"Huhh ..., akhirnya sampe rumah juga," keluh Yana.
Kerja lembur bagaikan kuda menyebabkan punggung dan pinggang Yana terasa pegal. Kuncir rambut itu mulai longgar. Pakaiannya terlihat lusuh. Kalau boleh jujur, rebahan adalah hal yang paling dia inginkan saat ini.
Kayana Seraphine, seorang anak dengan takdir yang menyedihkan. Terlahir dari keluarga kurang mampu membuatnya harus berusaha keras untuk bertahan hidup. Setiap hari, Yana harus bekerja menjadi pelayan coffee shop dan tukang sampah sekaligus.
"Yana," panggil sang ibu.
Maulin Philia, ibu dari Yana ini memang sengaja memberikan nama Kayana untuk sang anak dengan harapan bahwa anaknya bisa menjadi sultan yang kaya raya (Kayana diambil dari kata "kaya"). Maulin tidak ingin Yana bernasib seperti dirinya. Hidup dalam kemelaratan memang sangat menyiksa. Sekarang, mereka terpaksa tinggal di rumah yang memang sudah tidak kokoh lagi.
"Iya, Bu?" tanya Yana.
"Kemarilah, Nak," titah Maulin.
Yana pun mematuhi ucapan ibunya. Dia duduk di samping sang ibu. Mencoba mendekat ke arahnya.
"Kenapa, Bu?" tanya Yana pelan.
Rasa lelah dan kantuk sudah menghampirinya. Namun, Yana tetap tahu sopan santun. Keinginannya untuk segera melompat ke kasur empuknya itu terpaksa harus tertunda karena panggilan ibunya. Sebisa mungkin, Yana mempertahankan matanya yang sudah tinggal 5 watt itu.
"Ibu punya kabar bagus untuk kamu!"
Raut wajah Maulin terlihat semringah. Entah mengapa, Yana merasa bahwa hujan uang sempat terjadi di rumahnya tadi. Bukan apa-apa, ini pertama kalinya Yana melihat ibunya tersenyum lebar dan bersemangat seperti ini. Terakhir kali, Yana melihat ibunya senang adalah pada saat sebelum ayahnya meninggal dunia. Sejak pemilik nama Robin Teslano itu tiada, Maulin tidak pernah menerbitkan senyumnya lagi. Yang ada di pikirannya itu hanya uang, uang, dan uang. Maulin tidak munafik bahwa dia memerlukan uang untuk hidup di dunia ini. Sedikit banyak, Yana merasa sedih karena sang ibu banyak berubah setelah ditinggalkan oleh suami tercinta.
"Kabar bagus apa, Bu?"
"Kamu ingat Paman Sam, kan?!"
Yana berpikir sejenak, seolah mengingat-ingat nama Sam di otaknya. Sepertinya nama itu sudah tidak asing di telinganya. Tapi, kapan dia bertemu dengan orang bernama Sam itu?
"Masa kamu tidak ingat sih, Nak? Paman Sam itu sahabat papa kamu. Waktu kamu kecil, dia sering main ke rumah kita yang dulu ..., sebelum rumah kita udah berubah menjadi seperti sekarang."
"Makasihhh, Om! Yana suka banget sama bonekanya!"
"Sama-sama, Maulin Kecil. Panggilnya Paman aja, ya. Jangan panggil Om, hehe."
"Ohh, Paman Sam yang waktu itu. Iya, Yana ingat. Memangnya kenapa, Bu?"
"Sebelum kamu pulang, dia datang ke sini! Ibu ngobrol banyak sama dia. Dan apa kamu tau?! Dia berniat untuk menjodohkan kamu dengan anaknya! Ahhh, ibu sangat senang sekali, Yanaaaa!"
‘Apa? Dijodohkan?’ batin Yana.
"Terus, Ibu bilang apa sama Paman Sam?"
"Sudah pasti, Ibu bilang iya! Ibu sudah menyetujuinya, Nak! Kamu akan bahagia! Kamu tidak akan hidup susah lagi, Sayang! Kamu akan jadi istri dari pengusaha terkaya nomor 1 di Swiss!"
"Ibu bercanda, kan? Ibu pasti bohong!"
"Mana mungkin Ibu bercanda soal ini, Yana? Sebentar lagi, kamu akan menikah dengan orang kaya! Kesempatan seperti ini tidak boleh ditol—"
"Cukup, Bu! Yana itu bukan anak kecil yang bisa diatur-atur lagi! Setidaknya, Ibu harus tanya pendapat Yana dulu! Nggak, Bu! Yana nggak akan menyetujui perjodohan ini. Bilang ke Paman Sam kalau Yana menolak perjodohan ini!”
