Beberapa saat kemudian, mobil yang dikendarai oleh Richo tiba di rumahnya.
"Sudah sampai, Dek!" ucapnya seraya menoleh namun ternyata adiknya itu sudah tertidur pulas.
Richo pun segera membangunkannya dengan cara memangil dan menggoyangkan tubuh Majarani.
"Dek, kita sudah sampai! Maja?!" ucapnya.
Mendengar ada yang memangilnya, Majarani pun terbangun dari tidurnya.
"Iya, sudah sampai ya?" tanya Majarani.
"Iya, sebaiknya kamu masuk duluan ya, kakak mau periksa mobil kakak dulu, sepertinya ada masalah!" pinta Richo.
"Baiklah!" jawab Majarani yang kemudian beranjak keluar dari mobil dan langsung berjalan ke arah rumahnya.
"Sepertinya ini sudah hampir jam 10 malam?" terka Majarani.
Setibanya di depan pintu, Majarani segera membuka pintu tersebut dan lantas masuk ke dalam.
Namun, setelah tiba di ruang tamu Majarani langsung diintrogasi oleh anggota keluarganya.
"Pintar ya, anak gadis main sampai malam!" marah Saka pada putrinya.
"Mau jadi apa kamu, hah? Mau mempermalukan keluarga Saka ya?" tuding Vina.
"Mungkin sebentar lagi dia akan hamil sebab dia nggak bisa jaga diri dengan baik!" ejek Meliza.
Hati Majarani terasa sakit kala mendengar hinaan dari keluarganya sendiri.
"Meliza saja sering keluar malam tapi nggak dimarahi, kenapa Maja dimarahi, lagipula ini hujan kemau—"
"Berani kamu menjawab, hah! Mau dikurung di gudang lagi, iya?!" ancam Saka seraya memotong jawaban sang putri bungsu.
"Maja hanya nonton film di bioskop, Yah!" jawab Maja dengan jujur.
"Alasan saja!" ucap Saka.
"Sepertinya Richo masih tugas, Mas. Dia belum pulang!" kata Vina yang memang belum mengetahui bahwa Richo sebenarnya sudah pulang bersama dengan Majarani.
"Kamu harus diberi pelajaran!" ucap Saka.
"Ayah, maafkan Maja! Maja janji nggak akan mengulanginya lagi!" Majarani berkata seraya memasang raut wajah takutnya kala merasa sang ayah akan bertindak kasar lagi padanya.
Sebuah tamparan mendarat cukup keras ke wajah Majarani hingga Majarani terjatuh ke lantai.
"Tamparan saja nggak cukup untuk membuatmu mengerti!" ucap Saka yang kemudian membuka gesper yang ia kenakan.
"Sepertinya sudah lama kamu nggak merasakan gesper ini? Semenjak kakakmu menjadi anggota 'kan? Baiklah, mumpung dia nggak ada maka ayah akan membuatmu merasakan gesper ini!" Saka berkata sambil tersenyum miring.
"Tapi setelahnya Kak Richo akan melihat bekas luka cambukan ayah!" ucap Majarani seraya bangkit berdiri.
"Dia nggak akan lihat, sebab ayah akan melukai bagian yang nggak mungkin bisa dia lihat!" jawab Saka.
"Punggungnya maksudmu, Mas?" tanya Vina pada suaminya sambil tersenyum.
"Iya, Richo nggak akan mungkin membuka baju adiknya, dia nggak akan tahu luka ini!" ucapnya yang kemudian hendak ringan tangan pada putri bungsunya, namun ia menyembunyikan gespernya ke belakang kala pintu terbuka dan terlihatlah Richo masuk ke dalam.
"Ada apa ini?" tanya Richo.
"Dia keluar malam, jelas 'kan bila ayah marah?!" jawab Saka.
"Lalu? Ayah mau memukulnya?" tanya Richo pada ayahnya.
"Enggak, hanya memarahinya!" jawab Saka.
"Benar begitu, Majarani?" tanya Richo seraya menoleh ke arah Majarani yang berada di sampingnya.
Majarani yang tak ingin kakaknya bertengkar dengan ayah kandungnya sendiri pun segera menjawab dengan bohong.
"Benar, Kak!"
"Majarani keluar bersama Richo dan tadi kami pulang bersama!" Richo menjelaskan.
"Kak Richo bohong, Yah! Orang tadi aku lihat Maja pergi duluan sebelum kakak!" adu Meliza.
"Ya sudah kalau kalian nggak percaya, nggak apa-apa!" ucap Richo yang kemudian mengajak adiknya pergi ke lantai dua untuk istirahat.
Keesokkan harinya, Majarani pergi ke meja makan untuk sarapan namun setibanya di sana ia melihat makanan sudah habis.
