27

2289 Kata
Lamat-lamat Edward turun lebih dulu, memarkirkan boat di sebuah kawasan bebas ombak. Pria itu kemudian memegang tangan wanita di depannya sembari menggenggam tipis-tipis. Dia juga tidak lalai memandangi setiap inci pergerakan wajah Liana yang menatap ke sana ke mari, mencoba meminimalisir tempat asing yang baru dilihatnya. “Hati-hati, Liana, nanti kamu jatuh!” ucap Edward perhatian. Dia menggenggam kedua tangan Liana erat-erat. “Huh, syukurlah. Terima kasih, ya, Edward!” Liana kembali menatap lekat wajah pria di hadapan. Sesekali gadis itu tersipu malu menyadari bahwa tangannya sudah ada di genggaman Edward. Kemudian dia sadar, Edward adalah sepupunya. Kau gila Liana! Batinnya sambil menariktangannya dari genggaman Edward. “Kamu yakin, ‘kan, ini tempat itu? Aku hanya tidak ingin kejadian beberapa waktu lalu terulang lagi. Kita harus bisa menyelamatkan Albert dan Leona untuk kali ini, Liana.” “Iya, Edward, aku yakin. Aku juga berharap seperti itu. Kamu yakin dan percaya sama aku, ya, ini tempat yang sebenarnya kita tuju.” Mereka saling mengangguk, memberi tanda mengiyakan atas beberapa ungkapan satu sama lain. Edward berjalan lebih dulu, setelah usai memarkirkan boatnya di kawasan tersebut. Sementara di belakangnya, Liana juga mengikuti pelan-pelan seraya tidak berhenti menatap segala arah, untuk berjaga-jaga dari hal yang tidak diinginkan. “Liana, ingat pesanku! Hati-hati dan terus berjaga-jaga. Mereka licik, bisa saja ada serangan yang tiba-tiba spontan dan bisa menghabisi nyawa kita sekejap mata.” “Iya, Edward, aku ingat itu. Kamu juga jangan pernah lalai, dan terus perhatikan setiap arah dari sudut-sudut tempat ini. Aku yang sudah paham benar bagaimana Penculik sewaan  sebenarnya. Mereka ternyata memang memiliki taktik yang begitu rapi untuk mengecoh musuhnya.” Saling beradu punggung, sesekali mereka juga tidak kalah untuk sama-sama menghadap ke depan. Edward yang berdiri dan jalan di paling depan menjadi kompas dan arah Liana untuk mengikutinya. Pulau yang tidak terlalu luas ini dari segi pandangan memang mirip dengan yang ada di video sebelumnya. Dari mulai warna pasir dan bagian-bagian tertentu, begitu terlihat sama dengan yang Penculik sewaan  kunjungi untuk beraktivitas di dalam rekaman itu. Jelas, kali ini tidak ada lagi kesalahan. Berbalik badan dan memandang ke tengah laut lepas, Liana dibuat terbelalak dengan keadaan kapal yang sebelumnya mereka pijak tadi bergerak sendiri. Kapal itu seperti perlahan menjauh dari tempat semula, dan bergerak sangat cepat. Pasti ada awak kapal yang mengendalikan laju tranportasi air tersebut. “Edward, lihatlah! Kapal tadi bergerak sendiri. Mau ke mana dia? Ah, sial!” Liana berdecak geram. Dia mengecapkan mulut kemudian berkacak pinggang. “Entah, aku juga tidak tahu, Liana. Sepertinya ada nahkoda di dalam sana, dan mungkin ini juga siasat Penculik sewaan  untuk kembali menipu kita. Bagaimana?” Edward memasang wajah putus asa. Pria itu juga mengerutkan dahi kemudian mengacak rambutnya beberapa kali. “Edward, kamu bilang kita harus yakin, ‘kan? Sudah, yakin saja ini hanya kebetulan. Kita tetap lanjutkan perjalanan, sampai berhasil menemukan keberadaan orang yang kita tuju. Bisa jadi, apa yang kita pikirkan malah bukan begitu kenyataannya. Ingat! Penculik sewaan  bukanlah sekelompok orang yang berakal rendah. Mereka lebih paham cara mengelabui lawannya, itu pasti.” Edward yang sebelumnya memasang mimik wajah bermuram durja, seketika menghela napas panjang kemudian tersenyum hangat ke arah wajah Liana. Keduanya saling tersenyum dan kembali melepaskan senyum kecil itu menjadi serius kembali. “Ayo, lebih cepat! Tapi jangan lupa tetap berhati-hati. Kita harus lebih licik dari mereka,” bisik Liana di telinga kanan Edward. Sedikit mempercepat langkahnya dan seakan tidak lagi tertatih-tatih, kedua pasangan teman itu melirik segala arah menggunakan sudut matanya. Edward sudah persis seperti Intel yang memerhatikan gelagat alam dengan teliti. Liana yang ikut berjalan di belakang, juga sesekali memutar badan dan memindai setiap sudut-sudut tempat. “Gimana? Aman?” “Aman. Belum ada tanda-tanda jebakan atau serangan bahaya sejauh ini. Tapi, kok, belum ada terlihat jejak atau bukti, ya?” Liana bertanya-tanya kemudian. “Sabar, ini masih awal. Ada beberapa meter lagi untuk mengelilingi pulau ini. Walaupun dikata kecil, Pulau Karibia juga memiliki luas yang tidak mudah dijangkau manusia. Ayo, pelan-pelan!” Hendak memastikan kapal itu benar-benar berjalan, Liana kembali berbalik badan dan memalingkan wajahnya ke arah tengah laut. Dilihatnya sembari menyipit, tidak ada lagi keberadaan kapal besar yang tadi sempat ada di tempat itu. Benarkah Penculik sewaan  yang menahkodai? Lantas, ke mana perginya kapal itu? “Liana, ayo cepat! Jangan banyak lengah, banyak mata-mata yang bisa mencelakakan kita.” Awalnya gelagapan, wanita itu kembali menghadapkan pandangannya ke arah Edward. “Ma-maaf, iya, kali ini aku benar-benar serius.” Sampai suatu waktu, mereka berdua mendapati satu jejak tertinggal. Pasir yang berantakan dan seperti bekas ada seseorang yang bermain di sini. Ada tertinggal juga ikat rambut warna pink yang tergeletak di atas pasir. Melihat benda itu, Edward perlahan-lahan meraihnya lantas berkata, “Liana, ini apa? Jangan-jangan, ini milik salah satu personil Penculik sewaan .” “Nah, bisa jadi, Edward! Bawa ke mari, biar aku yang pegang. Siapa tahu ada petunjuk besar dari hal sekecil ini,” ungkap Liana seraya menyambar benda itu dari tangan pria di depannya. Dia juga memerhatikan dengan saksama, ikat rambut yang sekarang sudah berpindah di genggamannya. “Kan, benar. Ini ikat rambut mereka. Kalau tidak salah lihat, ini milik Bishop, yang sempat terlihat pada vide tadi, di kapal besar sebelumnya.” Liana beralih tatapan mata ke wajah Edward, wanita itu terlihat serius memandang ekspresi laki-laki di hadapan. “Iya, kalau ini aku juga ingat, Liana. Bishop, selaku orang yang terlibat dalam kelompok Penculik sewaan  memang ada menggunakan ini pada videonya. Ta-tapi, kenapa benda ini bisa ada di sini? Memang tidak sengaja, atau ini hanya settingan saja?” Edward menduga penuh ketajaman. Dia juga memejamkan mata kemudian menggeleng kecil. “Lanjut sekarang, kuyakin ada banyak bukti di tempat berikutnya. Ini pertanda, Liana.” Sejurus Liana mengangguk cepat. Berjalan beberapa meter mengarungi setiap sudut Pulau, Edward dan Liana berulang kali dibuat terbelalak melihat beberapa penemuan yang ada. Benda-benda kecil maupun besar bekas peninggalan seseorang yang memang sengaja datang ke Pulau ini ditemukan dalam keadaan utuh dan masih bagus. Jika berpikir dari logika, hanya baru-baru saja seseorang datang ke mari, sebelum kedua manusia ini menapak di sini. “Edward, ada kejanggalan. Kamu mikir, tidak, kalau dari tadi banyak sekali hal-hal aneh? Yang jadi pertanyaan, sebenarnya apa maksudnya, sih? Kita mau disuruh apa untuk kejadian ini?” Liana menghela napas. Gadis itu terlihat lelah menghadapi masalah yang menimpa. “Sabar. Semoga saja ini bukan jebakan, ya. Karena buktinya tidak ada serangan apa pun dari tadi. Entah kalau—“ Belum selesai berbicara, tiba-tiba bunyi ledakan terdengar hebat. Sigap Edward langsung menggenggam tangan Liana dan membawa wanita di dekatnya berlari sejauh mungkin. “Astaga. Kan, dugaan ini benar. Awal permainan kembali dimulai. Serangan pertama sudah terlihat jelas. Persis seperti kejadian di kapal tadi. Yakin, ini pasti siasat yang sama untuk membuat kita bingung.” Edward menatap lekat wajah Liana. Liana yang menjadi lawan bicara, menengadah kepala ke arah langit. “Ah, sial! Jika sebelumnya di sana kita selamat dan bisa menghindar, apa mungkin kali ini akan berhasil juga? Aku takut, Edward, kita mati secara tidak wajar di tempat seperti ini.” Ucapan lirih dari bibir wanita itu membuat Edward menggeleng frustrasi. “Tidak! Kita pasti bisa selamat, Liana. Albert dan Leona akan kembali dan kita berkumpul lagi. Yakin, Liana, semua ada jalan keluarnya.” Edward kembali menggenggam tangan Liana erat-erat. Dia juga mengusap puncak kepala wanita tersebut penuh kelembutan. Baru saja hendak melangkah, bunyi ledakan, kemudian disusul tembakan keras yang mengeluarkan peluru itu membuat keduanya harus bisa cekatan bergerak. Edward yang sangat peka terhadap serangan, sontak mendorong Liana sampai terjatuh ke pasir. Wanita itu berteriak kecil sebelum akhirnya jatuh. “Liana, maafkan aku! Baru saja peluru kecil yang bisa menembus tulang kita, mengarah liar. Ada CCTV berupa mata seseorang yang mengintai kita dati sini.” Edward berlari kecil ke arah wanita itu. Dia juga menyandarkan lututnya pada bumi, kemudian membantu Liana untuk beranjak dari posisinya yang terduduk di pasir. “Kamu tidak apa-apa, kan? Bilang kalau sakit, biar aku yang menjaga-jaga. Ayo, naik ke gendonganku. Kamu pasti lelah, ‘kan?” Edward mengarahkan tangannya ke arah Liana, mencoba membantu wanita itu bangun. “Tidak, Edward, aku baik-baik saja. Lagi pula kamu juga lelah, aku tahu itu. Ayo, kita lanjutkan perjalanan.” Beranjak perlahan dengan bantuan Edward, Liana terlihat meringis. Wanita itu memegangi pinggang kemudian menyeka keringat yang mengembun di dahi. Dia melanjutkan langkahnya dengan sedikit tertatih-tatih. “Maafkan aku, ya, v. Seharusnya kamu tidak ikut andil dalam pencarian ini. Bagaimanapun seorang wanita tetap lemah fisiknya. Aku tidak tega melihatmu kelelahan dan merasakan sakit seperti ini.” Masih berjalan beriringan, Edward sesekali melirik ke arah Liana yang ada di belakang. Pria itu memasang banyak mata untuk mengawasi dan menjaga-jaga. “Ah, bukan seperti itu. Aku malah tidak akan bisa tenang andai pencarian ini tanpaku. Albert dan Leona juga temanku, tidak semudah itu aku berdiam diri di rumah dan menyerahkan semuanya kepada orang lain. Di sini kita saling menjaga dan melindungi, siapa tahu memang kita membutuhkan satu sama lain, ‘kan?” Berbincang tipis-tipis, ledakan susulan terdengar lagi. Berhasil menghindar untuk beberapa kali, tetapi kali ini jebakan berbeda ada di depan sana. “Aw!” teriak Liana spontan. Sebuah lubang yang dalamnya hanya selutut menjadi sarang Liana untuk terjatuh ke dalamnya. Wanita itu meringis sebelum akhirnya berteriak kesakitan. “Edward, aku tidak kuat lagi. Sa-kit ....” Suaranya pun terdengar putus-putus. “Astaga. Liana, kamu harus bertahan. Cepat naik ke gendonganku, kita berjalan sama-sama. Kamu benar-benar terseleo serius, ini!” entakan suara Edward tatkala melihat lebam di kaki Liana begitu terdengar panik. Laki-laki tersebut memandangi kemudian meraih kaki Liana penuh kelembutan. “tahan sakit, ya,” timpalnya lagi. Mengangguk kecil, Liana menggigiti bibirnya. Dia menahan rasa sakit yang terasa amat mengganggu langkahnya untuk berjalan. “Aw! Sakit, Edward,” ucap Liana seraya meringis. Beberapa kali dipijat oleh Edward, Liana menetralkan napasnya. Dia mencoba bangkit dan berdiri sendiri. Namun, belum sempat melangkah, tetapi langkahnya sudah terhenti dan jatuh berulang kali. “Sudahlah, Liana, jangan keras kepala! Ayo aku gendong, dan kita cepat sampai ke tempat yang kita tuju. Aku percaya, Albert dan Leona sudah menunggu di sana, berharap pertolongan dari kita.” Terdiam sejenak, Liana menuruti tawaran Edward. Dia mengambil ancang-ancang untuk naik ke pundak laki-laki di depannya, kemudian dengan cepat posisinya sudah berada pada gendongan Edward. “Kamu lebih aman, dan kita akan melangkah sama-sama. Pegangan yang kuat, karena kemungkinan banyak jebakan di tempat-tempat seterusnya.” Edward berjalan gesit setiap menapak di atas pasir-pasir yang membentang luas pada Pulau ini. Jika kira-kira ada yang terlihat aneh dan penuh kejanggalan, Edward tidak segan-segan untuk melompatinya bahkan tidak melewati sama sekali. Ada jalan lain yang lebih aman di sana dan bisa dilalui mereka. Walaupun merasa sedikit keberatan, tetapi Edward cukup sosok yang kuat. Dia menahan rasa itu dan terus bergerak cepat. Bahkan wajahnya yang sudah memerah tidak dipikirkan lagi. Terpenting bisa cepat menemukan temannya dan kembali pulang, itu tujuan utama. Dari kejauhan terlihat ada seseorang yang berdiri sejajar, Edward tersenyum semringah. Laki-laki itu menghela napas yang kedengaran tersengal-sengal, sampai pada akhirnya dia bisa tiba di tempat dan titik terakhir. Sebelum berkacak pinggang, Edward sempat menurunkan Liana dari gendongannya, sesuai permintaan wanita itu sendiri. “Oh, jadi ini akhir dari siasat kalian? Bagus, tetapi terlalu pasaran,” ungkap Edward. Ucapannya berunsur menyinggung tajam. “Iya, aku juga berpikir akan ada kejutan yang terlihat berbeda. Nyatanya Penculik sewaan  hanya sekelompok orang yang bermental lemah? Memangnya kalian akan mengaku kalah jika berhadapan dengan kami tanpa jebakan?” sambung Liana yang tidak kedengaran kalah tajam. “Hey, bilang saja kalian hampir mati ‘kan? Ngaku aja, jangan malu!” Wanita yang bernama Rook menjawab dengan senyum miring mendarat di lekungan bibirnya. “Nah, benar. Masih untung kami tidak membunuh kalian, kalau tidak mungkin tubuh kalian ini sudah hancur terkena ledakan bom yang kami pasang setiap tempat.” Knight, selaku anggota Penculik sewaan  ikut menambahkan. “Jaga ucapanmu! Bukan kalian yang berbaik hati, tetapi cara kami untuk menghindari serangan musuh licik seperti kalian cukup banyak pengalaman.” Edward menjawab lagi. “Banyak omong! Mau kami ledakan kalian di sini? Manusia tidak sadar diri, cuih!” Rook yang memang berwatak sadis mengancam kedua orang di hadapan dengan ekspresi mendelik. “Sudah, Anda juga jangan ancaman! Sekarang, di mana Albert dan Leona? Dia tidak sepantasnya berada di sisi kalian, dan ujung-ujungnya akan menjadi pengikut Penculik sewaan , kelompok iblis!” Liana berkacak pinggang. “Ha-ha-ha! Albert dan Leona sudah pergi jauh. Dia tidak akan bisa kalian temukan lagi, bahkan untuk selama-lamanya.” Knight menjawab pertanyaan Liana. “Tidak mungkin! Kalian banyak tipu daya. Mana mungkin secepat itu Albert dan Leona pergi dari sini. Bukannya kalian akan ikut ke manapun pemimpin kalian pergi? Di mana di sekarang? Aku ingin berurusan dengan manusia pengecut seperti dia,” ujar Edward sembari tersenyum miring. “Untuk apa kau mencari Bos kami? Bos Queen sudah pergi membawa teman kalian. Mereka akan tiba lebih dulu, dan kami akan segera menyusul, setelah urusan dengan manusia-manusia lemah seperti kalian usai.” Rook menjawab lagi. “Ah, tidak mungkin! Pasti Bos kalian ada di sini, ‘kan? Katakan!” bentak Liana setelahnya. Melihat ada sesuatu di tangan Knight, Edward memiliki inisiatif lebih. Dia bergerak cepat dan merampas benda di tangan anggota Penculik sewaan  tersebut secara paksa. “Ah, aku mendapatkannya!” Sebuah alat penyadap lokasi, terlihat nyata ada di genggaman laki-laki itu. Menatap tajam ke arah dua wajah di depannya, Edward memandang sadis. “Bodoh sekali, begini saja kalian lengah?” Menarik tangan Liana kemudian berlari kencang, Knight dan Rook dari arah belakang mengeluarkan serangan-serangan tajam. Keduanya memberi bom ledakan dan tembakan ke arah sang musuh di depannya yang terus berlari tanpa henti. Walaupun terpincang-pincang, Liana menolak tawaran Edward untuk menggendongnya. Sekuat upaya mereka menghindar, sampai pada akhirnya satu tahap lagi untuk menyelamatkan Albert dan Leona—temannya—sudah terlihat di ujung mata.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN