Part 2 Pinangan Nino

1424 Kata
"Hah? Apa Yon? Aku gak salah dengar nih? Laki-laki kemarin yang pakai kemeja biru dongker itu mantan calon suaminya Mbak Rara?" Tanyaku dengan heboh pada Dion. Dion mengangguk. "Iya, tapi entahlah. Sepertinya Mas Banyu menyesali keputusannya melepas Mbak Rara. Terlihat banget kok di matanya. Gak ikhlas gitu, Mbak Rara nikah sama Mas Indra. Salah dia sendiri sih, perempuan sesempurna Mbak Rara kok dilepas gitu aja. Sekarang baru deh nyesel." Ooo jadi namanya Banyu. Yaah, ternyata dia masa lalu Mbak Rara. Mundur teratur deh, walaupun sudah tak ada hubungan lagi di antara keduanya, tapi benar kata Dion, lelaki manly itu masih sangat mencintai Mbak Rara. Terlihat banget kok di matanya yang tajam. Padahal, mungkin aku bisa menggantikan posisi Mbak Rara loh. Di keluarga besar kami, aku sering dibilang mirip Mbak Rara. Hanya saja kulit Mbak Rara sawo matang, sedangkan aku kuning. Mbak Rara pendiam, aku cenderung berisik dan ramai. Mbak Rara pintar masak, bikin kue-kue dan semua kegiatan perempuan, sedangkan aku hanya bisa masak saja. Bikin kue, pernah belajar sih tapi lebih sering gagalnya daripada berhasil. Tapi kan itu bisa dipelajari. Laah tapi, kalau kaya gini terus mirip di mananya ya? Perasaan kok beda semua? Aku dan Mbak Rara beda tiga setengah tahun. Tapi Mbak Rara sungguh dewasa. Kata Abi dulu Mbak Rara pernah mengalami traumatic experience yang lumayan membuat stress, bahkan sampai harus berobat ke psikiater. Tapi Abi dan Umi tak pernah mau cerita kejadian tepatnya apa. Aku juga tidak mau bertanya lebih lanjut ke Mbak Rara. Itu privasinya, hak Mbak Rara untuk tetap menyimpan rahasia itu. Yang kuingat dulu Mbak Rara juga orangnya ramai, ceria, penuh senyum dan sangat suka menolong orang lain. Aku mengidolakannya, ya tentu saja, karena aku tidak punya saudara perempuan. Hubungan kami memang tidak terlalu dekat. Tapi kalau ada acara keluarga pastinya kami akan ke mana-mana berdua. Apalagi kami satu kota pas kuliah. Walau beda kampus. Karena aku di kampus yang di Ganesha sedangkan Mbak Rara di kampus yang ada di jalan Dipati Ukur. Lagipula Mbak Rara sedang menyusun skripsi saat aku masuk kuliah. Jadi gak sampai setahun kami bersama ada di Bandung. Pas ketemu lagi di Jakarta, Mbak Rara sungguh berubah. Jadi pendiam, tertutup dan penyendiri. Hanya seorang sahabatnya saja yang aku kenal. Lainnya enggak. Aku tak pernah berani menanyakan apa sebab pastinya. Karena kesibukan masing-masing, aku juga jarang main ke sini. Baru kali ini ke rumah Mbak Rara lagi setelah sekian lama, itu pun karena Mbak Rara menikah dengan Mas Indra. "Ran..., lebih baik buang anganmu yang ke Mas Banyu deh. Percaya sama aku, Mas Banyu udah mentok ama Mbak Rara. Cari cowok lain aja ya. Tuh si Nino kayanya coba cari perhatian kamu." Dion membuyarkan lamunanku. "Iiissh yang cowok putih itu? Hii..." Bahuku bergidik. "Kok hiii?" "Entahlah... not my type. Kamu tahu tipeku seperti apa kan, Yon?" "Yee... meneketehe. Kita kan gak pernah deket. Lagian emang kamu pernah pacaran? Bisa