"Makanannya habis? Kalian nggak nunggu Maja? Kak Richo juga nggak nunggu?" tanya Majarani pada keluarganya.
"Em, bukankah ayah bilang kamu sudah makan?" tanya balik Richo pada adiknya.
"Mulai pikun tuh anak, padahal tadi aku lihat dia bawa makanan ke kamar, Kak!" bohong Meliza.
"Sudah makan 'kan tadi?" Pertanyaan Saka membuat Majarani membungkam mulutnya sebab ia tidak mau berkata jujur sebab akan terjadi keributan nantinya.
"Oh, iya. Maja lupa, maaf ya!" ucap gadis dengan bibir pucat karena masih sakit itu yang kemudian kembali ke kamarnya.
Satu jam kemudian, Majarani duduk di sofa ruang tamu sambil membawa buku novel Azura Nadia.
"Semoga dengan membaca novel ini, laparku jadi hilang!" ucap Majarani.
Ketika sedang asik membaca novel, Majarani mendengar suara ketukan pintu, ia pun bergegas pergi ke arah pintu untuk melihat siapa yang datang.
Ketika terbuka, ia melihat ada pria berbaju hijau dengan helm yang melekat di kepalanya sedang berdiri di depan pintu.
"Maaf, cari siapa ya?" tanya Majarani pada sang pria.
"Mau cari orang bernama Majarani, ada pesanan makanan atas namanya!" jawab sang pengantar makanan online tersebut.
"Saya Majarani tapi saya nggak merasa memesan makanan online dan saya nggak punya uang untuk membayar!" ucap Majarani.
"Ini sudah dibayar, Mbak! Ada seseorang yang membayarnya dan ini gratis untuk mbak!" jawab sang pengantar makanan online.
"Oh, begitu ya! Baiklah, terima kasih!" ucap Majarani yang kemudian menerima plastik putih berisi kotak makanan tersebut.
Setelah itu, ia pun segara masuk ke dalam dan berlari ke meja maka.
Setibanya di meja makan ia membuka kotak makanan yang berisi nasi dan ayam chicken serta saus tersebut.
"Siapa yang mengirim makanan ini?" tanyanya pada dirinya sendiri.
Tiba-tiba ponselnya berdering, ia pun segera mengangkat panggilan masuk yang ada di dalam ponselnya.
"Halo?" ucap Majarani.
"Halo, Maja. Apakah makanan pemberian dari Liam sudah sampai?" tanya Richo dari seberang teleponnya.
"Sudah, Kak! Oh, jadi ini dari Liam, Maja kita dari kakak?!" ucap Majarani.
"Tadinya kakak memang mau pesan makanan untukmu karena kakak nggak percaya kata-kata ayah setelah kamu datang, tapi pas ingin pesan, Liam melihat dan kemudian dia mengambil alih deh!" Richo menjelaskan semuanya dengan jujur.
"Oh, tolong sampaikan terima kasih Maja padanya ya, Kak!" pinta Majarani pada kakaknya.
"Cie yang lagi dideketin cowo, pasti pipinya dah merona nih ya?" goda Richo pada adiknya.
"Apaan sih, nggak ya, sok tahu!" kesal Majarani.
"Ya sudah sekarang kamu makan ya!" titah Richo.
"Oke!" jawab Majarani yang kemudian segera menutup teleponnya.
Setelah menutup sambungan teleponnya, Majarani menaruh ponselnya ke atas meja dan lantas ia mulai memakan makanannya.
Siang harinya, Majarani hendak menonton vidio lucu di ponselnya namun ia terkejut ketika menyadari bahwa hari ini tanggal 12 November.
"What? Hari ini 'kan ulang tahun bunda, aku mau beli bunga dan lain-lain deh untuk ke makam bunda nanti!" ucap Majarani yang kemudian hendak keluar namun langkahnya terhenti kala mengingat bahwa ia tak punya uang.
"Bagaimana aku beli sesuatu untuk bunda, aku saja nggak punya uang?" tanya Majarani pada dirinya sendiri.
"Lebih baik aku cari bunga di taman dulu deh dan nggak usah bawa kado untuk bunda, lebih baik aku mendoakan bunda saja!" Majarani menemukan ide.
Merasa idenya bagus, Majarani kemudian bergegas keluar dari rumahnya untuk mencari bunga.
Sore harinya, Majarani sudah berada di makan bundanya.
"Bunda, Maja rindu pada bunda!" ucap Majarani seraya memeluk nisan bertuliskan Maharani binti Argantara tersebut.
"Bunda, di saat Majarani masih kecil dan belum mengerti apa-apa bunda pergi dari Maja untuk selama-lamanya, masa kecil Maja nggak seindah anak-anak pada umumnya, Bun!" Majarani menceritakan semua dukanya tepat di atas makam sang bunda.
