Mengagumimu Dari Jauh

1550 Kata
Beberapa bulan kemudian. Cinta? Sepertinya memang iya. Walau berkali-kali Hasan sempat menyangkal jika ini hanya lah perasaan kagum semata. Tapi semakin lama, perasaan ini justru membuatnya takut dan merasa ngeri. Karena kalau tidak bisa dikendalikan, cinta yang fitrahnya suci itu bisa kotor karena tingkah manusianya. Rasanya mungkin manusiawi karena yang namanya manusia memang tak ada yang sempurna. Tapi Hasan berusaha untuk tidak terlalu larut dalam perasaan itu. Agar apa? Agar tidak banyak berdosa. Meski ya, ia akui kalau ia sulit sekali menahan pandangan dari gadis yang kini duduk di belakang sana bersama para ukhti yang lain. Mereka hendak mengadakan MABIT alias Malam Bina Iman dan Takwa. Rencananya akan diselenggarakan minggu depan dan semua itu butuh perencanaan yang matang. Apalagi acara itu berlokasi di Puncak, Bogor bukan area kampus. Perlu perizinan ini-itu dan perlu kondisi yang aman. Hasan datang jauh-jauh dari Salemba hanya untuk memastikan rapat terakhir hari ini bersama calon peserta. Termasuk gadis itu yang menjadi peserta baru. "Mau nyoba kenalan?" tanya Ridwan. Ia semakin usil semenjak berhasil menangkap basah Hasan yang sama sekali tak bisa berpaling dari Faradina. Padahal gadis itu tak berbuat apapun tapi kadang Hasan suka salah tingkah sendiri. Namun mendengar tawaran ini malah membuat Hasan menggeleng. Baginya, urusan kenalan dengan perempuan ini bukan urusan sepele. Karena ketika ia berani berkenalan dengan perempuan, itu artinya ia harus berani memeprtanggung jawabkannya. Masalahnya adalah ia hanya lah mahasiswa kedokteran tahun ketiga yang masih lama sekali lulusnya. Apa jaminan yang bisa ia berikan pada gadis itu agar mau dengannya? Cinta? Hahaha. Tertawa saja. Ridwan terkekeh. Keduanya sedang duduk di teras masjid. Ridwan menepuk-nepuk bahu seniornya ini. "Banyak yang mau kalau Abang melewatkan." Hasan tersenyum kecil. "Kalo jodoh gak ke mana, Wan. Kalo bukan jodoh, mau bagaimana lagi?" "Ya, seenggaknya kan pernah memperjuangkan." Hasan menggeleng lema dengan senyuman kecil. "Kalau sekarang bukan saatnya." Itu jawabannya. Ridwan merangkul bahunya. "Memberikan janji masih mungkin kan? Perempuan suka itu. Lihat saja Marini dan Indra. Saling menunggu tanpa pacaran." Hasan terkekeh-kekeh mendengarnya. Baginya itu namanya pacaran terselubung. Memang tidak heran kalau pasti terjadi di dalam organisasi mana pun. Kadang yang membuat heran itu, apa gunanya mereka mengikuti kajian jika masih melakukan sesuatu hal yang jelas-jelas tidak sesuai syariat? Ya memang mereka menyebutnya bukan pacaran. Tapi, apa bedanya kalau diam-diam saling melempar senyuman dan tak menjaga pandangan? Perbedaannya mungkin hanya terletak pada jalannya saja. Di mana, yang satunya memilih jalan terang-terangan untuk pacaran dan yang lain memilih jalan diam-diam tapi kegiataannya tak jauh dari berpacaran. Bahkan lebih mengerikan saat Hasan di SMA dulu. Ada satu perempuan dan laki-laki di dalam organisasi Islam sekolah. Ia juga termasuk ke dalam pengurus di dalam organisasi itu. Ia sangat mengenal sang lelaki karena lelaki itu adalah sahabatnya. Ia juga mengenal perempuan itu sebagai adik kelasnya. Tersebar lah kabar kalau keduanya saling menyukai. Bilangnya sih tak pacaran tapi suka berbalas pesan. Bahkan kadang bertelponan. Bilangnya sih tak pacaran tapi kadang yang perempuan suka diantar pulang. Bilangnya sih tak berpacaran tapi kadang suka terlihat jalan berdua-duaan. Bilangnya sih mau saling menunggu hingga sama-sama selesai kuliah nanti untuk menuju jenjang pernikahan. Bilangnya sih begitu. Tapi kenyataannya? Hanya beberapa bulan setelah itu, satu sekolah mendadak gaduh dengan video promo yang dibintangi kedua orang itu. Padahal bilangnya tak pacaran. Alasannya, kan gak boleh sama Tuhan. Ya memang tak boleh. Tapi kan urusan perzinaan ini jalannya bukan hanya melalui pacaran. Ada banyak pemberitaan tentang p*********n di televisi juga media sosial. Tak semuanya dilakukan atas dasar suka sama suka atau pun dengan status berpacaran. Itu menunjukan betapa mengerikannya ketiadaan jarak antara lelaki dan perempuan. Karena sampai melampaui batas sedikit saja..... Lantas bagaimana nasib sahabatnya dan perempuan di SMA-nya waktu itu? Yang perempuan tentu dikeluarkan sekolah karena mencemarkan nama baik sekolah. Yang laki-laki? Masih bisa melanjutkan sekolah. Bahkan Hasan mendengar kalau sahabatnya itu berkuliah di Yogyakarta. Sementara yang perempuan? Mengurus anak dan bertanggung jawab sendirian atas kehamilannya. Karena orangtua si lelaki tidak mau anaknya putus sekolah dan malah menikahi perempuan itu. Sebagai keluarga terpandang, kabar berita ini juga tentu membuat malu. Dan begitu lah mengerikannya tipu daya setan. Berkaca dari itu, Hasan memilih untuk tidak mendekati perempuan itu. Bukan karena ia tidak suka atau cinta. Tapi itu lah caranya menjaga fitrahnya cinta. Karena cinta yang benar-benar cinta, tidak akan membuat seorang hamba jauh dari-Nya. Sebab kalau cinta seharusnya semakin mendekat kepada-Nya. @@@ "Jangan saya," tolaknya halus. "Syahid saja. Dia ngajinya lebih fasih dan bagus," tuturnya. Adik tingkat sekaligus rekan sesama panitia itu pun mengangguk. Ia sudah menduga kalau Hasan pasti akan menolak. Lelaki itu memang begitu. Kadang takut sekali kalau disuruh mengimami solat atau mengaji untuk pembukaan atau penutupan acara organisasi. Alasannya selalu seperti itu. Ada orang lain yang lebih pantas. Bukannya merendah sih, tapi Hasan memang merasa seperti itu. Selain itu, ia merasa belum mampu memikul beban berat dalam melakukan itu. Walau kadang ia sering dimarahi Husein karena ketika bersama, ia tidak pernah mau menjadi imam solat. Selalu Husein. Alasannya pun begitu, bacaan Quran Husein lebih fasih dan bagus. Sementara Husein lebih ingin agar Hasan itu mampu mengasah diri untuk menjadi seorang pemimpin. Selama ini kan, ia enggan. Meski sering kali terpilih sebagai pemimpin. Namun biasanya, ia lakukan dengan agak terpaksa. Sebatas bertanggung jawab saja. "Minta Fara juga," bisik Ridwan pada rekan panitia yang tadi meminta pada Hasan. Kontan saja Hasan menoleh. Belum sempat bertanya, Ridwan sudah berjalan ke arah lain. Beberapa menit kemudian ia jadi tahu alasan kenapa Ridwan menyebut nama Faradina. Ya, gadis itu lagi. Untuk ke sekian kalinya, gadis itu kembali menyita perhatian. Semua mata tertuju padanya yang berjalan ke depan. Ia mengekor Syahid kemudian berhenti terlebih dahulu. Tak lama, penutupan pertemuan kali ini ditutup dengan bacaan Quran yang dilantunkan oleh Syahid dan disambut okeh Fara dengan menyebutkan artinya. Hasan masih menganggap ini sesuatu yang biasa sampai.... "Dia dulu juara MTQ di Sumsel, Bang," tutur Ridwan yang entah kapan sudah duduk di belakangnya. Ikut menyimak bacaan Syahid. Tapi Hasan tahu siapa yang dimaksud oleh Ridwan. Siapa lagi? "Dulu belajar ngaji sama guru ngaji tetangga gue di Palembang." "Jadi udah kenal dari lama?" Ridwan terkekeh. "Kenal dari kecil. Karena sering lihat dia di sana. Tapi baru ngomong waktu dia masuk SMA gue. Anaknya kan kalem, agak pendiam. Banyak yang mungkin salah paham juga dengan tatapannya yang kadang terkesan jutek. Padahal memang modelnya begitu, pemalu. Pas udah kenal, ternyata agak bawel," tuturnya lantas terkekeh. Dibanding semua lelaki yang ada di sini, ia yang paling dengan Faradina. "Di SMA, dia juga gitu. Semua anak-anak cowok banyak yang suka." Hasan berdeham. Ya, ia tahu sih. Biar kata banyak perempuan yang lebih cantik, tapi Hasan sudah pernah bilang kan kalau gadis itu berbeda dari perempuan kebanyakan. Ia bahkan tak perlu berdandan untuk menjadi cantik. Wajahnya yang teduh juga turut meneduhkan hati siapa pun yang memandangnya. Caranya bersitatap dengan lelaki begitu mengagumkan. Dan lagi-lagi, Hasan hanya berani melihatnya dari jauh. Mengagumi saja. Inginnya tak lebih dari itu. Tapi sepertinya, sudah terlanjur bukan? @@@ "Fara ya?" Ucapan itu kontan saja membuat Hasan memutar kepalanya. Padahal ia sedang memakai helm di parkiran depan masjid kampus UI Depok. Dan gadis yang dipanggil itu pun menoleh. Agak kaget. Sementara anak kecil yang tadi mengekorinya sudah pergi menjauh usai diberikan uang yang lumayan jumlahnya. Ia mengelus d**a saat menjumpai Ayu, kakak tingkatnya dan salah satu anggota organisasi, menyapanya. "Iya," jawabnya lantas tersenyum kecil. Ia hendak memakai sepatunya. "Ada titipan nih," tuturnya lantas memberikan sebuah paper bag pada Fara. Kening gadis itu mengerut. Saat hendak bertanya, tahu-tahu Ayu sudah pamit sambil tertawa. Namun matanya menangkap seseorang yang berdiri tak jauh sembari menggaruk tengkuk dengan malu. Lelaki itu tak sengaja bersitatap dengan Fara. Hasan? Turun menatap keduanya dari dekat motor. Lelaki itu tampak terpaku karena ia sangat mengenal lelaki itu. Siapa? Salah satu anak BEM UI. Selain itu, katanya ia adalah anak pejabat negara. Ibunya? Menteri Keuangan. Ayahnya? Pengusaha pertambangan batu bara. Lelaki itu? Berkuliah di Fakultas MIPA (Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam) UI. Tampangnya? Jangan ditanya. Penampilannya sekeren Opa-Opa Korea. Walau tadi anak-anak organisasi heboh dengan kehadirannya. Pasalnya, mereka tahu betul kalau lelaki model begitu mana mungkin mau masuk ke organisasi ini? Tapi yaaaa Hasan setidaknya bisa menarik kesimpulan. Walau ia juga tak tahu bagaimana keduanya saling mengenal. Hasan membalik badan. Hatinya agak-agak nyeri melihat apa yang sedang terjadi di depan mata. Walau yah, Hasan tak menyimak kejadian selanjutnya di mana Fara malah mengembalikan paper bag itu dan memohon maaf dengan sangat berani kalau ia tak mau menerima hadiah semacam itu dari laki-laki. Kemudian berjalan cepat walau terus dikejar-kejar lelaki itu. Hingga Fara nyaris ditabrak motor ketika ia sedang menyebrangi jalan dengan terburu-buru. Laki-laki tadi hendak menyusul tapi akhirnya malah balik badan dan berlari menuju mobilnya. Ia pikir, akan lebih cepat jika menyusul Fara dengan mobil. Tapi nyatanya, ia malah kehilangan gadis itu. Sementara Hasan? Cowok itu mengendarai motornya dengan gamang. Ia sadar betul sih kalau perempuan itu memang banyak disukai laki-laki. Bahkan lebih dari sembilan puluh persen lelaki di organisasi ini pun tertarik. Tak heran kalau lelaki tadi juga mengejarnya. Karena gadis itu bagai magnet. Pesonanya mampu menarik hati banyak lelaki. Dan sekalipun Hasan melihat ada banyak lelaki yang mengantri untuk mendapatkan gadis itu, Hasan masih tak bergerak. Ia masih sama. Masih memutuskan untuk mengagumi perempuan itu dari jauh. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN