Bab 1. Siasat Terencana
"Amanda, syukurlah kamu masih di sini."
Samar suara terdengar, kepala Amanda kini menoleh. Di antara dua pintu yang terbuka, berdiri rekan kerjanya yang dua belas menit lalu pamit pulang.
Sejenak Amanda merehatkan diri, usai jari-jemari yang hampir kaku berhadapan dengan hamparan huruf pada keyboard.
"Memangnya ada apa?" Bibir Amanda mengulas senyum amat ramah.
"Pak Mario memanggil kamu ke ruangannya."
Usai amanat disampaikan, lelaki tersebut langsung berjalan pergi, raut wajah pun nampak tak senang. Kemungkinan dicegat di tengah jalan ketika sedang terburu.
"Aku akan ke sana," sahut Amanda.
Segera Amanda merapikan tumpukan berkas di atas kubikel. Helaan napasnya meresap amat ramah di antara divisi yang sepi.
"Pada akhirnya tetap melembur di rumah," gumam Amanda sembari mematikan komputer.
Tangan Amanda meraih tas dengan kaki melangkah, ia jelas tak ingin membuang waktu. Sepanjang berjalan, Amanda tak perlu menebak perihal apa yang membuat Mario mencarinya di jam pulang.
"Maksud kamu apa, Amanda?"
Pemilik perusahaan Yoo ini langsung mengajukan pertanyaan begitu Amanda tiba dengan punggung dia yang bersandar pada kursi. Jemari meletakkan amplop terbuka di atas meja kerja yang ramai.
"Seharian menemani client, begitu kembali aku menerima surat pengunduran diri," singgung Mario.
"Kamu ada masalah apa di perusahaan?" Raut wajah Mario nampak penasaran.
Amanda sedikit menundukkan kepala. Bicara dengan Mario, harus benar-benar menggunakan alasan yang masuk akal.
"Saya ingin mencoba hal baru. Kebetulan perusahaan Sanata sedang membutuhkan sekretaris."
Sanata dan Yoo saling terhubung setelah terjalinnya pernikahan politik antar anak sulung. Mario tentunya tahu Sanata sedang membuka lowongan secara terbuka.
"Kalau cuma posisi sekretaris, tanpa kamu pergi ke Sanata pun, kamu bisa mendapatkannya."
Amanda tersenyum. "Saya tidak ingin berurusan dengan Pak Arifin."
Orang yang dibicarakan oleh Amanda memasuki ruangan sembari membawa dokumen. Sorot mata lelaki tersebut nampak bingung, tiba-tiba saja nama disebut tanpa alasan.
Lelaki yang hanya selisih dua tahun lebih tua darinya, mulai berdiri tak jauh dari Amanda.
"Ini dokumen yang Bapak inginkan."
Mata Arifin sempat melirik surat pengunduran diri Amanda di atas meja.
Tarikan napas Mario lebih parah setelah kedatangan Arifin.
"Kamu pulanglah, persoalan pengunduran diri itu akan aku pertimbangkan," ujar Mario tak mampu sembarangan memutuskan.
"Kalau begitu saya pamit, Pak."
Setelah pamit, Amanda mulai meninggalkan ruang kerja Mario. Telinganya mendengar langkah yang mengejar dari belakang.
"Amanda," sebut Arifin pelan.
"Jangan lupa janji kita malam ini."
Amanda menoleh sembari tersenyum. "Tenang saja, aku bukan pelupa."
**
"Ini termasuk kencan?"
Jemari Amanda meraih heels yang telah dipilah. Mata Amanda memandang Dini, sahabatnya yang berdiri di antara lemari wardrobe.
"Bisa dibilang, aku seorang pengacau," sahutnya sembari tertawa.
Respon dari Dini hanya decakan kesal. Tangan yang mengembalikan beberapa barang pilihan ke dalam lemari, menandakan sahabatnya ini tak senang.
"Aku bisa datang ke Vanesa dan meminjam barang padanya," ujar Amanda tenang sembari melepas heels dari kakinya.
Sorot mata Dini memandang kesal. "Bukannya aku tak bersedia meminjamkan. Hanya saja, kalau kamu tak segera cari kekasih dan menikah ...."
Tarikan napas Dini begitu kesal. "Selamanya kamu bakal terpenjara di sana!"
Rumah yang biasanya disebut tempat untuk berpulang. Justru terasa seperti jurang bagi Amanda.
"Bermain catur tanpa strategi, peluang menang diawal memang besar, tapi belum tentu pemenang asli."
"Begitupun denganku, butuh strategi untuk keluar."
Dini menggelengkan kepala, merasa tak mampu mencerna maksud dari ucapan Amanda. Wanita tersebut mengambil tas secara asal dan memberikan pada Amanda.
"Pakai ini dan segera pergilah! Lalu jangan kembali jika hanya untuk menangis."
Amanda tersenyum. "Aku tidak akan menangis, kamu tenang saja."
Menggunakan kendaraan sewa, Amanda nampak memasuki sebuah restoran bintang lima. Dari sini, semua sifat buruk Amanda harus dikeluarkan.
Ketika mata telah menemukan sosok Arifin duduk di antara dua keluarga yang membicarakan perjodohan. Langkah kaki Amanda begitu pelan, bahkan heels mahal milik Dini pun dilepasnya.
"Sayang!"
Suara lantang dari Amanda hampir mengalahkan penyanyi yang mengisi acara di restoran. Bukan hanya Arifin, seluruh orang melirik pada Amanda yang melangkah tanpa alas kaki.
"Sedang apa kamu di sini?" tanya Arifin berpura.
Tubuh lelaki tersebut segera berdiri dari duduk hanya untuk menghampiri Amanda. Bahkan setelah tangan digenggam oleh sang ibu, Arifin mengabaikan.
Amanda melirik wanita yang dijodohkan dengan Arifin sangat tidak suka padanya. Namun, inilah peran Amanda malam ini.
"Arifin, siapa dia?" tanya wanita yang dijodohkan bernama Bella.
Cukup berani, Amanda mengakui. "Aku kekasih yang dijanjikan pernikahan olehnya."
Arifin memandang heran, merasa tak menyuruh Amanda untuk membicarakan pernikahan segala. Amanda mengambil gelas milik Bella dan langsung menyedotnya.
Namun, semua orang merasa jijik saat Amanda tersedak dan berujung memuntahkannya kembali pada gelas.
"Maaf, saya haus."
Gelas yang dikembalikan oleh Amanda dipandang jijik.
"Apa yang kamu lakukan!" Bella nampak sewot hingga berdiri dari duduk.
Namun, belum selesai. Amanda mencomot seluruh makanan yang ada di meja, benar-benar membuat ilfeel.
"Apakah ini daging babi?" sebut Amanda dengan mata melirik pada Bella.
Bella yang tak terima langsung keluar dari area meja dan berniat menghajar dirinya. Namun, Arifin langsung bertindak.
Tangan yang ditahan oleh Arifin membuat mata Bella terbelalak marah.
"Apa yang sedang kamu lakukan, Arifin!"
"Jangan sentuh dia, dia ini wanita yang aku sukai," ujar Arifin terdengar serius.
Ibu Arifin nampak tak senang dan hendak berdiri untuk memberi pelajaran. Namun, mata memandang kaget pada orang tua Bella yang berdiri lebih dulu dengan kesal.
"Bella, berhenti! Ayo kita pulang."
"Tunggu sebentar." Ibu Arifin segera berdiri.
"Maaf ya, Bu. Saya tidak mungkin menyerahkan anak saya pada lelaki yang sudah memiliki wanita. Terlebih wanitanya begini."
Mata ibu Bella memandang sinis ke arahnya. Lantas menarik paksa Bella untuk pergi dari sana dengan menahan emosi.
Tugas Amanda selesai, hingga bibirnya mengulas senyum pada Arifin yang menarik napas. Entah lega atau justru merasa ikut malu dengan kelakuan dari Amanda yang diluar rencana.
"Apa yang sedang kamu lakukan?"
Suara yang familiar itu membuat tubuh Amanda segera berbalik. Namun, tubuhnya membeku karena mendapati Mario berdiri di hadapannya dengan mata memandang penampilan dirinya.
Ibu Arifin yang mengenali Mario langsung menyapa. "Pak Mario."
Namun, Mario memilih peduli pada Amanda. Dia menghela napas sembari berjalan mendekat, itupun hanya untuk meraih heels dari tangannya dan diletakkan di dekat kaki Amanda.
"Pakai sepatumu."
"Bapak mengenal kekasihnya Arifin ini?" tanya ibu Arifin membuat sang anak merasa gugup.
Apalagi saat pandangan Mario tertuju tajam pada Arifin.
"Dia sekretarisku, lalu ... bukan kekasih siapa pun."
Jemari Mario terburu menyeka mulut Amanda yang belepotan karena makanan.
Tanpa mereka ketahui. Di pojokan resto, duduk seorang lelaki dengan ekspresi tertarik pada Amanda.
"Siapa wanita itu?"
"Sepertinya dia kekasih dari Mario, Pak Alan."
Mata Alan memandang sosok Amanda yang dibawa pergi oleh Mario.
"Cari tahu identitasnya sampai tuntas," pinta Alan.