Majarani masih mengingat jelas peristiwa dua puluh tahun lalu yang di mana sang ayah hendak membuangnya ke panti asuhan pada saat berusia 11 tahun karena telah melakukan kesalahan yang membuat Meliza menangis.
Beruntung Richo yang sudah berusia 16 tahun dulu melarang ayahnya dan mengancam akan ikut bersama dengan Majarani, jika tidak mungkin Majarani akan tinggal di panti asuhan.
"Bunda, apakah boleh Maja meminta sesuatu? Tolong sadarkan ayah, Maja ingin sekali mendapatkan kasih sayang dari ayah seperti Mbak Meliza dan Kak Richo!" ucap Majarani sambil mengeluarkan air matanya.
Tiba-tiba sebuah tangan kekar memegang pundaknya, ia pun segera menghapus air matanya dan menoleh, ia terkejut melihat ada Arsen di sana.
"Pilot kulkas?" ucapnya seraya beranjak berdiri.
"Pramugari menyebalkan ternyata bisa nangis juga ya?" ejek Arsen seraya memasang tatapan datarnya.
"Bodohnya aku! Aku kira kamu mau memberi semangat ternyata mau ngajak bertengkar, huh! Dasar pilot kulkas tujuh pintu!" ucap Majarani.
"Pramugari menyebalkan, pikun, cengeng!" ejek Arsen lagi.
"Heh, jangan tambah-tambah ejekannya, siapa yang cengeng?" marah Majarani.
"Tadi nangis, dah besar kok nangis, lemah!" ejek Arsen lagi.
"Kenapa sih ke mana pun aku pergi selalu saja ada kamu, kamu punya lem ya? Atau palet?" kesal Majarani.
"Kamu tuh yang terus mengikuti ke mana pun aku pergi, nggak sadar diri, malah nuduh orang!" jawab Arsen.
"Ngapain ke sini?" tanya Majarani pada Arsen.
"Mau ke makam lah, masa mau nonton konser?!" jawab Arsen.
"Ya sudah sana pergi, nggak usah ngajak ribut!" usir Majarani.
"Pramugari cengeng!" hina Arsen.
"Sana pergi!" usir Majarani dengan sangat emosi.
"Memang mau pergi!" jawab Arsen yang kemudian bergegas pergi ke makan neneknya.
Kesedihan Majarani kini menghilang setelah bertemu dan bertengkar dengan Arsen.
Beberapa saat kemudian, Majarani berjalan ke arah jalan untuk pulang namun Arsen menghentikannya.
"Ayo aku antar!" ajak Arsen pada Majarani
"Apa?" Majarani tentunya tak percaya kalau Arsen mau mengantarnya pulang.
"Mau nggak? Atau mau jalan, ya sudah sana jalan!" kesal Arsen dengan wajah datarnya.
"Pilot kulkas, galak!" ejek Majarani.
"Kamu ini ya, mau dibantu malah ngejek, dasar menyebalkan!" kesal Arsen pada Majarani.
"Ya sudah, ayo!" ucap Majarani.
"Ayo ke mobilku!" ajak Arsen.
Majarani dan Arsen pun hendak menuju ke arah mobil namun sebuah motor yang dikendarai oleh seorang polisi berseragam brimob berhenti di sana.
"Siapa dia?" tanya Arsen pada dirinya sendiri sambil melihat pria itu turun dari motornya dan melepas helm yang ia kenakan.
"Liam?" ucap Majarani setelah melihat wajah pria itu.
Liam tersenyum dan berjalan ke arah Majarani, setelah tiba di dekat Majarani dia mengulurkan tangannya.
"Mari aku antar pulang, Nona Tionghoa!" ucapnya sambil tersenyum.
"Oh, jadi kamu ...?" kata Arsen.
"Iya, dia anggota polisi yang telah kau hina karena alasan yang tak jelas!" jawab Majarani.
"Oh, begitu! Tapi Majarani harus pulang bersamaku, aku yang lebih dulu menawarkan bantuan padanya!" ucap Arsen seraya mengambil tangan kanan Majarani dan hendak membawanya namun tangan kiri Majarani dicekal oleh Liam.
"Kakaknya memintaku untuk mengantarnya pulang!" ucap Liam.
"Hah? Jadi Kak Richo tahu aku ke makam sore ini?" tanya Majarani pada Liam.
"Iya, dia tahu dan dia memintaku mengantarmu pulang!" jawab Liam dengan jujur.
"Tapi aku yang lebih dulu ada di sini dan mengajaknya pulang!" ucap Arsen dengan wajah datarnya.
"Enggak! Kakaknya memberi amanah padaku dan aku harus melaksanakannya!" jawab Liam.
Majarani melihat sekilas ke arah Liam dan Arsen, ia bingung harus menerima bantuan dari siapa.