Maulin terdiam. Dia terkejut karena putri semata wayangnya tiba-tiba membentaknya. Untuk pertama kalinya, dia melihat Yana semarah ini.
Sementara itu, Yana yang sadar bahwa dia melampaui batas pun memilih untuk menenangkan dirinya. Dia menarik napasnya, mencoba untuk meredam emosi. Perkataan ibunya itu benar-benar membuatnya naik pitam.
"Huhh ..., Yana capek, Bu. Yana perlu istirahat, permisi."
***
"Ahhh, seger banget. Pagi yang cerah," gumam Yana sambil tersenyum kecil.
Kejadian semalam mulai berputar di kepalanya. Ya, sekarang Yana merasa bersalah. Membentak ibunya bukanlah sikap yang patut dibanggakan meskipun dia merasa sangat lelah kemarin. Bagaimanapun juga, membentak orang tua adalah perilaku tidak terpuji dan Yana sangat menyesali hal itu. Rasa lelah ditambah dengan rasa kesal memang membuatnya tak kuasa menahan diri. Tanpa sengaja, Yana malah melampiaskan semua itu kepada sang ibu.
‘Ya ampun, Yana ..., kenapa kamu nggak tahan diri kamu?’ ucap Yana dalam hati.
Baiklah, Yana tidak boleh terlalu lama menempel di kasurnya. Dia harus segera beranjak untuk mandi, mengingat sebentar lagi adalah waktunya untuk bekerja. Dan setelah selesai mandi, dia berencana untuk meminta maaf pada ibunya.
Di sisi lain, Maulin yang sedang menyajikan sarapan harus menghentikan kegiatannya karena ada orang yang mengetuk pintu.
Tok
Tok
Tok
"Iya, tunggu sebentar!" teriak Maulin dari dalam rumah.
Tak lama kemudian, pintu pun dibuka. Menampilkan seorang pria yang masih terlihat gagah di usianya yang sudah menginjak kepala 5.
"Selamat pagi, Maulin," sapa Sam.
"Pagi, Sam. Senang bisa bertemu lagi. Kamu pasti mau mencari anakku, ya?"
"Iya, betul sekali. Hari ini, aku berencana membawa Yana ke Swiss untuk bertemu dengan anakku. Aku tidak menyangka kalau Yana akan secepat itu menerima perjodohan ini," ucap Sam sambil tersenyum lebar.
‘Aduh, bagaimana ini? Belum tentu Yana mau ikut Sam ke Swiss. Kemarin saja dia menolak mentah-mentah perjodohan ini,’ batin Maulin.
"Maulin, ada apa? Wajahmu terlihat pucat," tanya Sam.
"Ahh, tidak. Aku hanya merasa sedikit khawatir saja. Mari, silakan masuk."
Yana yang awalnya sedang bersenandung dan berniat melangkahkan kakinya keluar rumah langsung mengurungkan niatnya tatkala dia melihat Sam dan Maulin sedang berbincang-bincang. Sebagai informasi, Yana harus melewati ruang tamu terlebih dahulu kalau dia ingin keluar rumah. Jadi, tidak mungkin dia harus melewati ruang tamu, sementara ada orang yang sangat ingin dia hindari sekarang, kan?
Yana kembali teringat dengan perjodohan yang dikatakan Maulin. Apakah Maulin benar-benar menerima perjodohan itu tanpa seizinnya? Bukankah itu agak sedikit keterlaluan, sekalipun dia adalah ibu kandung yang sudah merawatnya sejak kecil? Langsung menerima perjodohan tanpa bertanya terlebih dahulu mengenai pendapatnya memang terasa egois baginya. Terlebih lagi, Yana belum pernah melihat bagaimana rupa calon suaminya kelak. Ini tidak adil!
"Aku hampir lupa, Maulin. Aku tidak sempat menanyakan Robin. Bukannya aku bermaksud mengungkit masa lalu, tapi jujur saja aku baru mendengar kabar itu. Makanya, aku langsung cepat-cepat ke sini. Sebenarnya, apa yang terjadi pada Robin?" tanya Sam.
"Dia ... terkena serangan jantung, Sam," ucap Maulin pelan.
Membuka memori lama memang menyakitkan. Robin adalah suami terbaik untuk Maulin, bahkan sampai saat ini. Belum ada yang bisa menggantikan Robin di hatinya.
"Aku turut berduka, Maulin. Aku sangat menyesal karena aku tidak ada ada di saat Robin membutuhkanku," sesal Sam.
"Tidak apa-apa, Sam. Aku mengerti kondisimu saat itu. Lagi pula, ini memang sudah jalannya. Tidak ada yang perlu disesali," balas Maulin.
"Robin adalah orang yang baik. Dia pasti sudah tenang di sana. Apalagi, Yana sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik, pekerja keras, dan punya semangat yang tinggi. Aku yakin Robin akan senang melihatnya."
Yana sama sekali tidak berniat untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Dia tetap diam di balik dinding untuk melihat interaksi antara Sam dan Maulin. Membicarakan tentang ayahnya memang selalu membuatnya sedih.
"Iya, Robin dan Yana memang punya banyak kesamaan. Mereka berdua memang orang yang pekerja keras, tapi mereka berdua itu sama-sama ceroboh. Anak itu selalu saja membuatku khawatir. Entahlah, seluruh isi kepalaku hanya berisi tentang anak itu saja sejak Robin pergi. Saat ini, aku hanya akan lebih fokus untuk masa depan anakku," jelas Maulin.
Robin memang sosok lelaki yang sangat pengertian. Satu-satunya hal yang tidak Maulin sukai dari Robin adalah kecerobohannya. Mengingat kecerobohan Robin selalu membuatnya ingin tertawa. Tampaknya, Yana lebih banyak mewarisi sifat Robin dibandingkan dirinya. Garis-garis wajah mereka juga sangat mirip.
‘Ibu,’ panggil Yana dalam hati.
Yana sadar kalau sang ibu sangat menyayanginya. Wajar, kalau Maulin menginginkan kehidupan yang layak untuk anaknya, kan? Ibu mana yang mau melihat anaknya hidup susah? Sudah menjadi rahasia umum bahwa semua orang tua di dunia pasti ingin anaknya sukses.
"Apa ... aku terima aja perjodohannya, ya? Aku udah membebani Ibu terlalu banyak," gumam Yana.
Jujur, Yana tidak ingin merepotkan ibunya. Ditambah lagi, Sam sudah sangat baik sekali kepadanya. Sekarang, dia dilema. Haruskah dia menerima perjodohan yang tidak dia inginkan ini demi ibunya?
"Yana," panggil Maulin.
Tiba-tiba, Maulin menghampiri Yana sambil menepuk bahunya. Sial! Entah sejak kapan Maulin sudah berdiri di hadapannya. Yana yang terlalu sibuk dengan pikirannya itu tidak menyadari kehadiran Maulin.
"I-ibu."
Maulin tersenyum tipis. Dia tahu kalau anaknya sempat curi-curi dengar mengenai obrolannya dengan Sam tadi. Maulin memang sengaja meninggalkan Sam di ruang tamu dengan dalih bahwa dia ingin mengambilkan minuman. Maulin sudah melihat kehadiran Yana sejak tadi, jadi dia berinisiatif untuk menemui putrinya yang tidak mau keluar dari tempat persembunyiannya itu.
"Nak, Ibu tau kamu mendengar percakapan Ibu sama Paman Sam. Sekarang, Ibu minta sama kamu ..., tolong, pikirkan lagi soal perjodohan itu. Anak Sam itu orang kaya, Yana. Dia bisa menjamin kehidupan kamu. Kamu akan bahagia kalau bersama dengan dia. Sekarang, usiamu sudah menginjak 24 tahun. Sudah saatnya kamu serius untuk menemukan tambatan hatimu dan berpikir lebih jauh tentang masa depanmu. Kalau untuk masalah kuliah, kamu tidak usah khawatir. Kamu 'kan masih bisa kuliah setelah kamu menikah. Dan satu hal lagi, kamu akan mendapatkan mertua yang sangat baik. Kamu tau sendiri 'kan kalau Paman Sam itu sahabat dari mendiang papa kamu sekaligus sahabat Ibu juga. Percayalah, Ibu cuma mau yang terbaik buat kamu. Anggaplah ini adalah permintaan terakhir Ibu, Nak," tutur Maulin.
1
2
3
"Yana terima, Bu. Yana terima perjodohan itu."
Yana menerima perjodohan itu bukan tanpa alasan. Dia melakukan ini demi ibunya. Hanya demi ibunya, camkan itu! Yana tahu ibunya sangat senang, ketika dirinya akan menikah dengan putra tunggal Sam dan Mariam itu. Kalau ibunya bahagia, Yana akan melakukannya. Selama ini, ibu Yana tidak pernah menuntutnya untuk bekerja ataupun memintanya untuk melakukan hal berat. Menjadi pelayan coffee shop dan tukang sampah memang keinginannya sendiri. Maulin sempat melarangnya bekerja, tapi tekad Yana meyakinkan Maulin. Kalau ini adalah satu-satunya hal yang bisa dia lakukan untuk membuat ibunya bahagia, maka dia akan melakukannya.
"K-kamu serius 'kan, Nak?! Kamu tidak membohongi Ibu, kan?"
"Iya, Bu. Lagian, Paman Sam udah baik banget sama keluarga kita. Mungkin, udah seharusnya aku menerima perjodohan ini. Maaf, ya ..., kemaren Yana bentak-bentak Ibu. Yana sama sekali nggak bermaksud ngebentak Ibu. Yana cuma kecapekan aja."
Grep
"Terima kasih, Nak! Terima kasihhhhh! Terima kasih, Ibu senang sekali!" pekik Maulin.
Benar, kan? Ibunya terlihat sangat bahagia. Yana jadi ikut senang. Dilihat dari sifat Sam yang baik hati, harusnya anaknya juga kurang lebih seperti itu, kan? Semua orang juga tahu kalau perempuan itu pasti ingin mendapatkan suami yang baik. Ya, semoga saja anak Sam itu baik hati seperti ayahnya.
***
"Nah, Yana ..., ini adalah Dio, anak Paman. Dio, perkenalkan ini Yana. Dia adalah calon istri kamu," ucap Sam.
Setelah Sam dan Yana mendarat di Swiss, mereka segera pergi ke kediaman Sam. Kebetulan, putranya sedang berada di rumah saat ini. Tanpa basa-basi lagi, Sam langsung berniat memperkenalkan Yana padanya.
"Yana," ucap Yana pelan sambil menunduk.
Hening. Tidak ada balasan apa pun dari Dio. Jangankan menanggapi ucapan Yana, untuk menatap wajah Yana saja sepertinya Dio tidak sudi. Wajahnya memang datar, tapi tatapannya benar-benar menusuk di mata Yana. Menyeramkan sekali!
Odio Benedict Lectus, lelaki yang sudah mapan di usianya yang baru menginjak 22 tahun. Harta dan kekayaan yang melimpah itu seakan tidak ada habisnya bagi Dio. Saat ini, Dio sudah memiliki perusahaan besar, rumah yang mewah bak istana, deretan mobil berharga fantastis, barisan motor langka yang tak kalah epiknya, dan hal-hal mewah yang lainnya. Hidup serba tidak kekurangan membuatnya royal.
"Yana, sepertinya kalian butuh waktu untuk mengobrol. Paman tinggal dulu, ya," pamit Sam.
Bagus sekali! Sekarang, ruangan yang seluas ini hanya diisi oleh Dio dan Yana saja. Di rumah ini memang ada banyak pelayan, tapi mereka semua sedang berbondong-bondong membersihkan lantai atas. Sam memang pintar, kan? Menyisakan lantai 1 yang kosong hanya untuk sang anak dan calon menantunya.
‘Aduh, apa aku mending pulang aja, ya? Bau-baunya nggak enak nih. Auranya negatif banget di sini. Aku jadi merinding,’ batin Yana.
Tak lama kemudian, Dio mulai membuat pergerakan. Dio melangkahkan kakinya untuk duduk di sofa berbahan kulit itu. Menyesap teh hangat yang sudah tersaji dihadapannya.
"Duduk."
Deg
Suara bass yang seksi itu tiba-tiba muncul. Membuat Yana terkejut setengah mati. Apakah Dio berbicara padanya? Yang benar saja! Tadi, Yana sempat mengira kalau Dio adalah patung berjalan.
"M-maksudnya, a-aku boleh duduk?" cicit Yana sambil menunjuk dirinya sendiri.
Dio kembali menyesap teh hangat itu tanpa berniat membalas ucapan Yana. Oleh karena itu, Yana langsung berinisiatif untuk duduk di sofa yang sama dengan Dio. Hanya saja, duduk di sofa yang sama punya arti yang berbeda kali ini. Bayangkan saja! Dio duduk di ujung kiri sofa, sementara Yana duduk di ujung kanan sofa.
Setelah itu, tidak ada percakapan lagi. Keduanya sama-sama terdiam. Suasananya benar-benar hening. Tidak ada yang berniat membuka obrolan dan tidak ada juga yang berniat untuk sekadar menyapa. Dio sibuk meminum tehnya, sedangkan Yana sibuk memandangi sekeliling, kecuali ke arah Dio. Kegiatan yang unfaedah sekali tampaknya.