17 OKTOBER 2020
DIANDRA LOVIA SARADIKA
_______________________________
"KAMU tahu dari mana, kalau aku suka pecel?" Tanyaku kepada Javar yang membawakan sebungkus pecel untukku.
Javar tersenyum tipis, "dari Ayah kemarin, waktu aku kesini. Aku kira, kamu suka martabak. Jadinya aku bawa-in kemarin. Tahunya, kamu sukanya pecel. Makanya hari ini aku datang kesini khusus untuk bawa-in kamu pecel terenak versiku." Jawab Javar sambil memainkan ponselnya.
"Kamu enggak makan?"
"Kalau mau makan, kamu mau bagi makanannya sama aku?" Tanyanya yang kali ini menatapku. Aku bisa melihat wajahnya yang bersih dan sedikit ditumbuhi rambut halus di bawah hidung. Matanya hitam gelap dan senyumnya menawan. Kenapa aku baru sadar?
"Eh," aku langsung mengalihkan pandangan mataku darinya. Mikir apa aku tadi?
Javar tertawa karena melihat ekspresi wajahku yang menurutnya lucu atau terlihat bodoh, maybe. Aku tidak jadi bicara, memilih untuk memakan pecel ini. Benar sih kalau enak versi Javar, karena kenyataannya memang begitu. Suasana kembali hening, aku sibuk makan dan Javar sibuk dengan ponselnya. Katanya sedang mengurus proyeknya yang sempat mengalami kendala. Aku meletakkan piringku setelah selesai makan, membiarkan kami saling diam—walaupun banyak hal yang ingin aku tanyakan kepada Javar.
Jika diperhatikan dengan seksama, Javar adalah orang yang terlihat sangat serius ketika melakukan sesuatu. Terkadang aku tidak bisa melihat ekspresi seperti itu ketika dirinya bicara denganku. Biasanya, yang terlihat adalah wajah lucu karena menggodaku habis-habisan. Sekarang aku tahu, mengapa banyak perempuan yang suka padanya. Itu semua karena pesonanya yang tidak pernah aku sadari selama ini.
Aku buru-buru mengalihkan pandangan mataku darinya setelah Javar selesai bermain ponsel. Javar mengambil gelas berisi jus jeruk di atas meja, lalu meminumnya dengan buru-buru. Terkadang, aku merasa hatiku mulai menerimanya. Tetapi sebagian hatiku menolak karena masa lalu kami. Aku masih ingat alasanku menolaknya selama masa kuliah dulu, karena dia suka demo.
"Aku boleh tanya?" Ucap Javar yang menoleh ke arahku.
Aku diam, tidak menjawab. Toh, dia akan bertanya juga walaupun aku tidak mengijinkannya.
"Boleh dong!" Jawabnya sendiri yang ingin sekali aku tertawakan. Tetapi aku tetap mencoba untuk bertahan dalam diam.
Javar mengambil ponselnya dari dalam saku celananya dan mencari sesuatu di sana, "lihat deh, aku masih punya foto kamu waktu pertama kali datang OSPEK. Lucu enggak?"
Aku membulatkan mataku tidak percaya, bagaimana dia bisa mempunyai foto jadul seperti ini? Astaga, ternyata aku pernah punya wajah yang enggak banget seperti ini. Kenapa Javar bisa suka? Aku berusaha mengambil ponselnya, tetapi rupanya Javar terlalu cerdik untuk itu. Akhirnya aku menyerah saja, kalaupun foto di ponselnya aku hapus, dia pasti masih punya salinannya.
"Ya, kok nyerah begitu saja. Ambil dong handphone aku." Ucapnya yang malah menawarkan. Baru saja aku memujinya, sudah bertingkah aneh lagi dia.
"Mau tanya apaan tadi?" Tanyaku kepada Javar sebelum melebar kemana-mana.
Javar tersenyum lalu kembali memperlihatkan sebuah foto kepada-ku, "ini yang mau aku tanya sama kamu. Apa dulu aku kurang ganteng buat kamu?"
"Pertanyaan macam itu?" Ketusku karena mendengarkan pertanyaan Javar yang menurutku ngawur. Apalagi ada fotonya yang entah bagaimana ceritanya bisa depan-belakang denganku.
Javar tertawa karena mendengar protesku. Dia bahkan masih sempat untuk mencarikan foto lama yang ada hubungannya dengan masa lalu. Aku memang sebal padanya, tetapi ada rasa tenang dan nyaman ketika mendengar tawanya yang begitu lepas. Diam-diam aku memperhatikannya, bukan apa yang dia perlihatkan padaku. Ya Allah, apa ini yang namanya jodoh?
"Kenapa dulu kamu enggak suka aku, Lov?" Tanyanya kepada-ku dengan mengernyitkan dahinya penasaran.
Aku menatapnya, "sekarang pun sama. Aku enggak suka sama kamu."
Bukannya marah apalagi sakit hati, Javar kembali tertawa. Sejak dulu, sejak aku bertemu dengan Javar, aku selalu bertanya—apakah orang seperti Javar tidak pernah sakit hati kepada seseorang? Bahkan, dia masih begitu baik setelah apa yang aku lakukan padanya selama ini. Javar seperti memberikan aku gambaran, bahwa laki-laki baik masih ada di dunia ini.
"Kamu pernah jatuh cinta?" Tanya Javar yang terdengar cukup aneh di telingaku. Kali ini, nada suaranya terdengar sangat serius.
Aku mengangguk, setiap manusia pasti pernah jatuh cinta. Entah dia mengakuinya atau tidak. Tetapi cinta seperti bagian dari diri manusia. Jika punya hati, mungkin bisa merasakan cinta. Itu pandanganku saja, aku tidak memaksa siapapun untuk punya pendapat yang sama denganku. Setelah bertanya hal itu, Javar hanya diam, tidak melanjutkan pertanyaannya.
"Kamu enggak tanya lagi?" Pancingku kepada Javar.
Javar menggelengkan kepalanya dengan cepat, "mau tanya apa?"
"Ya apa, gitu! Biasanya kamu penasaran sama apapun. Cowok biasanya selalu tanya tentang masa lalu ceweknya," ucapku sok tahu. Mungkin karena terlalu banyak mendengar curhatan Ratih selama kuliah dulu.
Javar membetulkan duduknya agar lebih nyaman, lalu menatapku lagi.
"Kamu tahu, aku suka sama kamu sudah bertahun-tahun. Kalau kamu enggak jatuh cinta sama aku, artinya kamu pernah jatuh cinta sama orang lain. Jadi, aku memutuskan untuk enggak tahu siapa atau bertanya hal yang lainnya tentang kamu pernah jatuh cinta sama siapa. Aku hanya menghindari perasaan cemburu dan curiga sama kamu. Aku mau, kita sama-sama percaya. Aku mau, kita saling terbuka, walaupun satu atau dua hal akan kita rahasiakan satu sama lain karena untuk kebaikan. Dalam hubungan, kita harus saling mengerti. Terkadang, pasangan tidak menyampaikan sesuatu, bukan karena dia sengaja—tetapi untuk menjaga perasaan pasangannya. Bagiku, masa lalu adalah masa lalu."
"Alea, mantan-mantanku yang dulu, atau orang yang kamu cinta di masa lalu adalah sebuah pembelajaran. Mereka hanya memberikan kita ruang nyaman sebentar dan pada akhirnya sampailah kita di tahap ini. Kita berdua saling menemukan, aku menemukan kamu dan kamu menemukan aku. Kadang aku menyesal, Lovi."
Aku melihat Javar begitu tulus dalam bicara, bahkan semua kata-katanya terdengar sekali penyesalan di dalamnya.
"Menyesal karena apa?" Tanyaku akhirnya.
Javar tersenyum hambar, "menyesal karena aku pernah pacaran. Terlalu banyak aku mengumbar kata sayang, cinta, dear, dan lainnya—kepada perempuan-perempuan yang tidak berhak mendapatkannya. Aku malu setiap kali melihat kamu. Bahkan kamu bisa menjaga diri sampai sekarang, kamu tidak pernah sama sekali mencicipi nikmatnya pacaran. Aku merasa hina di depan Allah yang telah memberikan aku calon istri yang sangat sempurna."
Aku menggigit bibir bawahku, siapa yang tidak terenyuh mendengarkan setiap untaian kata yang Javar katakan. Walaupun dia seringkali menggombali aku, tetapi aku juga tahu jika saat ini, dia sedang serius. Aku pun hanya diam, tidak berani untuk berkomentar apapun atau menanggapi apa yang telah dia ucapkan.
"Kamu mau minta mahar apa dari aku?" Tanya Javar yang membuat jantungku berdetak lebih kencang. "Tapi jangan minta band Armada datang ke nikahan kita ya, Lov." Candanya yang sudah kembali seperti semula. Baru saja aku terbawa perasaan dengannya. Memang begitu karakter Javar, suka merusak suasana.
"Mau mahar apa?" Ulangnya.
"Aku enggak minta mahar yang aneh-aneh. Aku cuma minta sama kamu sebelum menikah," ucapku yang menatapnya.
Javar mengangguk, "apa?"
"Kalau kita sudah menikah, lalu kita menjalani kehidupan bersama selama bertahun-tahun, mungkin kamu atau aku akan merasa yang namanya bosan." Ucapku yang membuat Javar mengerutkan keningnya. "Nanti, kalau kamu mulai bosan sama aku, tolong kamu bilang sama aku. Kalau bisa, sebelum aku sadar kalau kamu bosan sama aku." Lanjutku.
"Maksudnya? Aku enggak akan bosan sama kamu, Lov." Jawabnya berusaha untuk meyakinkan.
Aku mengangguk, "iya, aku tahu! Ini 'kan misalnya."
"Hm, tapi kenapa gitu?" Tanya Javar lagi.
"Karena kalau aku sadar, kamu bosen sama aku. Aku langsung tahu diri dan menganggap kalau kamu enggak butuhin aku lagi. Saat itu tiba, maka aku yang akan memutuskan pergi lebih dulu." Jawabku.
Javar menghela napas panjang lalu tersenyum, "kalau suasananya lagi mellow begini, pengen banget bisa pegang tangan kamu. Tapi seketika aku sadar, kamu lebih mahal dari barang-barang antik di museum."
"Hah? Kok jadi bahas yang lain sih! Enggak ada hubungannya juga." Kesalku padanya.
"Ada!" Jawabnya cepat. "Barang di museum 'kan enggak boleh disentuh karena berharga. Makanya kamu lebih dari itu, lebih berharga dari barang-barang antik di museum." Lanjutnya.
"Kenyang gombalan aku," jawabku lalu beranjak karena tidak mau Javar melihat pipiku yang merona. Ini saja wajahku pasti se-merah tomat.
"Pipinya merah itu," sindirnya yang semakin membuatku malu.
Dasar Javar!
°°°