Bunyi keletak keletuk sepatu berhak setinggi tujuh senti berwarna hitam bergema di sepanjang lobby gedung Rizaldi Tower berlantai enam puluh satu. Pemiliknya, Irena Rizaldi yang baru kembali dari mengunjungi pemakaman orang tuanya terlihat memasuki lift diikuti Liz, sahabatnya yang merangkap menjadi sekretaris direktur utama.
Setiba di dalam lift, Irena segera melepaskan kaca mata hitam yang sedari tadi ia gunakan agar orang-orang tidak melihat apa yang sedang ia rasakan pada saat ini, namun saat berada di dalam lift dan hanya berdua dengan sahabatnya, ia kembali membuka topengnya dan berusaha menjadi dirinya sendiri, kesepian.
"Jadwal aku hari ini, Liz?" Tanyanya sopan. Liz yang sedari tadi menatapnya dengan wajah sendu, segera membolak balikan organizernya.
"Jam sembilan rapat dengan mentri ekonomi di gedung kementrian ekonomi, jam sebelas kita pertemuan dengan rombongan LSM kelautan, mereka mau bicara soal pabrik kita yang katanya mengganggu ekosistem."
"Sampai jam berapa?"
"Hanya sharing, tiga puluh menit cukup, setengah jam setelahnya kita langsung ke pabrik, ada tim audit mau inspeksi kelengkapan data."
Irena mengangguk.
"Jam setengah satu sampai jam tiga" Liz melanjutkan.
Irena menghela napasnya. Kemungkinan ia akan makan siang di dalam mobil kalau begitu.
"Kita ada rapat di Bogor, sekalian mengecek sejauh mana pembangunan Hotel Rizaldi cabang Bogor."
"Jam empat kita ke stasiun tivi Lima, ada wawancara di acara bisnis ekonomi."
"Sekitar jam tujuh ada acara dengan direksi, kakek ingin bertemu. Di hotel Rizaldi yang di Senayan."
Irena memijat kepalanya. Beberapa pertemuan yang lalu tidak berakhir baik.
"Makan malam?"
Liz menggeleng.
"Charity gala, sekalian."
Gadis itu mendesah.
"Bilang sama Diana ambil gaun aku dirumah. Yang mana saja. Langsung antar ke kantor, mungkin sore kita masih sempat buat ganti baju."
Liz menggeleng.
"Kita dari Bogor jam segitu, nggak akan sempat. Kecuali pagi ini kita ambil. Tapi aku nggak yakin. Sebentar lagi kita harus berangkat, kamu cuma sempat ke atas buat tanda tangan beberapa berkas." Kata Liz.
Irena kembali memasang kacamata hitamnya saat mereka tiba di lantai tempat kantornya berada.
"Kita mampir ke butik nanti." Katanya. Liz mengangguk, dan menuliskan sesuatu dalam organizernya.
"Atau aku bisa minta mereka kirim foto bajunya, kamu pilih satu, minta dikirim langsung ke hotel, ganti baju di sana, gimana?"
Irena mengangguk. Tepat saat mereka sudah di depan pintu kantornya.
"Boleh. I owe you a lot, sist."
Liz mengangguk.
"Anytime." Balasnya, tepat sebelum Irena berbalik menuju kantornya.
Liz kemudian duduk di kursinya, tidak lama, seorang pemuda berumur sebaya dengannya dan juga Irena datang mendekat. Setelan jasnya yang pas di badan membuatnya terlihat gagah. Liz tersenyum padanya saat ia mendekat.
"Dia sudah di dalam?" Tanyanya. Liz mengangguk.
"Sudah ada telepon dari Nick?" Kali ini Liz menggeleng. Kemudian Liz mulai bicara.
"Kamu ikut, kan hari ini, Dan? Aku nggak kuat kalo sendirian sama dia hari ini, kalau harus meninggalkan dia sebentar, takutnya seperti minggu lalu, dia menghilang sementara aku sibuk booking restaurant. Jadwalnya padat, aku nggak bisa nyari dia sendirian, kamu tahu kan?"
Daniel mengangguk.
"Nggak masalah. Memang sudah tugas aku, kan?" Katanya.
"Makan siang bareng?" Dia menawarkan, membuat Liz tersenyum.
"Jelas. Kita bakal lunch dalam Mercedes."
Daniel menatapnya takjub.
"Wow. Jarang terjadi."
"Benar, tapi kalau kamu bersama Irena, kamu bisa makan dimana saja." Balasnya.
"Aku akan sangat terhormat, kalau begitu." Katanya sambil menekan d**a kirinya. Membuat Liz terkekeh.
"Aku tunggu di lobby, ya. Kalau dia turun, telepon aku." Kata Daniel pada akhirnya.
"Oke, Dan." Balas Liz, sambil melambai padanya.
Daniel, seperti juga Liz, Rose dan Mary adalah teman satu angkatan Irena. Sejak SMA dia telah direkrut khusus oleh ayah Irena untuk mengawal gadis itu, sebagai ganti bodyguard yang ditolak mentah-mentah olehnya. Jadi, sejak saat itu, Daniel yang memang punya bakat bela diri, ditugaskan khusus untuk melindungi Irena. Bahkan saat kedua orang tuanya terbunuh, Irena memang sengaja dijauhkan agar ia terlindung dari serangan penjahat yang memang mengincar nyawanya juga keluarganya.
Hari ini, juga menjadi pekerjaan rutinnya mengawal gadis itu kemanapun dia pergi. Daniel akan senang hati melakukannya. Setidaknya itulah yang bisa ia lakukan untuk Irena, yang berubah begitu banyak sejak ditinggal orang tuanya. Yang bisa mereka lakukan sekarang hanyalah membuat gadis itu merasa tidak sendirian walaupun dirinya, Liz atau pun Mary tidak bisa berada di sisinya sepanjang waktu.
Setelah aktivitas mereka yang padat seharian selesai, menjelang malam ketiganya tiba di Rizaldi Hotel Senayan. Hotel bintang enam dengan tiga puluh lima lantai dengan berbagai fasilitas kelas atas yang akan memanjakan tamu yang datang ke sana.
Mereka menuju salah satu ballroom utama tempat Charity Gala yang diadakan oleh Richard Rizaldi, kakek Irena, pemimpin Rizaldi Enterprise.
Irena juga telah berganti gaun malam yang pas dengan tubuhnya, terbuat dari bahan tulle dan dihiasi kristal yang bertaburan di seluruh gaunnya, dengan ekor berjuntai, walau tanpa lengan namun membuatnya tampak mempesona, apalagi dia mencepol rambutnya, menampakkan lehernya yang jenjang dan menggoda mata lelaki yang melihatnya.
Namun Irena tidak peduli. Gaun itu pilihan Liz, dia menggulung rambutnya karena tidak banyak waktu yang tersisa usai menghadiri wawancara dengan stasiun TV tadi, sementara Richard Rizaldi terus menghubungi ponselnya bagai mereka tidak akan pernah bertemu lagi.
"Kakek ada di depan podium." Kata Liz dengan setengah berlari saat mereka masuk ke ballroom dimana hampir seluruh perhatian para tamu langsung tertuju ke arahnya.
Irena nyaris tidak memperdulikan mereka hingga padangannya kemudian tertuju pada seseorang yang kini tengah berbincang dengan kakeknya.
Pria itu.
Ia menghentikan langkahnya, membuat Liz yang berada di belakang Irena tidak sengaja menabraknya.
"Sori, Ren." Katanya.
Mata Liz kemudian mengikuti kemana arah Irena memandang, dan sama seperti Irena yang terdiam, Liz berdecak menandakan dia tidak suka dengan apa yang dilihatnya saat ini.
"Wah...wah. Jullian pacarnya nona Rose lalala."
Irena tidak bereaksi pada ucapan Liz yang mengejek sahabat mereka sendiri, karena ia tahu, Liz selalu melakukan itu kepada siapapun, kecuali padanya. Ia hanya diam menatap kakeknya yang berbincang sambil tertawa dengan pria itu. Ia juga membalas obrolan kakeknya, karena gesture tubuhnya tampak sekali menikmati obrolan saat itu.
"Kakekmu mengundang dia?" Liz bicara lagi. Irena menggeleng.
"Aku tidak tahu. Malah dengan adanya dia disamping kakek saat ini, aku bingung harus memutuskan tinggal atau pulang." Lalu ia menoleh pada Liz.
"Menurutmu bagaimana?"
Liz mengangkat bahunya.
"Aku juga tidak tahu. Itu kakekmu, omong-omong, bukan kakekku. Terakhir kali kamu kabur, kalian saling mendiamkan selama beberapa minggu, sampai dia harus menyuruh orang untuk menjemput kamu."
Irena menghela napasnya. Bukan ide bagus meninggalkan kakeknya di tengah pesta seperti ini, namun mendatanginya saat pria itu ada disana, ia yakin, bukan ide yang lebih baik juga.
"Daniel mana?" Tanya Irena membalikkan tubuhnya agar sang kakek tidak mengetahui kemunculannya.
"Di depan. Mau aku panggil?" Tanya Liz, yang segera dibahas oleh anggukan Irena. Liz langsung menggunakan bluetooth headsetnya untuk memanggil Daniel
"Dan, kamu masuk, ya." Pintanya.
"Kami di samping kanan podium."
Liz kemudian memutuskan sambungan teleponnya, dan kembali pada Irena yang terlihat panik. Ia tahu jelas kenapa gadis itu bertingkah seperti itu. Di tempat yang lain sebelum ini, ketika mereka bertemu, Jullian tidak akan segan meninggalkan tempat ia berada jika ada Irena disana. Bahkan pernah saat Irena mengunjungi Rose, sambil membawa oleh-oleh yang ia bawa dari bepergian, ia merebut dan membuang oleh-oleh tersebut tepat di depan wajahnya.
Daniel muncul tidak lama kemudian, mendapati mereka berdua yang memang mengharapkan kehadirannya.
"Ada apa?" Tanyanya heran. Liz yang menjawab.
"Jullian."
Mendengar nama Jullian disebut, Daniel langsung paham. Ia membelai bahu Irena berusaha menenangkannya.
"Tidak apa-apa, oke? Dia tidak menakuti kamu. Jangan panik."
Irena mengangguk, namun Daniel tahu kenyataannya gadis itu memang panik.
"Itu dia cucuku tersayang."
Suara Richard Rizaldi mengagetkan mereka.
"Tarik napas." Daniel memberi saran. Irena mengangguk, lalu memutuskan untuk menoleh pada kakeknya, dan pria itu masih berada di sana, menatapnya dengan rahangnya yang mengeras.
"Irena, kesini dan peluk kakek." Suruh Richard. Takut-takut, Irena mendekati kakeknya, berusaha memasang wajah sedatar mungkin. Ia tidak ingin pria itu tahu bahwa ia gugup berada di dekatnya.
Saat ia mendekat dan memeluk Richard. Kentara sekali bahwa suasana mulai tidak nyaman. Namun Richard yang tidak mengetahui perselisihan keduanya menyuruh Irena menjabat tangan Julian. Walau canggung, mereka berdua melakukannya juga.
"Hai." Irena berusaha tersenyum, dibalas dengan anggukan saja oleh Jullian.
"Bagus! Bagus!" Kata Richard saat melihat mereka berdua bersalaman.
"Sudah lama aku tidak lihat kalian berdua akrab seperti ini. Jullian, bagaimana kalau dansa pertama bersama Irena?" Pria tua itu menawarkan. Irena langsung menggeleng.
"Kakek, aku tidak bisa lama."
Wajah Richard langsung berubah kuyu. Ia pun menatap Jullian yang sepertinya juga tidak menyukai ide itu.
"Yah, baiklah. Orang tua seperti aku bisa apa. Kalian anak muda lebih banyak rencana, hidup masih panjang. Sementara aku, waktuku bisa kapan saja. Kalau kamu mau pulang, silahkan Irena. Biar kakek tua ini membusuk di sisa umurnya."
Liz yang berada didekat mereka tidak bisa menghentikan diri untuk tersenyum sambil menyikut perut Daniel yang pura-pura tidak melihat.
"Old man and his drama." Katanya.
Irena yang merasa serba salah langsung mengejar kakeknya.
"Bukan begitu, kakek tahu aku tidak bisa lama..." Dia memberi alasan.
"Selalu seperti itu, Irena. Perusahaan tidak akan jatuh hanya karena kamu menghabiskan waktu lima menit untuk berdansa."
Irena menatap Daniel dan Liz untuk meminta pertolongan yang kemudian diabaikan saja oleh mereka berdua yang memutuskan untuk menuju meja hidangan.
Irena mengurut pelipisnya. Ia bahkan tidak berani lagi melirik Jullian sejak bersalaman tadi.
Richard kemudian memilih duduk di sebuah sofa dekat podium, berusaha bernapas karena tiba-tiba ia terlihat kepayahan.
"Umurmu sudah dua puluh tujuh, Ren. Bisa kamu hitung berapa umur kakek?"
Irena yang saat ini tengah membantu kakeknya untuk meluruskan kaki menjawab seadanya.
"Umur kakek tujuh puluh empat. Tidak akan mati sebelum umur kakek seratus dua puluh tahun."
Richard terkekeh.
"Dan kamu masih tidak mau mengabulkan permintaan kakekmu?" Katanya dengan wajah penuh permohonan.
Aku tidak bisa. Yang kakek minta untuk berdansa denganku adalah Jullian.
"Oh, Tuhan. Malangnya nasib hambamu ini. Aku cuma meminta dia berdansa, dia menolaknya, seakan aku hendak menyuruhnya masuk ke kandang singa."
Dia memang singa gila, pikir Irena.
"Ren?" Pinta kakeknya sekali lagi. Irena menggeleng, rasanya ia harus pergi sebelum manusia di belakangnya itu makin menusukkan tatapan tajam, yang walau tidak dilihatnya, namun nyata adanya.
"Maaf, kakek." Irena mengedikkan bahunya.
"A dance won't kill."
Suara milik Jullian menyebabkan langkah kaki Irena yang berniat menjauh menjadi terhenti. Richard langsung tersenyum kemudian melayangkan pandangan pada cucunya.
"Kamu benar mau menolaknya? Bukankah itu tidak sopan, Irena?"
Gadis itu membalikkan tubuhnya, dan melihat Jullian sudah mengulurkan tangannya, walau raut muka pria itu tidak sinkron dengan tangan dan ucapannya.
Dia terpaksa karena tidak tega melihat kakek memohon-mohon. Kata Irena pada dirinya sendiri.
Tidak butuh waktu lama, musik segera mengalun dan pasangan itu memulai dansa pertama, diiringin tatapan ratusan pasang mata yang merasa kalau mereka berdua adalah pasangan yang sangat romantis.
Padahal keduanya nyaris tidak bersuara dan bertatapan. Irena malah sibuk memejamkan matanya, berharap yang terjadi saat ini hanya mimpi.
Lalu, ia tersadar bahwa Jullian masih memakai parfum yang sama sejak bertahun-tahun yang lalu. Ia membuka matanya, mencoba melirik pria itu, namun hanya sekejap, karena ia kembali memejamkan matanya.
Parfum yang Jullian pakai adalah pemberiannya bertahun-tahun yang lalu. Irena ingat sekali, mungkin parfum yang asli sudah habis, tapi mengetahui bahwa Jullian masih memakai merk yang sama setelah waktu yang lama, mau tidak mau membuatnya tersenyum.
Sesuatu pernah terjadi di antara mereka dulu, dan semuanya berubah sejak insiden itu. Berada dalam pelukan Jullian saat ini seperti membuka kembali memori yang telah lama.
Tidak. Ia tidak boleh sentimentil seperti ini. Seorang Irena hanya boleh mengurusi perusahaan Rizaldi. Tidak ada waktu untuk bernostalgia.
Lima menit waktu dansa mereka telah usai. Seperti yang sering ia lakukan, Jullian langsung melepaskan tubuh Irena, lalu meninggalkannya sendirian disana. Seolah yang baru saja mereka lakukan tidak berarti apa-apa.
Memang, tidak ada artinya sama sekali.