Bab 2. Kebenarannya

1023 Kata
Perkataan Bastian sungguh membuatku terluka. Seperti granat yang dimasukkan ke dalam jantungku dan boom meledakkannya hingga hancur berkeping- keping. Sangat sakit. Rasa sakit yang teramat dalam dan dalam sekejap berubah menjadi amarah dan penyesalan. "Kenapa? Kenapa kua melakukan ini kepadaku, Zahra? Aku memperlakukan mu dengan tulus dan perhatian. Aku memperlakukanmu sebagai sahabatku bahkan seperti saudari kandungku sendiri, Zahra. Aku bahkan mengajakmu untuk tinggal di mansion. Tapi kenapa? Kenapa kau membalasku seperti ini?" tanyaku cepat menuntut jawaban. "Tulus? Huh ... aku tau kau hanya memanfaatkanku karena tak ada yang mau berteman denganmu sejak dulu. Dengan sifat angkuh, sombong mu, siapa yang mau berteman denganmu. Aku bertahan hanya untuk memanfaatkanmu saja." Balas Zahra. "Lalu kenapa kau melakukan ini padaku, Bastian? Bukankah kau mencintaiku. Apakah tujuh tahun pernikahan kita sama sekali tak bermakna bagimu. Tak pernahkan sedikitpun kau memiliki perasaan padaku?" Tanyaku penuh harap. Berharap aku bisa mendengar sedikit rasa penyesalan dari pria yang sangat aku cintai itu. "Tidak sedikitpun. Bagiku, tujuh tahun menikah denganmu hanyalah sandiwara belaka. Dan tak pernah sedikitpun aku senang bersama denganmu. Tujuh tahun yang sangat menyiksa dan sepetri penjara karena aku harus berpura - pura mencintai dan menyayangi perempuan menjijikan, bodoh dan tidak berguna sepertimu. Dan aku sangat muak dengan sifatmu yang selalu menempel padaku. Kau bagaikan permen karet yang melengket erat yang sangat menyebalkan dan menjijikan. Dan akhirnya saat ini tiba, aku bisa lepas darimu." Airmataku telah lama berhenti mengalir, Kesedihanku ditekan oleh amarah dan kebencian yang meluap. Bagaikan gunung berapi yang bergetar dan siap memuntakan lahar panasnya kapan saja. Aku sangat marah dan membenci mereka. "Kenapa? Kenapa kalian melakukan ini padaku? Apa salahku kepada kalian? Kenapa merengget semuanya dariku?!" Teriakku penuh amarah. Sedetik kemudian napasku langsung memburu cepat. "Salahkan dirimu sendiri yang terlalu bodoh dan merupakan pewaris perusahaan dan kekayaan yang sangat banyak." Ucapan Zahra semakin memicu amarahku. Bagaikan bensin yang di siram ke kobaran api. Boom! Aku menatap tajam Zahra, berharap aku bisa merobek wajahnya yang bermuka dua selama ini. Aku menatap tajam ke arah pasangan itu. Aku sangat marah dan ingin mengamuk sejadi - jadinya. Tapi tubuh lemahku tak bisa melakukan apapun. Suara dari monitor EKG semakin berbunyi cepat dan nyaring. Napasku mulai kesulitan dan d**a sesak. Nyeri yang teramat sakit dan berdarah memenuhi hatiku. Tapi mataku tak bisa berpaling sedetikpun dari mereka berdua. Aku sangat marah sehingga ingin mencekik Zahra saat ini juga. Menikam d**a Bastian dan melihat adakah hati di dalam dirinya. Mengapa dia talega melakukan semua ini padaku!  Aliran darahku mengalir sangat cepat dengan napas yang memburu cepat. Tubuhku memanas dan mataku membesar menatap mereka. Seandainya mataku bisa mengeluarkan leser, mereka berdua sudah hangus terbakar dan menjadi gumpalan abu. Aku marah karena mereka melakukan semua itu kepadaku. Dan aku sangat marah pada diriku sendiri yang terlalu bodoh untuk bisa mempercayai mereka berdua. Aku bahkan memiliki keiinginan untuk membunuh kedua orang itu. Bagaimana mereka melakukan ini padaku. Membunuh kakek yang paling aku sayangi, melenyapkan janinku yang tidak berdosa, membuat aku mandul, cacat dan sakit - sakit hingga kini berada di depan pintu kematian. Bagaimana aku bisa menahan keinginan untuk membunuh mereka, membalaskan rasa sakit dan oenderitaan yang aku alami. Tapi aku tak bisa berbuat apapun, tubuhku terlalu lemah. Butuh usaha yang besar untuk bangkit dari duduk di ranjang dan sekarang dengan amarah yang menggelegak memicu semua sarafku semakin tegang. Aku bahkan merasakan rasa amis darah di tenggorokkanku. "Ayo sayang, kita harus mengurus semuanya. Tinggalkan saja wanita bodoh yang sebentar lagi akan meninggal ini." ucap Zahra yang menarik Bastian untuk pergi. Aku menatap panas, tajam dan penuh amarah kepada keduanya. Namun mereka sama sekali tak perduli dan berbalik dengan cepat untuk pergi meninggalkan ruangan ini. Pintu tertutup dan bayangan kedua orang itu menghilang tanpa bekas, hanya ada aku dan suara mesin EKG yang semakin cepat. Sorot tajam dan garang ku perlahan menghilang. Yang ada hanya keputusasaan dan penyesalan yang mendalam. Seandainya aku bisa sedikit lebih pintar, mungkin aku bisa mengetahui rencana jahat mereka. Seandainya aku mendengarkan ucapan kakek, mungkin beliau masih hidup saat ini. Dan aku tak akan berbaring disini menunggu kematianku seorang diri dengan sangat menyedihkan. Napasku semakin sesak dan sulit. Berbagai fragmen ingatan terlintas dalam benakku. Semua yang terjadi selama beberapa tahun ini. Bayangan akan kebahagian kebersamaanku dengan Bastian dan Zahra. Ternyata semua itu hanyalah sandiwara belaka. Kepalsuan yang tak memiliki nilai yang berarti sedikitpun. Sudut bibirku terangkat sebelah, menertawakan kebodohanku. Aku benar - benar bodoh dan buta. Tapi semua hanya menjadi penyesalan dan tak ada cara untuk memperbaiki semuanya.  Aku bahkan sudah tak bisa lagi merasakan kaki dan tanganku. Aku tau kematianku semakin dekat. Tapi aku masih tak terima. Aku tak terima dengan kematianku yang seperti ini. Tapi sekeras apapun aku berteriak, kegelapan perlahan mulai mengambil alih kesadaranku. Suara beep yang panjang dari mesin EKG terdengar perlahan menghilang. Hanya ada penyesalan dan amarah dalam diriku. Di detik terakhir kesadaranku, aku berharap bisa menjadi hantu gentangan, dengan begitu aku bisa menghantui pasangan b******k itu. Aku berharap aku bisa membalaskan sedikit saja rasa sedih, sakit dan amarahku ini. "Kayla." Suara panggilan terdengar samar menarik perhatianku. "Kayla!" Sekali lagi suara itu terdengar namun kini dengan nada tinggi. Aku membuka mata dan langsung memejamkan mata dengan mengerutkan kening akibat sinar cahaya yang terlalu silau memasuki rentinaku. "Kayla." Panggil suara itu lagi. Kali ini aku perlahan membuka mata, mengerjap beberapa kali sebelum membuka mataku sepenuhnya. Langit-langit berwarna putih terlihat jelas di atasku. Bau cairan disinfektan memenuhi hidungku. Apa aku tidak mati? Apa aku berhasil diselamatkan? Apa dokter datang tepat waktu? Apa tuhan mendengarkan doaku? "Kayla, akhirnya kau bangun." Tiba-tiba tubuhku dipeluk dengan erat. Membuat aku terkejut sesaat dan menunduk ke arah orang yang memelukku. Seorang gadis dengan rambut pendek sebahu memeluk tubuhku. Siapa dia? Pertanyaanku terjawab dengan cepat saat gadis itu mendongak dan menatapku dengan raut wajah sedih. "aku sangat khawatir dan takut saat kau pingsan tadi." Ucap gadis itu dengan setetes air mata jatuh menyusuri pipinya. Gadis yang sangat kukenal. Dia adalah Zahra, jalang b******k yang mengaku sahabatku. Tapi ... mengapa wajahnya terlihat sangat muda dan rambutnya pendek. Bukankah rambutnya masih panjang beberapa saat yang lalu? Dan ada apa dengan ekspresi wajahnya yang khawatir dan cemas itu? Bukankah dia seharusnya sedih karena aku sama sekali tidak meninggal?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN