16. Tanggal Pernikahan

1184 Kata
10 OKTOBER 2020 DIANDRA LOVIA SARADIKA _______________________________ MENCINTAI atau tidak, memangnya penting dalam perjodohan? Kurasa, semua itu tidak pernah bermasalah untuk keluargaku maupun keluarga Javar. Aku tahu, hubunganku dan Javar, tidak pernah baik-baik saja. Selama ini aku menghindarinya, bersikap ketus padanya, bahkan mengabaikannya. Tetapi aku tidak pernah diam-diam bertemu dengan laki-laki lain di belakangnya. Lagipula kami akan menikah, suka atau tidak, kami akan menjadi pasangan. Sejak kemarin, aku menunggunya datang. Tetapi tidak kunjung datang. Bahkan malam ini pun, ketika acara yang penting, dia tidak datang. Dengan alasan sedang menyelesaikan proyek besarnya. Proyek atau proyek? Kata Bang Syail, aku terlalu munafik dalam hubungan ini. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya aku inginkan dari Javar atau dari pernikahan ini. Aku merasa terjebak, tetapi tidak bisa aku pungkiri, aku juga menikmatinya. Apa benar aku cemburu? Apa benar aku suka padanya? Tetapi, mengapa sulit sekali mengakuinya? Mengapa aku tidak bisa jujur pada perasaanku sendiri? Aku seperti menahannya untuk tetap tinggal, tetapi sikapku membuatnya tidak nyaman. Seakan-akan, aku memintanya untuk pergi. Aku kaget ketika tangan seseorang memegang pundakku. Aku spontan langsung menoleh dan menatap ke arah orang itu, ternyata hanya Mama yang berdiri di depanku dengan tersenyum. "Kaget ya? Maaf, Mama ngagetin. Habisnya kamu melamun sendirian di sini." Ucap Mama yang ikut berdiri disampingku. Aku sedang berdiri di luar gedung pertemuan keluarga besar kami, untuk membahas masalah tanggal pernikahan yang finalnya adalah tanggal 01 Desember 2020. Aku tersenyum tipis, "enggak pa-pa, Ma. Lovi cuma bosen aja di dalam. Jadinya keluar dan enggak sengaja melamun." "Kamu dan Ganin, baik-baik saja, 'kan?" Tanya Mama to the point kepada-ku. Aku menatap Mama, lalu menggeleng pelan. Aku hanya tidak mau masalah kami diketahui keluarga. Apalagi aku masih menunggu penjelasan Javar. Aku tidak mau mengambil keputusan secara sepihak seperti yang dikatakan Ratih berulang kali kepada-ku. Aku tidak mau menyesal karena mengambil keputusan yang salah. Jadi, satu-satunya jalan adalah menunggu Javar memberikan penjelasannya. Walaupun, jujur saja, aku tidak tahu kapan. "Kami baik-baik aja, Ma. Memangnya, Mas Javar-nya ada proyek apa, Ma? Kok sampai enggak datang di acara penting kaya gini," tanyaku dengan berani. Mama tersenyum tipis lalu mengelus pundakku, "Ganin berusaha untuk menyelesaikan semua pekerjaannya sebelum pernikahan kalian. Katanya, dia ingin menghabiskan waktunya dengan kamu. Awal-awal saja, ketika Mama dan Papa membahas tentang perjodohan, dia langsung antipati. Tetapi, setelah pertemuan dengan kamu, Ganin bersemangat. Ganin setuju dengan perjodohan ini karena orang yang dijodohkan dengan dia adalah kamu." "Apa menurut Mama, Mas Javar suka sama aku? Maksudnya, dalam artian serius. Bukan karena kami berdua sedang dijodohkan." Tanyaku untuk memastikan perasaannya. Mama tertawa, "kamu tanyakan saja padanya. Mama rasa, Ganin tidak akan berbohong soal perasaannya. Lovia sendiri bagaimana? Sudah suka belum sama Ganin?" Aku diam, menggigit bibir bawahku. Jujur saja aku bingung jika sudah ditanya masalah perasaan. Aku tidak mau salah mengartikan rasa, takut jika akan membuat kecewa. Mama memegang kedua tanganku lalu tersenyum, "jangan jawab sama Mama. Jawab dengan dirimu sendiri saja. Mama tahu, perjodohan seperti ini tetap tidak menyenangkan. Tetapi Mama yakin, Lovia punya perasaan lebih seperti apa yang Ganin rasakan. Terkadang kamu akan berpikiran, jika orang tua suka sekali memaksa kehendak kepada anak-anaknya. Tapi Bunda-mu dan Ayah-mu tahu, mana yang terbaik untuk anaknya." Setelah itu Mama pamit masuk ke dalam gedung kembali. Aku hanya membalas dengan senyuman, lagi. Semua acara selesai dan kami—aku, Ayah, dan Bunda—pulang. Selama perjalanan pun aku hanya diam dan meminta diturunkan di depan kantor. Aku berdalih jika masih ada beberapa pekerjaan yang aku lupakan. Jika tidak begitu, Ayah dan Bunda tetap akan menunggu di depan kantor. Padahal aku sedang ingin sendirian sekarang. Aku masuk ke halaman kantor agar Ayah dan Bunda percaya. Setelah yakin mereka sudah pergi, aku hendak keluar menuju sebuah cafe yang berada di depan kantorku. "Lho, Mbak Lovia. Ngapain datang ke kantor malam-malam? Ada yang ketinggalan? Ayo saya antar," tawar Pak satpam yang membuatku kaget setengah mati. "Ya Allah, Pak. Bikin saya kaget aja!" Ucapku sambil mengelus d**a. "Saya mau ke cafe depan, kok." Sambungku sebelum merepotkan. "Oh gitu, saya kira ada yang kelupaan." Jawab Pak satpam ramah. Aku menggeleng, "enggak ada kok, Pak. Kalau gitu, saya ke depan dulu, ya." Aku berjalan meninggalkan halaman kantor. Walaupun dengan dandanan cetar membahana seperti ini, aku tidak peduli-peduli banget. Jika aku tidak berbohong masalah kantor, Ayah dan Bunda tidak akan mengijinkan aku untuk pergi keluar malam-malam. Padahal aku sedang butuh me time. Beberapa orang yang masuk ke cafe bersamaku pun tampak heran dan tidak henti memperhatikanku. Entah apa yang ada di dalam pikiran mereka, aku tidak peduli. Aku mendekat ke arah meja pemesanan. "Lho, Kak Lovia." Sapa pegawai laki-laki di depan meja kasih yang memang sudah hapal denganku. "Cantik amat, Kak! Dari mana?" Tanyanya ramah sambil melayani salah satu pelanggan di depanku. "Kondangan!" Jawabku asal kepada laki-laki di depanku ini. "Americano, biasanya." Ucapku memesan lalu menyelesaikan pembayaran dan memilih untuk menunggu pesananku sambil duduk di salah satu kursi yang kosong. Aku mengeluarkan ponselku dari dalam tas dan membuka beberapa pesan yang masuk ke ponselku. Ada banyak pesan dari Ratih yang sibuk bertanya tentang bagaimana acara malam ini. Ada juga Mbak Lira yang bertanya tentang hal yang sama. Aku hanya membalas mereka dengan satu kata, aman! Walaupun pada kenyataannya, aku hanya bisa kabur dari kenyataan. Aku tidak bisa menceritakan perasaanku kepada siapapun, sehingga akan lebih baik jika menyimpannya sendirian. "Americano," "Makas—" ucapanku terputus ketika melihat sosok laki-laki dengan kemeja abu-abu bergaris meletakkan cangkir minumanku di atas meja. Aku hanya terpaku walaupun sebentar. "Pak Bos," lanjutku lalu berdiri karena sudah tidak sopan. "Duduk aja, ngapain berdiri. Saya boleh gabung?" Tanyanya yang langsung mendapatkan anggukan dariku sebagai persetujuan. Kami duduk berhadapan, suasana terasa aneh karena aku tidak pernah duduk berdua dengan Pak Bos. Jujur saja, aku sangat gugup karena yang berada di depanku adalah atasanku sendiri. Walaupun Pak Bos tampak sangat tenang dan santai, tetapi aku yang malah tegang sendiri. Niatnya ingin me time malah bertemu dengan bos, satu meja pula. "Pak Bos, lembur lagi?" Tanyaku berbasa-basi. Walaupun aku tahu jawabannya apa, aku masih sempat bertanya. Ya, agar tidak terlihat aneh saja suasananya. Apalagi aku adalah karyawan, wajar jika mengajak bicara antasan duluan. Masa iya aku harus menunggu Pak Bos bicara lebih dulu. Apalagi Pak Bos sudah membawakan minumanku ke meja. "Enggak lembur pun tetap stay di kantor. Anggap saja, kantor itu rumah saya sendiri. Bekerja di sana, pulang pun kesana." Jawabnya hambar lalu menyeruput lemon tea miliknya. Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala-ku, "enggak suka kopi ya, Pak Bos?" "Enggak," jawabnya dengan cepat. "Kenapa?" Tanyaku heboh, buru-buru aku menutup mulutku rapat-rapat. Benar-benar tidak punya sopan santun mulut ini. Pak Bos tersenyum, "terlalu pahit untuk kehidupan yang sudah pahit." Aku tertawa, seperti merasa sedikit terhibur dengan candaan Pak Bos. Kami berbincang tentang pekerjaan dan membahas beberapa masalah. Sampai akhirnya aku pamit untuk pulang terlebih dahulu karena takut dicari Bunda. Sebenarnya Pak Bos menawarkan untuk mengantarkan aku pulang, tetapi aku menolaknya. Aku memilih untuk naik taksi online setelah memesannya. Aku hanya tidak mau ditanya macam-macam oleh Bunda atau membuat salah paham orang lain. Bagaimanapun juga, aku berusaha menjaga perasaan Javar. Walaupun perasaan tidak jelas, tetapi dia calon suamiku, 'kan? Ah, Javar. Apa yang kamu rencanakan sebenarnya? °°°
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN