12. Mengaku Saja Lah!

1059 Kata
09 OKTOBER 2020 DIANDRA LOVIA SARADIKA _______________________________ AKHIRNYA semua pekerjaan yang menyiksa ini selesai juga. Aku tidak perlu lagi begadang atau lembur di kantor untuk mengejar deadline. Aku yakin dengan pencapaianku kali ini. Ternyata rasa kecewa atau apapun itu, bisa menjadi berkah jika kita mensyukurinya. Ah, aku tidak mau mengingat semua kejadian semalam atau membahasnya. Dadaku masih bergemuruh setiap kali mengingat kejadian di cafe semalam. Tentang suara dan kata-kata Alea yang tidak mau menghilang dari pikiranku. Rasanya aku ingin sekali menampar mulutnya yang sudah mengandung racun sejak dulu. Sayangnya, aku tidak senekat itu. Secangkir teh diletakkan di atas mejaku oleh Mbak Lira baru saja. Kemarin malam aku memang tidak pulang ke rumah, aku meminta Ratih untuk mengantarkan aku ke rumah Bang Syail dan Mbak Lira. Semalam Abang sempat kaget karena adik kesayangannya datang tiba-tiba dan tanpa memberikan kabar terlebih dahulu. Walaupun aku tahu apa tanggapan Ayah dan Bunda yang tidak mengijinkan aku untuk datang ke rumah Abang, tapi aku tetap saja nekat. Aku juga butuh ketenangan walaupun dengan bertemu Abang. "Diminum Lovi," ucap Mbak Lira yang mengambil duduk di ranjang. "Makasih ya, Mbak. Maaf malah jadi ngerepotin." Jawabku tidak enak karena sejak semalam sudah merepotkan. Mbak Lira menggeleng, "ngerepotin apa sih, Lov? Gimana pekerjaannya, sudah selesai?" Aku mengangguk menanggapi pertanyaan Mbak Lira. Aku tahu banyak sekali pertanyaan yang ingin Mbak Lira dan Abang tanyakan kepada-ku soal mengapa semalam aku datang kesini dengan menangis lalu merengek untuk tinggal di sini kemarin. Ah, aku merasa diriku ini anak kecil, bukan seorang perempuan dewasa umur 27 tahun. Aku juga malu kepada Ratih yang tidak henti mengatakan kata-kata positifnya. Kenapa kemarin aku harus menangis sih? Mbak Lira mengelus bahuku dengan pelan, "Mbak mau mandi-in Danil. Kamu kalau mau sarapan nanti ke bawah ya, Mbak udah masak." "Makasih banyak ya, Mbak." Ucapku lagi yang ditanggapi dengan elusan di kepalaku. "Mbak panggilkan Abangmu ya, biar datang kesini. Siapa tahu kamu mau cerita," tawar Mbak Lira dari ambang pintu. Aku sedikit menimbang, tetapi akhirnya aku mengangguk. Ah, aku beruntung sekali memiliki seorang kakak ipar yang peduli padaku dan tidak pernah berusaha menjauhkan aku dengan Abang. Mbak Lira tahu apa yang aku inginkan setiap kali datang kesini. Mbak Lira seperti tahu betul keinginanku ketika sedang dalam keadaan down seperti ini. Tidak lama kemudian, Abang mengetuk pintu kamar ini. Abang yang sudah mengenakan seragam lengkap pun masuk ke dalam, lalu duduk di pinggiran ranjang. Aku rindu ketika kami masih sama-sama tinggal dalam satu atap. Ketika yang Abang jaga hanya aku. Aku ingat ketika Abang meminta ijin untuk menikah, aku sampai tidak doyan makan beberapa hari karena terus memikirkan perhatian Abang yang akan terbagi. "Ada masalah sama Javar?" Tanya Abang to the point, bahkan sebelum aku memberitahunya. "Kamu sudah suka sama dia, Dek?" Sambung Bang Syail lagi dengan kedua alis yang berkerut. Aku mengangkat kedua bahuku tidak tahu, "Abang tahu dari mana tentang Javar? Maksudku, Abang tahu namanya dari siapa?" "Cowok jaman kuliah itu, 'kan?" Tanya Bang Syail dengan santainya, seperti sudah tahu semua identitas Javar tanpa bertemu dengannya terlebih dahulu. Aku mengangguk, "Abang tahu dari mana?" "Bunda yang cerita lewat telepon waktu itu. Kamu enggak masalah kalau dijodohkan sama dia?" Tanya Bang Syail yang terlihat khawatir. Aku terdiam sebentar lalu hanya aku tanggapi dengan anggukan kepala saja. Entahlah apa yang aku rasakan. Tetapi aku juga tidak tahu harus menerima atau menolaknya. Aku sudah terlanjur mengiyakan dan sepertinya aku tidak bisa keluar begitu saja. Bang Syail mengelus kepalaku lalu tersenyum, "kamu udah dewasa tapi masih kaya anak remaja yang perlu banget Abang jagain. Semalam kamu nangis karena Javar juga, 'kan? Dia ketemuan sama mantannya? Udah tanya kenapa ketemuan? Dia kasih kabar enggak?" "Mana aku tahu, Bang. Enggak usah bahas dia lagi deh, bikin mood jelek pagi-pagi. Aku mau mandi terus langsung ke kantor. Abang juga mau berangkat 'kan? Sana deh," usirku yang ditanggapi oleh Abang dengan tertawaan. Bang Syail memelukku lalu mencium keningku cukup lama, "jangan galau terus! Kalau cemburu dan masih sayang akui saja lah." Aku diam saja, tidak menjawab apa yang Bang Syail katakan. Setelah itu aku mandi dan bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Ratih katanya sudah otw kesini membawakan aku baju baru. Aku meminta untuk membeli pakaian baru karena aku tidak membawa pakaian ganti. Kalau harus mengambil di rumah, aku sedang tidak mau ditanya macam-macam. Setelah selesai mandi, Ratih sudah berada di dalam kamarku, memberi paper bag berisi pakaian. Tanpa banyak bicara, aku langsung ganti baju dan bersiap-siap karena harus bertemu dengan Mbak Inggrid lagi. Terakhir aku memilih untuk make up di mobil, langsung berpamitan kepada Mbak Lira karena sudah terburu-buru dan membuat Danil menangis karena baru tahu aku berada di sini. Selama perjalanan ke kantor, tidak ada yang aku bicarakan dengan Ratih. Mungkin dia sungkan untuk bicara atau bingung karena suasana hatiku yang belum baik. Biasanya kami akan langsung heboh bercerita—tentang pekerjaan atau gosip santai teman kerja yang berkencan baru-baru ini. "Udah selesai kerjaannya, Lovi?" Tanya Ratih ketika kami baru saja masuk ke dalam lift. Aku mengangguk, "Alhamdulillah udah selesai. Semalam aku begadang di rumah Abang, malah dapat banyak ide dan akhirnya selesai semuanya. Senang deh bisa istirahat mulai nanti dan ambil hari libur besok minggu." Ratih hanya tersenyum lalu kami pun kembali membahas hal lainnya sampai ke ruangan. Aku melihat Mbak Inggrid yang melambaikan tangannya ke arahku. Aku lalu buru-buru mendekatinya dan memberikan sebuah flashdisk kepadanya. "Maaf ya Mbak belum sempat kirim ke e-mail. Tadi aku buru-buru dan cuma sempat kirim chat aja." Ucapku yang hanya ditanggapi Mbak Inggrid dengan anggukan kepala. Disela-sela Mbak Inggrid yang mengoreksi pekerjaanku, aku sibuk mengelus perutnya yang membesar. "Eh..." Kagetku yang ditanggapi tertawaan kecil oleh Mbak Inggrid. "Kamu nakal ya, tendang-tendang Tante. Tante-nya jadi kaget." Ucap Mbak Inggrid sambil mengelus perutnya. "Semakin enggak sabar buat ketemu dia deh, Lov." Curhat Mbak Inggrid dengan tersenyum lebar. Bagaimana rasanya hamil, ya? Apa akan bahagia seperti ibu-ibu pada umumnya? Ah, Lovia kenapa kamu memikirkan hal-hal yang tidak-tidak. Kamu belum menikah, kenapa sudah memikirkan masalah hamil. "Udah oke banget ini, Lov. Makasih banyak lho udah di-handle semua pekerjaanku. Enggak tahu lagi cara bilang makasih sama kamu." Ucap Mbak Inggrid. "Enggak masalah Mbak," jawabku dengan tersenyum. Aku kembali ke ruanganku, memilih untuk duduk di kursiku sambil melamun. Tidak ada pekerjaan dan pikiranku terus tertuju kepada Javar yang tidak kunjung datang. Apa yang aku harapkan? Aku menolaknya tetapi aku juga berharap dia datang untuk meminta maaf? Apa mauku sebenarnya? °°°
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN