Donor Darah

1606 Kata
2 tahun kemudian Ervin berlari cepat menuju salah satu gedung universitas. Sesekali ia menoleh jam yang melingkar di tangannya untuk memastikan dia tidak terlambat. Tepat saat ia membuka pintu kelas dosen pengajar baru saja tiba sehingga ia dipersilakan untuk ikut pelajaran. Menjadi mahasiswa semester empat membuat Ervin cukup kewalahan. Apalagi ia harus mempertahankan beasiswa berprestasi dari kampus lalu ditambah bekerja sampingan di sebuah restaurant setelah kelas berakhir. Ervin harus pandai mengatur waktu agar tidak keteteran. “Lo baru bangun?” tanya Isya saat Ervin membuka bukunya. “Enggak, tadi aku lama nyari kunci motor. Makanya hampir telat,” kata Ervin pada temannya. Tatapan Ervin kini tertuju pada papan tulis yang berisi coretan tinta hitam. Berbagai rumus tertulis di sana dan Ervin selalu mencatat bagian pentingnya saja. Dua jam terlampaui sudah. Ervin bergegas membereskan buku yang berserakan di atas meja. Ia berjalan cepat menuju parkiran. “Ervin tunggu,” panggil Isya. “Ada apa?” Ervin berbalik menatap temannya. “Ini.” Isya memberikan sepasang sarung tangan berwarna hitam pada Ervin. “Udara malam sekarang lebih dingin. Lo sering pulang malam, kan?” Isya menunduk menatap Ervin malu-malu. “Terima kasih. Aku bayar nanti setelah gajian. Sampai jumpa minggu depan.” Ervin berlari meninggalkan Isya yang terlihat kecewa. “Padahal gue ngasinya ikhlas, gak perlu dibayar,” gumam Isya sebelum pergi. *** Beruntung hari ini hanya satu mata kuliah sehingga Ervin bisa bekerja lebih cepat dan pulang lebih awal dari biasanya. Sampai di sebuah restaurant Ervin segera memakai apron. Dengan langkah lebarnya ia pergi ke kasir mengambil captain order dan pulpen. Keadaan restaurant sore ini cukup ramai membuat Ervin dan teman kerja lainnya kewalahan. Malam menjelang, bukannya sepi restaurant semakin ramai. Ervin dengan cekatan membersihkan meja makan setelah tamu pergi dan men-setting kembali meja itu untuk tamu baru. Rasa lelah tidak membuatnya mengeluh. “Satu Strawbery milkshake dan Caesar salad,” ujarnya membaca pesanan. Ervin meletakkan masing-masing satu lembar kertas yang berbeda warna di atas meja bar dan meja dapur. Ervin menatap jam dinding. Setengah jam lagi shift-nya akan berakhir dan Ervin bisa pulang ke rumah. Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Shift-nya sudah berakhir membuat Ervin sehingga Ervin bisa bersantai. Tempat duduk di loker terasa menyenangkan untuk Ervin. Setelah delapan jam mundar-mandir melayani tamu. Ervin bergegas keluar dari ruang loker karyawan untuk segera pulang. Saat Ervin melewati dapur terdengar suara bosnya yang marah-marah. Ia pun mengurungkan niat untuk pergi. “Saya sudah katakan pada wanita itu kalau toko di aplikasi online sedang gangguan tapi dia ngotot ingin beli makanan di sini. Heran kenapa dia bisa tahu telepon restaurant,” ujar bosnya sambil berkacak pinggang. “Terus bagaimana pesanannya? Siapa yang akan mengantarnya?” “Terpaksa saya harus cari ojek online untuk mengantarnya. Dia bilang akan membayar berapa pun ongkos kirimnya,” ujar pria itu. Ervin bergegas mendekati bosnya. “Apa aku boleh mengirimnya, Bos?” tanya Ervin. “Tapi waktu kerjamu sudah habis.” “Tidak masalah. Aku akan mengantarnya.” Pria bernama Kumar itu pun mengangguk, mengizinkan Ervin mengantarkan makanannya. “Nah ini baru karyawan. Besok kamu saya naikkan.” “Naik gaji, Bos?” Mata Ervin berbinar berharap apa yang ia ucapkan terjadi. “Bukan, naik ke lantai dua. Besok