-pelik-annya.” Eilish menggeleng pelan. Dia beralih emnatap sopir taksi yang sesekali menguap menahan kantuknya. “AC-nya bisa dikencengin lagi, nggak, Pak?” tanya Eilish. “Ah, bisa, Mbak! Siaap,” jawab sang sopir. _ Setelah merasa remuk dan pegal karena duduk terlalu lama di dalam taksi, akhirnya Eilish dan Aqina sampai di sebuah pusat perbelanjaan. Mereka berdua langsung menuju outlet yang menjual makanan terlebih dahulu. Eilish benar-benar sudah merasa sangat kelaparan sekali. Mereka berdua akhirnya memilih untuk menyantap makanan khas jepang yaitu sushi dan teman-temannya. “Pokoknya makanan di sini itu enduls bangetm Lish! Aku jamin pasti kamu ketagihan nantinya,” ucap Aqina. Eilish mengangguk dan mulai mencicipi sushi di piringnya. Benar saja, sensasi kesegaran dan kenikmatan itu langsung memanjakan lidahnya. Eilish melahap hidangan itu dengan cepat. Tak lama kemudian dia pun berbicara dengan mulut terisi penuh. “Pesan satu porsi lagi, Na!” Setelah menuntaskan urusan perut, kedua perempuan yang terlihat jomplang karena perbedaan tinggi badan mereka itu melanjutkan perjalanan memasuki gerai yang menjual berbagai perlengkapan mandi dan kosmetik. Eilish sedari awal memang tidak menyiapkan semua itu dari rumahnya karena hanya akan memakan tempat. Keranjang troli yang didorongnya kini sudah hampir dipenuhi oleh ebrbagai kebutuhan pokok sebagai ‘manusia’ seperti perlengkapan mandi, persabunan dan koleganya, handuk, bedak, doedoerant, pokoknya tangan Eilish tidak berhenti mengambil berbagai barang dari rak pajangan yang ada. “Ini kepake semua, Lish?” Aqina menatap heran. “Kepake dong,” jawab Eilish singkat seraya menhangkau sebuah tisu berukuran besar. Aqina menelan ludah. “Ampun deh, ya! aku pribadi Cuma perlu doedorant sama bedak tabur doang.” Eilish menghela napas, lalu beralih menatap Aqina. “Nah, itulah alasannya kenapa kamu masih jomblo sampai sekarang.” Huk. Aqina langsung meremas dadanya. Ucapan Eilish barusan benar-benar seperti sembilu yang langsung menikam jantung. “Aaargt ... ucapan kamu itu terlalu kedjam, Lish.” Aqina terhuyung seperti hendak jatuh. Plak. Eilish langsung menampar b****g sahabatnya itu. “Udah jangan lebay! Pokoknya nanti aku akan mengajarkan kamu bagaimana menjadi seorang wanita.” “Jadi menurut kamu aku bukan seorang wanita gitu?” tanya Aqina. Eilish menatap Aqina sebentar sambil mengusap dagunya, lalu kemudian menggeleng cepat. “No ...,” jawabnya kemudian. Aqina merengut dengan mata menyipit. Tapi sedetik kemudian dia tersenyum dan langsung melompat untuk meraih pundak Eilish yang tinggi. “Oke deh. Kalau begitu anggap aja aku lelaki. Will you marry me Princess.” Aqina berbicara dengan suara yang diberat-beratkan. Eilish pun tertawa pelan. “Hahahaha ... baiklah, I will....” _ Malam pun akhirnya datang menjelang. Ini adalah malam pertama bagi Eilish berada di Jakarta. Dia baru saja selesai mandi dan sudah merasa fresh sekali. Begitu memasuki kamar, dia terkejut melihat banyak makanan yang sudah tersaji di atas sebuah meja berukuran kecil. “Ya ampun, Na ... makanannya banyak bangetm” ucap Eilish sambil terus mengeringkan rambutnya dengan handuk. “Iya dong. Ini adalah pesta penyambutan kamu. Jadi malam ini kita akan bersenang-senang, okey!” sahut Aqina yang masih sibuk menata makanan itu. Eilish pun beranjak duduk bersila di dekat meja itu. Di sana terlihat ada pizza, kentucky, sosis goreng yang ditusuk, minuman kaleng dan berbagai jenis cemilan lain yang membuat Eilish hampir menitikkan liurnya. Mereka berdua pun menyantap cemilan itu seraya menonton drama Korea menggunakan laptop. Malam ini Eilish dan Aqina benar-benar bersenang-senang. Mereka juga menghabiskan waktu dengan bernostalgia dengan bercerita tentang segala yang pernah terjadi di masa lalu. Mereka terus berpesta hingga larut malam. Sampai akhirnya energi kdua gadis itu habis dan mereka akhirnya merebahkan tubuhnya di atas kasur. “Jadi lusa kamu akan melakukan interview-nya kan?” tanya Aqina dengan mata yang sudah terpejam. “Iya. Tapi itu hanya sebagai formalitas aja, kok. Karena aku sudah dipastikan mendapatkan pekerjaan itu,” jawab Eilish dengan mata yang juga sudah terpejam. Aqina mendesah pelan. “Jadi artinya kamu sudah siap untuk hidup di kota ini?” Eilish membuka matanya perlahan, lalu menatap langit-langit kamar yang kini sudah temaram. “Iya. Aku sudah siap untuk memulai kehidupan baru di sini,” jawabnya kemudian. _ Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN