Tiga malam setelahnya, Jullian kembali memergoki Natasha yang kini sudah mengganti rute membagi-bagikan nasi bungkus ke daerah yang lebih ramai dari beberapa malam sebelumnya. Dalam hati Jullian bersyukur dirinya sempat menoleh ke arah trotoar saat melihat sosok gadis yang pernah ia lihat sedang membawa beberapa bungkus nasi dan membagikannya kepada orang-orang yang sedang duduk di emperan toko.
Seperti sebelumnya juga, dia memutuskan untuk menunggu di dekat parkiran motor.
Natasha tidak akan suka ia membutuntinya, namun sejak pertemuan pertama mereka, Jullian sudah penasaran. Kenapa masih ada seorang gadis di malam hari, sendirian membagi-bagikan makanan pada orang lain?
Motornya bahkan pernah mogok.
Jika ia kelebihan uang, harusnya digunakan saja uangnya itu untuk membeli motor baru.
Aneh, bukan?
Saat melihat Natasha kembali usai menunaikan tugasnya, Jullian melemparkan senyum kepadanya.
"Hai, kita ketemu lagi." Katanya ramah.
Natasha mengangguk pelan, lalu berjalan menunduk menuju motornya yang terparkir di sebelah tempat Jullian berdiri.
Seakan tahu bahwa ia akan segera pergi, Jullian menahan motor Natasha.
"Permisi." Katanya gugup.
Jullian tertawa.
"Kenapa jadi panik? Rileks, aku nggak bakalan menculik kamu."
Natasha menghela napasnya.
"Maaf, bukan begitu. Saya sudah harus pulang sekarang." Katanya sopan.
Jullian menggeleng lalu melirik arlojinya sendiri.
"Ini baru jam setengah delapan. Orang barat bilang, hari masih sore."
Dengan panik Natasha memperbaiki posisi gagang kacamatanya yang melorot karena keringat, tidak lama ia mendekati motornya, tidak peduli pada akhirnya Jullian malah duduk di atas joknya sambil mencoba menyalakan benda itu walau tahu, Natasha memegang kuncinya.
"Ini di Jakarta Barat, dan orang bilang, jam segini sudah malam." Balas Natasha.
Jullian tertawa.
"Mau minum kopi?" Ajaknya, tanpa basa-basi, membuat Natasha mengerutkan alis.
"Nggak, makasih."
Penolakan gadis itu tidak membuat Jullian menyerah.
"Kamu lebih suka teh?"
Natasha menggeleng.
"Bikin sakit perut." Katanya jujur. Jullian tertawa.
"Minum apa kalau begitu?"
"Air putih" Natasha membalas dengan enggan. Ia masih berharap Jullian akan segera enyah dari atas motornya, namun pria itu tetap belum menyerah.
"Gimana kalau makan? Aku tahu warung yang jual makanan enak dan murah."
Natasha menggeleng.
"Maaf, saya tidak pergi dengan orang asing."
Julian mengusap puncak kepalanya dengan tangan kanan.
"Aku bukan orang asing. Yang memperbaiki motor mogok kamu kemarin itu aku, kalau-kalau kamu lupa."
Natasha menghela napasnya.
"Anda minta ganti rugi?" Ia mulai merogoh-rogoh kantong celana, mengeluarkan sejumlah uang yang kemudian ditolak oleh Jullian.
"Woow, jangan mikir begitu. Aku nggak minta ganti rugi. Malam ini bertemu denganmu, kita pernah kenalan, nggak ada salahnya mampir makan atau sekedar minum air mineral dipelataran Maret-Maret.
Natasha tersenyum, begitu manis hingga membuat Jullian kembali teringat seseorang. Dia tetap saja tidak mengetahui siapa orang itu walau sudah beberapa hari berlalu.
"Saya nggak punya waktu banyak." Jelasnya.
Jullian mengangguk.
"Banyak atau sedikit tidak masalah."
Natasha tahu, Jullian tidak akan menyerah. Pria itu bahkan tidak berniat turun dari motor bututnya. Ia menghela napas lagi setelah melirik jam tangannya. Sebuah arloji perempuan model klasik dengan tali kulit berwarna hitam. Sangat sederhana untuk ukuran tahun dua ribu delapan belas.
Jullian tersenyum melihat tingkah Natasha yang kebingungan.
"Ada minimarket dekat sini. Lima atau sepuluh menit juga boleh, sebagai ucapan terima kasih.
"Kalau tahu anda pamrih, harusnya kemarin tidak usah membantu saya." Gumamnya.
Jullian menangkupkan dua tangannya di depan d**a.
"Sorry, mengecewakanmu."
Tapi Natasha tahu ia tidak terlihat menyesal sama sekali.
"Oke, tapi hanya sebentar saja." Katanya yang segera disambut senyuman di wajah Jullian yang tampan.
Pria itu langsung mengulurkan tangannya.
"Kunci motor? Biar aku yang bawa."
Natasha menatapnya tidak percaya.
"Bukannya kita pergi sendiri-sendiri?" Ia berkata dengan gugup. Bahkan Jullian bisa melihat Natasha meremas ujung bajunya yang hari ini berwarna hijau lumut.
Jullian menggeleng.
"Malam minggu, pasangan jalan berdua, benar?"
Natasha berniat protes tapi Jullian sudah menepuk-nepuk jok penumpang berharap gadis itu segera naik tanpa banyak perlawanan.
Pada akhirnya ia tersenyum saat mengetahui Natasha menyerah dan mengangsurkan kunci motor pada Jullian.
"Sebaiknya cepat. Saya buru-buru setelah ini." Katanya saat duduk di belakang pria itu.
Jullian mengulum senyumnya.
"Akan lebih cepat kalau kamu pegang pinggangku. Kita tidak mau ada penumpang yang terluka setelah ini."
Natasha mendengus.
"Cuma ke minimarket, bukan off road." Gerutunya.
Jullian memutar gas dengan sedikit keras, membuat Natasha kemudian meletakkan lengannya di sekitar pinggang pria itu.
Jullian tersenyum, lalu memacu motor dengan kecepatan sangat lambat.
Malam ini harusnya panjang, dan ia tidak akan keberatan untuk itu.
***
"Black Widow?"
Natasha mengangguk saat Jullian memandanginya yang sedang mengunyah mie instan dalam cup yang mereka seduh setelah berdebat hendak makan di mana selama dua menit.
"Dia jadi janda karena suatu alasan." Natasha menjelaskan.
"Oh, ya?" Jullian tampak tertarik ketika Natasha menceritakan tentang tokoh pahlawan super favoritnya setelah beberapa menit mengobrol tidak jelas.
"Sebenarnya oleh KGB, dia disuruh menikah dengan pilot penguji Soviet yang terkenal, Alexei Shostakov, tapi oleh pemerintah Soviet, Alexei diminta menangani satu tugas baru, The Red Guardian, yang mana dilarang untuk berhubungan lagi dengan istrinya. Jadi oleh mereka, dia dibilang meninggal, lalu Black Widow menjalani pelatihan terpisah oleh suaminya, sebagai agen rahasia.
"Wow." Seru Jullian kagum saat Natasha mengakhiri ceritanya.
"Wanita bisa kuat juga."
Natasha tertawa.
"Butuh tenaga yang besar untuk jadi seorang wanita. Dia tidak hanya berjuang untuk dirinya, ada suami dan anak-anak. Lemah tidak akan membuat keluarganya hidup dengan baik. Wanita adalah manager yang paling hebat."
Jullian mengangguk, setuju dengan pemikiran Natasha.
Setelah dua menit melanjutkan obrolan, Natasha kembali melihat jam tangannya.
"Sudah terlalu malam. Saya harus pulang." Katanya panik, lalu berdiri dan membereskan sisa-sisa bungkus makanan mereka.
Jullian ikut berdiri dan membawa cangkir styrofoamnya yang telah kosong ke dalam bak sampah dekat mereka.
"Besok kita bisa bertemu lagi?" Tanyanya.
Natasha dengan cepat menggeleng.
"Nggak tahu. Ia dengan cepat berjalan ke arah parkiran sementara Jullian menyusul dari belakang.
Ketika akan menyalakan motornya, Natasha meraba-raba saku celananya, kebingungan.
Lalu Jullian tersenyum sambil menjulurkan kunci motor gadis itu.
"Besok, bertemu lagi?" Pintanya.
Natasha menggeleng.
Jullian tersenyum lalu memasukkan kembali kunci motor milik Natasha ke sakunya lalu berjalan mundur menuju bangku yang sebelumnya mereka duduki di pelataran minimarket.
"Oke, besok kita ketemu. Tolong kunci motornya, saya buru-buru." Tangan Natasha sudah terulur dan mulai terlihat panik.
"Besok kita ketemu, kedengarannya bagus." Jullian mengulurkan kunci Natasha.
"Dimana?" Lanjutnya.
"Satu blok dari sini." Balas wanita itu.
"Jam yang sama?"
Natasha mengedikkan bahunya.
"Tergantung, saya tidak bisa memastikan." Ia mulai memasukkan kunci ke lubangnya, danwrasa lega ketika ia mengengkol dan motornya langsung menyala.
"I'll be waiting." Kata Jullian sambil memasukkan tangan di kedua saku celananya.
"Anda bawa mobil?" Tanya Natasha saat sadar ia akan meninggalkan pria itu sendirian di sana.
"Worry not about me. Pria tidak pernah mempermasalahkan jalan pulang. Dia hanya butuh rumah untuk tahu jalan mana yang akan dia tempuh." Jawabnya diplomatis.
Natasha tidak menjawab. Ia sibuk memasangkan helm di kepala saat tadi Jullian bicara.
"Oke, dah." Katanya pendek.
Jullian tersenyum, lalu melambai saat motor Natasha sudah melaju dengan pelan.
Sampai bertemu lagi, obat tidurku.
***