giliran kamu yang handel di atas.” Kumar menepuk pundak Ervin sebelum pergi. Ervin menghembuskan napas dalam-dalam lalu duduk memainkan ponselnya sambil menunggu pesanan. Setelah menunggu kurang lebih dua puluh menit akhirnya pesanan itu selesai dibuat. Tertera alamat sebuah rumah sakit yang ditempel pada paper bag. Ervin bergegas pergi sebelum makanannya menjadi dingin. *** “Terima kasih,” ucap Ervin saat menerima uang. Rezeki nomplok untuk Ervin mala mini karena mengantar makanan pada orang kaya yang dermawan. Ongkos kirim yang ia dapat cukup untuk uang sakunya selama dua hari. Bahkan ongkos kirimnya melebihi harga makanan yang dipesan. Bukan hanya karena pelayanan yang cepat dan ramah tapi wajah tampannya pun menyumbang berkah. Selain dipuji Ervin bahkan dimintai foto bersama. Ervin berjalan santai di lorong rumah sakit. Walau pun sudah malam tapi rumah sakit tidak pernah sepi. Ada saja keluarga pasien yang berkunjung. “Tolong carikan darah untuk suami saya, Dok. Walau pun mahal saya akan membayarnya. Saya mohon sama dokter.” Ervin menghentikan langkahnya saat mendengar seorang wanita usia 40 tahunan menangis bersujud di hadapan seorang dokter. Meski dokter itu sudah mengatakan akan mengusahakan secepat mungkin namun tidak membuat wanita itu kunjung berdiri. Ervin teringat saat dulu ayahnya sekarat kehabisan darah. Saat itu stok darah di rumah sakit terbatas dan Ervin tidak bisa mendonorkan darahnya karena usia yang belum mencukupi. Melihat seorang ibu yang menangis sesenggukan membuat Ervin iba. Kakinya secara otomatis bergerak mendekat. Ia berjalan ke arah petugas administrasi yang menyambutnya hangat. “Permisi, saya mau donor darah apakah bisa?” tanya Ervin pada seorang wanita cantik yang berdiri di belakang meja. Seketika petugas administrasi memanggil dokter itu. “Apa saya boleh tahu golongan darahmu?” tanya dokter pria itu saat menatap Ervin. “AB,” jawab Ervin singkat. Dokter menyalami tangan Ervin erat-erat seakan Ervin adalah pahlawan penyelamat kota. Wanita paruh baya yang tadi menangis sesenggukan kini menangis lebih kencang dari sebelumnya. Ia berdiri memeluk Ervin kuat. Wanita cantik itu tidak henti mengucapkan terima kasih. “Saya akan melakukan pengecekan terlebih dahulu sebelum mengambil darahmu. Mungkin malam ini kamu akan menginap di rumah sakit,” ujar dokter. “Tidak masalah saya siap.” Ervin mengikuti dokter ke sebuah ruangan. Wanita cantik yang ada di sampingnya pun terus mengikuti ke mana pun Ervin pergi. Rasanya sedikit risih saat dikawal seperti itu apalagi saat Ervin ingin ke toilet. “Tante kenapa ikut?” tanya Ervin berusaha meredam emosinya. “Kamu gak akan kabur, kan?” tanya wanita itu polos. “Aku mau ke toilet. Buang air kecil. Tante tunggu di ruang dokter saja nanti aku menyusul. Tenang aku tidak akan kabur,” ujar Ervin. Wanita itu mengangguk lalu pergi meninggalkan Ervin. Setelah selesai melakukan ritual di toilet, Ervin segera mencuci tangannya dan keluar. Ervin terlonjak kaget melihat dua pria berbadan kekar berdiri menghadang pintu. Ervin ketakutan saat kedua pria itu mendekatinya. “Ma… mau apa kalian?” tanya Ervin gugup. “Mari ikut kami.” “Hei, turunkan aku. Cepat turunkan. Aku bisa jalan sendiri,” teriak Ervin. Satu pria membopong tubuh Ervin seperti memikul karung beras menuju ruangan dokter. Dengan pelan pria itu menidurkan Ervin di ranjang pasien. Dokter pun menghampiri Ervin yang tidur terlentang. “Kita mulai ya,” kata dokter sambil membuka jarum suntik. Ervin memejamkan matanya saat dokter mengambil setetes demi setetes darahnya. Semoga ini menjadi pahala baik, batin Ervin. *** Setelah malam itu Ervin sedikit takut ke rumah sakit. Tapi ia tidak menyesal bisa membantu orang yang kekurangan darah. Hanya saja selama dua hari ia harus rajin minum obat yang diresepkan dokter. Seminggu lamanya Ervin tidak mendengar kabar orang yang telah ditolongnya. Bukannya bermaksud meminta imbalan tapi Ervin hanya ingin tahu kalau darah yang ia berikan bisa menyelamatkan orang itu. Jam pelajaran kedua telah berakhir pukul dua sore. Ervin punya waktu satu jam lagi untuk beristirahat sebelum mulai bekerja di restaurant. Saat Ervin duduk di kursi halaman universitas, Isya-temannya- datang menghampiri. Isya memberikan sebuah buku pada Ervin. Wanita berambut pendek sebahu itu pun duduk di sampingnya. “Apa ini?” tanya Ervin menerima buku tipis bersampul merah muda. “Gue kasi lo gratis buku tentang cara menakhlukkan hati wanita. Jangan kelamaan jomblo Vin, keburu karatan,” ledek Isya. “Cih, sok peduli,” sahut Ervin. “Gue emang peduli sama lo tapi lo-nya saja yang gak peka. Sudah, gue cabut dulu mau jalan-jalan sama Bimo.” Ervin menekuk kedua alisnya saat Isya menyebut nama Bimo. Pria berbadan kurus tinggi yang sejak dulu mengejar Isya. Bisa dibilang Bimo tergila-gila sama Isya. Istilahnya bucin. “Kalian berdua jadian? Sejak kapan?” tanya Ervin penasaran. Pasalnya, Isya sudah ribuan kali menolak Bimo, kalau tiba-tiba mereka pacaran itu artinya ada sesuatu yang terjadi di antara mereka yang membuat Isya mengubah pikirannya. “Dari kemarin. Karena lo gak pernah balas perasaan gue. Jadi dari pada gue nungguin lo sampai tua lebih baik gue terima cinta dari orang yang suka sama gue. Puas?” Ervin mengulum tawanya. “Jadi gara-gara sakit hati?” Isya menatap Ervin kesal. Ia mencubit pipi Ervin sebelum pergi meninggalkan temannya itu sendirian. Ervin menatap Isya yang berjalan menghampiri Bimo. Isya yang memiliki tubuh pendek harus mendongkak menatap Bimo yang lebih tinggi darinya. “Mirip bapak sama anak,” gumam Ervin lalu beranjak ke parkiran. *** Tamu restaurant cukup sepi sore ini. Tidak seperti biasanya yang harus mengantri tempat duduk. Ervin bisa lebih santai dari biasanya. Pekerjaan setiap tamu sepi adalah membersihkan kaca restaurant yang jarang mereka jamah setiap hari. Pintu restaurant terbuka lebar. Ervin segera meninggalkan pekerjaan untuk menyambut tamu. Ia terdiam melihat dua pria berbadan kekar yang tidak asing dalam ingatannya. Pria yang ia lihat di rumah sakit beberapa hari yang lalu. Kedua pria itu langsung menyeret Ervin keluar dari restaurant tanpa mengucapkan sepatah kata sebagai salam pembuka. “Lepasin. Kalian ini siapa? Seenaknya saja main tarik anak orang,” kata Ervin namun kedua pria itu tidak mengubrisnya. Tubuh Ervin di dorong masuk ke dalam mobil hitam yang terparkir di halaman restaurant. Mobil pun melesat meninggalkan restaurant membuat teman kerja Ervin kebingungan. “Ervin di culik?” tanya salah satu wanita yang berada di belakang meja kasir. Mereka terlihat santai menatap mobil hitam itu pergi. “Sepertinya iya,” sahut pria yang memakai apron sama seperti Ervin sambil menopang dagu di atas meja kasir. “Apa? Ervin di culik? Kita harus lapor polisi!” teriak Kumar saat mendengar percakapan anak buahnya. Seketika semua rekan kerja Ervin panik dan mereka lupa mencatat plat nomor mobil yang membawa rekan kerja mereka pergi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN