01 AGUSTUS 2011
DIANDRA LOVIA SARADIKA
_______________________________
SELEPAS sholat subuh, aku bersiap dengan seragam OSPEK-ku. Seragam yang biasa saja, untungnya. Hanya kemeja putih dengan bawahan rok hitam. Ada juga sebuah topi warna hitam dan juga name tag bertuliskan namaku dengan huruf besar semua—DIANDRA LOVIA SARADIKA. Ya, aku masih bisa bersyukur karena OSPEK kampusku tidak separah OSPEK di kampus lain. Menggunakan pakaian aneh-aneh, topi bola, tas kardus/plastik/karung, kaos kaki yang berwarna-warni—intinya OSPEK di kampusku masih normal. Mungkin yang sedikit membuatku sebal adalah karena menggunakan menu makan.
Apa menu makanannya? Oseng tahu dan tauge. Aku tidak suka tauge atau lebih tepatnya tidak doyan. Bagiku, menu makanan hari ini yang paling tidak aku suka. Walaupun Bunda-ku termasuk pintar memasak, tetapi tauge seperti pantangan makanan untukku. Tetapi, aku harus tetap membawanya, bukan? Entah aku makan atau tidak, yang penting dibawa—kata Bunda. Sebenarnya, aku tidak takut dihukum, tetapi Bunda yang memaksa. Kata Bunda, harus selalu mentaati peraturan yang sudah dibuat.
Meskipun kita tidak setuju atau kurang suka, peraturan tetap saja peraturan yang harus dilaksanakan. Baiklah, demi Bunda aku membawa bekal ini. Bekas yang mungkin tidak akan aku makan nanti. Semoga saja ada kantin yang menjual bakso atau mi ayam, setidaknya aku tidak akan kelaparan. Jadi, di kampus baruku ini, selalu memberikan jadwal kegiatan. Seperti OSPEK hari ini pun, ada jadwal tertulisnya. Misalkan jam sekian upacara pembukaan, jam sekian makan siang, dan jam sekian pulang dari kampus.
Setelah mengenakan jilbab dengan rapi, aku bergegas ke meja makan. Bunda sudah menyiapkan roti selai nanas kesukaanku dan juga s**u cokelat. Aku duduk di kursi yang berada di dekat Ayah yang sibuk menikmati sarapannya sebelum berangkat ke proyek. Ayah-ku ini adalah seorang kontraktor yang sangat sibuk. Sedangkan Bunda-ku masih bekerja di bank.
"Dianterin Abang ya, Dek." Ucap Bunda kepadaku.
Aku mengangguk dengan mulut yang dipenuhi roti. Setelah itu Ayah dan Bunda pergi terlebih dahulu setelah menciumku. Sekarang hanya tinggal aku dan Abang yang menyelesaikan sarapan. Setelah kami berdua selesai dan Abang memakai sepatunya, kami berangkat dengan motor Ayah karena motor Abang masuk bengkel, lagi.
Tidak banyak yang kami ceritakan, karena Abang dan aku sama-sama memburu waktu. Abang ada apel pagi dan aku ada upacara pembukaan untuk OSPEK. Walaupun tidak terlambat, tetapi sejak kecil kami sudah diajarkan untuk selalu tepat waktu oleh Ayah dan Bunda. Waktu adalah uang—itu benar menurutku. Jika kita menyia-nyiakan waktu, kita sendiri yang akan rugi. Mungkin itulah alasan Ayah memaksaku kuliah tahun ini.
Sepuluh menit berlalu dan aku sampai di depan kampus baruku. Abang memberikan paper bag warna hitam padaku lalu aku menyalaminya sebelum Abang pergi. Setelah Abang melajukan motornya, aku masuk ke dalam. Banyak sekali orang-orang yang memakai pakaian yang sama denganku. Sebagian sudah ada yang sibuk mengobrol, entah mereka sudah saling mengenal lama atau memang baru bertemu dan mulai berkenalan satu sama lain.
Aku melihat beberapa mahasiswa baru dengan name tag warna ungu, name tag yang ditujukan untuk para mahasiswa jurusan ilmu komunikasi. Katanya, OSPEK kali ini berdasarkan tingkatan fakultas saja. Tetapi, tidak ada satupun orang yang aku kenal di sini. Semuanya asing dan aku tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana, lalu dengan siapa? Aku hanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Mencoba untuk berbaur, tetapi yang ku rasakan hanya tatapan aneh dari mereka.
"Untuk mahasiswa baru Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, diharapkan segera merapat di lapangan lalu membentuk barisan sesuai dengan jurusan masing-masing. Tambahan, laki-laki disebelah kanan dan perempuan disebelah kiri. Terima kasih."
Aku menghela napas panjang saat seorang laki-laki yang tidak terlalu jelas wajahnya memanggil kami semua untuk berkumpul, dengan menggunakan pengeras suara. Aku hanya mengikuti orang-orang yang mengenakan name tag warna ungu di depanku. Akhirnya, aku berbaris di barisan paling depan. Entahlah, mengapa aku yang datang terakhir malah mendapatkan barisan paling depan.
Beberapa senior dengan almamater warna abu-abu berdiri di depanku. Tidak sengaja aku bertukar pandang dengan seorang laki-laki yang baru saja hendak naik ke atas mimbar sambil membawa toa. Laki-laki itu sedikit menyunggingkan senyuman tipisnya. Padaku? Entahlah, aku tidak tahu. Kata Bang Syail, jangan terlalu percaya dengan laki-laki di kampus. Banyak buaya!
"Selamat pagi, teman-teman!" Sapa laki-laki dengan ciri tinggi, berkulit sawo matang, matanya besar, punya lesung pipi, rambutnya cepak ala-ala angkatan gitu—beda tipis lah dengan Bang Syail, lalu mengenakan name tag yang ditempel di jas-nya. Aku tidak terlalu jelas dengan tulisan namanya, tapi wajahnya tidak terlalu asing di mataku.
"Gila... Gila... Gila..."
"Ganteng banget, astaga!"
Jawaban selamat pagi yang seharusnya diucapkan, malah berganti dengan sahut-sahutan komentar tentang penampilan si laki-laki yang berada di depan sana. Tentu saja aku tahu kalau dia ganteng, aku juga tahu kalau dia menawan—tapi tidak begitu juga reaksinya, Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya.
"Selamat pagi!" Suara laki-laki itu kembali menggema, memecah suara keributan masalah penampilan si laki-laki yang berada di atas mimbar.
"Pagiiiiiiii...!" Heboh para mahasiswa baru—terlebih yang perempuan. Ya, kecuali aku yang dengan santainya ikut membuka mulut tapi tidak juga bersuara. Hemat tenaga!
"Baik, hari ini kita akan mengadakan pengenalan kampus. Untuk jadwal dan acara sudah tertera di website kampus, ya. Sudah dibaca semuanya 'kan?"
"Sudah..."
Aku hanya mendengarkan ocehan dari laki-laki itu tanpa menatanya. Sibuk dengan tali sepatuku yang saat ini lepas tetapi tidak mungkin aku ikat, bukan? Mataku tertuju kepada seseorang yang sedang menunduk dan mengikat tali sepatuku saat ini. Kedua bola mataku membulat dan spontan saja menarik kakiku.
"Supaya kamu lebih fokus dengan pengarahan panitia," ucapnya lalu kembali ke mimbar. Iya, dia adalah laki-laki yang sama yang tadi berdiri di mimbar untuk memberikan pengarahan.
Semua mahasiswa menatap ke arahku, membuat beberapa diantara mereka berspekulasi buruk tentang aku. Ah, belum ada sehari, kenapa sudah diberikan image yang buruk? Hanya karena masalah ikat sepatu, kenapa masalahnya melebar menjadi semacam kecemburuan sosial. Ah, aku tidak paham.
"Oh iya, hampir saja lupa. Terima kasih karena sudah diingatkan Alea. Jadi, sebelumnya kami akan sedikit memperkenalkan diri kepada kalian semua. Kami tidak minta dipanggil Kakak/senior/Bang/Mas/Mbak dan sebagainya. Memanggil dengan embel-embel kata yang sudah saya jelaskan tadi, itu semua karena keinginan kalian sendiri. Di kampus kita tercinta, tidak ada yang namanya senioritas, kita semua sama. Hanya saja, hari ini saya dan teman-teman yang membimbing kalian. Besok tahun depan, bisa jadi kalian yang membimbing mahasiswa baru lagi. Jadi siklusnya hanya sekedar membimbing saja, bukan untuk menggurui."
Entah karena aku terlalu percaya diri, atau memang arah tatapan laki-laki itu memang mengarah kepadaku sekarang. Apa maksudnya coba menatapku seperti itu, tidak sopan! Apa dia termasuk buaya, seperti yang Bang Syail katakan?
"Baik, dimulai dari saya terlebih dahulu. Perkenalkan, nama saya Aljavar Ganindra Adhinata. Biasa dipanggil dengan Javar, saya salah satu mahasiswa program studi Teknik Sipil angkatan 2009. Jabatan saya di Badan Eksekutif Mahasiswa tingkat Universitas khususnya S1 adalah ketua PSDM atau Pengembangan Sumber Daya Manusia. Untuk jabatan di OSPEK tingkat fakultas, saya diserahi jabatan sebagai Ketua pelaksana di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ini. Terima kasih."
Aku mengingat nama itu, Javar. Nama yang beberapa hari lalu terus diberitakan dan menjadi buah bibir pembicaraan orang banyak karena kepintarannya dan keberaniannya dalam memimpin demo mahasiswa beberapa bulan yang lalu di depan kantor gubernur. Aku benci demo, aku benci orang yang melakukan demo, aku mencintai ketenangan. Mungkin, salah satu orang yang akan aku hindari sejak awal masuk kuliah adalah... Javar.
°°°