disambit tuh cowok ama Mas Alif, Mas Yusuf ama Iqbal. Besoknya tinggal nama saja tuh cowok!” "Hahaha naah itulaah... gimana mau tahu seleraku kalau tiap kali ada yang suka, besoknya udah didatengi ama Mas Alif, ama Mas Yusuf. Yaa pada kabur akhirnya." Jawabku miris. Hiks.. hiks.. "Yaah... terima nasib aja deh hehe. Pokoknya lupain Mas Banyu ya. Gak enak juga sama Mbak Rara kan?" Nasihat Dion padaku. Iya juga sih. "Kalau kamu memang suka sama Mas Banyu, gak papa lanjut aja, Ran." Sebuah suara yang lembut menginterupsi pembicaraanku dan Dion. Mbak Rara! Haduuh... gimana nih? Udah dari kapan Mbak Rara ada di situ? Dengar pembicaraan kami dong? Uuuh bodoh banget sih aku ini. "Eh Mbak Rara..." "Antara aku dan Mas Banyu, sudah tidak ada apa-apa lagi. Jadi kalau kalian saling suka, yaa kenapa tidak lanjut aja?" Aku lihat ada sorot mata sedih saat Mbak Rara berkata seperti itu. Sorot mata yang sama dengan Mas Banyu, saat melihat Mbak Rara dibopong Mas Indra ke kamar kemarin. Sorot mata terluka! Mmmm… "Iih... Mbak Rara, mana mau Mas Banyu sama Rania." Dion berkata. "Emang aku kenapa?" Kataku, nyolot. Nih Dion kalau ngomong ya... kadang suka bikin emosi deh. "Hahaha... kamu sih gak papa, Ran, tapi kan tadi udah kubilang kalau Mas Banyu tuh udah mentok ke Mbak Rara... upss... maaf mbaaak..." "Kalau jodoh mah, gak akan ke mana kok, Ran. Gimana pun jalannya, Insya Allah akan tetap bersatu. Yang kamu perlu lakukan, ya berdoa dan berusaha." Kata Mbak Rara sambil beranjak meninggalkan kami, menuju ke dapur. Tuuuh kan, walau secara umur kami cuma beda dikit, tapi emang Mbak Rara pikirannya dewasa banget ya? Aah aku semakin terpesona oleh Mbak Rara. Yaah, padahal jauh di sudut hatiku, aku sempat berharap pada Mas Banyu. Tapi lebih baik kukubur dalam-dalam deh harapan itu. ~~~ "Haaah, apa Mas? Sek sek bentar, kupingku masih berfungsi dengan baik kan?" Kataku sambil berpura menggosok kupingku yang tertutup jilbab. "Iyaa masih, Ran!" Jawab Mas Yusuf dengan tampang kesal. "Semalam Indra bilang, kalau Nino tuh mau seriusan sama kamu. Eeh pas kebetulan Mas lewat. Yaah mas tantangin aja deh, modal dia apa? Beraninya suka sama adik mas sing ayuuu deweee..." Aku langsung berlagak mual mendengar celotehan Mas Yusuf. Beda dari Mas Alif yang pendiam, Mas Yusuf malah rame, supel dan ramah. Sama sepertiku hehe. "Gimana gak ayu dewe? Wong adik perempuan juga cuma aku." Kataku kesal. "Eeh terus kata Mas Nino gimana?" "Hmm... hmm..." Mas Yusuf menaikturunkan alisnya. Tanda minta sesuatu. "Iyaa... ntar kalau udah gajian, aku traktir di Hanamasa." Jawabku. Mas Yusuf penggemar makanan all you can eat, salah satunya Hanamasa ini. "Naah gituu dong, adikku sayang." Pujinya. Ada maunya tuh! "Dia sih bengong, kayanya bingung mau jawab apa. Bukannya gak boleh kamu sama Nino, Ran. Tapi melihat track record-nya, as a player, Mas gak mau kamu nantinya malah cuma jadi korban keisengan dia aja. Makanya Mas juga gak berani bilang ke Abi sama Mas Alif. Yasalam deh bakalan Nino kalau mereka berdua tahu." Mas Yusuf berkata dengan nada serius, tumben. "Ooh... ya wis tho, gak papalah, haknya Nino untuk suka sama siapa aja kan Mas?" "Emang kamu gak suka ama Nino? Kemarin Mas lihat kamu kok kaya 'mentelengi' (=melihat penuh minat) Nino gitu?" "Yee... bukan ke Nino, Mas. Tapi ke... aah uwislah, ra usah dibahas." (=aah sudahlah, gak usah dibahas) Aku bangun dari dudukku, saat akan melangkah pergi, Mas Yusuf menyambung, "Mas bilang sama Nino, kalau dia memang benar-benar serius denganmu, dia harus menghilangkan semua kelakuan negatifnya. Kembali ke agama. Berpegang teguh pada agama. Menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Kalau dia sudah melakukan itu semua, silakan datang untuk melamar Rania." Kubalikkan badanku jadi menghadap ke Mas Yusuf, "Haah? Apa? Mas bilang gitu? Terus dia bilang apa?" Entah kenapa, aku jadi tertarik mendengar kelanjutannya. "Dia bilang, oke. Dia setuju. Dia minta diberi waktu beberapa bulan untuk membuktikan keseriusannya. Hanya saja dia juga minta agar kamu mau bersabar menunggunya." "Diih, kok gitu? Gak mau aah, kalau dia lama, dan ada yang melamarku, aku cocok, ya kenapa tidak?" Jawabku sambil berlalu. Loh bener kan begitu? Di keluargaku tidak ada pacaran, mengingat betapa protektifnya ayah dan ketiga saudara laki-lakiku, aku sih setuju saja. Aku yakin, mereka semua pasti ingin yang terbaik untukku. Tiga bulan sudah berlalu. Lelaki itu, Nino, sekarang sedang ada di ruang tamu rumahku. Dia memenuhi janjinya ke Mas Yusuf akan datang lagi setelah dia berubah menjadi lebih baik. Nekat juga sebenarnya dia. Semalam Mas Yusuf menelponku, bercerita bahwa Nino sudah berubah, menjadi lebih baik tentunya. Mas Yusuf ternyata diam-diam menjalin komunikasi intens dengan Nino. Pantas saja jadi lebih protektif lagi padaku. Masih teringat kalimat Mas Yusuf semalam, "Ran, mas tahu masa lalu Nino memang tidak dapat dibanggakan. Tapi yang penting, dia sudah berubah sekarang. Komitmennya untuk serius denganmu, dia penuhi. Tiga bulan ini, katakanlah, mas memang sering memata-matai dia. Dan pastinya Nino sungguh berusaha untuk bisa pantas menikahimu. Dia bilang, dia terinspirasi Indra, yang bahagia dengan Rara. Terserah kamu, mau menerima atau menolak Nino. Mas sudah bilang ke Abi dan Mas Alif. Kamu ditunggu di rumah, secepatnya pulang. Tiket pesawat sudah Mas pesan, kamu tinggal ke bandara." Perjalanan ke bandara, dan berisitirahat semalaman, membuatku memikirkan baik buruknya menerima Nino. Abi dan Mas Alif memang belum menyatakan iya secara eksplisit. Mas Alif sepertinya malah kurang setuju. Setelah diskusi dengan Abi, Umi dan Mas Alif, karena Mas Yusuf lebih banyak jadi pendengar, akhirnya aku memutuskan untuk menerima pinangan Nino. Cintakah aku padanya? Emm... kata Umi, cinta akan datang karena terbiasa. Yaah semoga begitu. Aku yakin Insya Allah kami akan bisa saling mencintai pada akhirnya. Toh yang dibutuhkan dalam pernikahan selain cinta adalah komitmen. Komitmen untuk menjaga itu semua. | | | Jakarta, 4 Mei 2019
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN