Serba Salah

748 Kata
Hari-hari pun berlalu. Risa mulai terbiasa dengan sikap bosnya, Evan, yang dingin dan kadang aneh. Sementara itu, Reno tak pernah absen menghubunginya. Setiap hari, pesan singkat dan panggilan masuk memenuhi layar ponsel Risa. Reno selalu menanyakan kabar, lalu lagi-lagi mengajaknya menikah. “Nanti ya, aku belum siap,” itulah jawaban yang selalu keluar dari bibir Risa. Suatu malam, suara Reno terdengar kesal lewat telepon. “Apa yang kamu pikirkan, sayang? Kenapa jawabannya selalu ‘belum siap’?” Risa mendesah panjang. “Aku belum mau punya anak. Aku juga masih ingin kerja, masih ingin main.” “Usia kamu sudah 25, sayang. Itu sudah cukup. Aku jamin semua keinginan kamu. Apa lagi yang kurang dari aku?” suara Reno terdengar tulus. Risa terdiam sejenak sebelum berbisik, “Kamu nggak kurang kok. Aku aja yang ribet.” “Nanti aku ke Bandung ya,” ujar Reno tiba-tiba. “Ngapain? Kita kan udah putus,” balas Risa ketus. “Ya Tuhan… sayang, jangan hukum aku kayak gini. Aku sayang kamu, Risa. Aku nggak bisa tanpa kamu. Pekerjaan aku jadi kacau,” suara Reno mulai parau. “Biarin aku sendiri dulu, ya,” ucap Risa. “Ngga bisa, Risa. Nanti kamu diambil orang,” suara Reno meninggi. “Nggak akan. Aku juga nggak bisa tanpa kamu… cuma aku masih kesel. Masih sakit lihat kamu disentuh orang lain,” Risa akhirnya meledak dengan nada getir. “Ya Allah, Sa… aku juga nggak tahu bakal gitu. Itu bukan salah aku. Pliss, maafkan aku ya sayang. Aku akan datang jemput kamu,” pinta Reno, hampir memohon. “Aku kan di Bandung. Rumahnya… mau dijemput kemana?” ucap Risa, kesal. “Iya, aku paham. Kita nikah ya, rumah aku sudah beres,” bujuk Reno. “Ngga tau ah! Kamu tuh nggak pernah peka. Kesel deh!” Risa marah-marah, lalu menutup telepon dengan kasar. Air matanya langsung jatuh. Ia menangis lagi. Tari yang baru pulang mendengus kesal. “Lo nangis mulu, anjir.” “Kesel! Reno nggak pernah peka!” ucap Risa sambil merengek. “Dia mau ke sini, sama lo nggak boleh. Mau lo apa sih?” Tari menatapnya jengkel. “Ya dia datang dong! Jangan nunggu gue iya-in. Ih, Reno jahat!” Risa uring-uringan. “Yee… parah banget ini anak,” sahut Tari sambil geleng-geleng kepala, malas berdebat lagi. Keesokan harinya, Risa masuk kerja dengan mata sembab. Ia berusaha menutupinya dengan make up tipis dan selalu mengenakan parfum pemberian Reno—aroma yang sudah menjadi ciri khasnya. Seperti biasa, pukul sembilan Evan datang. Risa langsung mengikuti bosnya masuk ke ruangan. “Pak, jadwal…” ucap Risa, namun terpotong. Evan mengernyit, menatapnya tajam. “Sebentar. Kamu kok pakai parfum beda-beda tiap hari, tapi wanginya sama dengan punya saya. Kok bisa?” Risa tertegun. “Emang iya gitu, Pak?” tanyanya balik. “Saya nanya. Kenapa parfum kamu sama kayak saya? Itu parfum mahal, loh. Nggak mungkin kamu mampu beli,” ucap Evan ketus. “Emang saya nggak beli, Pak. Itu dikasih,” jawab Risa sambil menatap tab jadwalnya, berusaha tetap profesional. Evan diam. Matanya menyipit penuh curiga. Jangan-jangan dia simpanan orang kaya lagi… atau… bisa dipakai? pikirnya sinis. “Itu, Pak, jadwalnya,” ujar Risa sambil tersenyum, mencoba memecah ketegangan. “Apa? Saya nggak denger,” sahut Evan, pikirannya jelas tidak fokus. “Mikirin apa sih, Pak?” Risa menatapnya sebentar, lalu kembali ke tab. Ia membacakan ulang agenda dengan tenang. “Ok. Ikut saya ke lapangan, survey lokasi pembangunan,” perintah Evan tegas. “Baik, Pak.” Risa segera bangkit. Mereka pergi ke area pembangunan hotel. Udara panas menyengat, debu beterbangan. “Catat semua yang saya katakan,” perintah Evan dingin. “Iya, Pak,” jawab Risa sambil menyiapkan buku dan pulpen. Evan mulai berkeliling, menjelaskan detail pembangunan yang masih berjalan 40%. Risa menulis cepat setiap instruksi yang keluar dari mulut bosnya. Setelah selesai, mereka keluar dari bangunan. Pipi Risa merah kepanasan, keringatnya bercucuran. “Ikut meeting di hotel,” ucap Evan singkat. “Baik, Pak,” sahut Risa, buru-buru masuk ke mobil. Sore itu, mereka tiba di ruang rapat hotel. Semua peserta sudah berkumpul. Risa dan Evan masuk bersamaan, lalu meeting dimulai. Risa mencatat semua materi dengan teliti. Setelah satu jam, rapat usai. Evan menoleh pada Risa yang tampak pucat. “Kamu belum makan, ya?” tanyanya dingin. “Belum, Pak,” jawab Risa jujur. “Ikut saya. Tapi jangan bersuara. Saya ada pertemuan,” ujar Evan sambil melangkah keluar. Risa terdiam, lalu menurut. Ia berjalan di belakang Evan, mencoba menahan perutnya yang kosong.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN