Bab 5. Aku Dihukum Karena Bersamanya

2348 Kata
Mendengar sang adik yang seolah tak mempercayai, Richo pun berusaha meyakinkan adiknya bahwa semua yang ia katakan itu benar. "Maja, percayalah pada kakak, kakak berbohong demi kamu!" ucap Richo seraya menatap sendu mata Majarani. "Wait! Mungkin masih butuh waktu untukku mencerna semuanya, Kak." "Kakak memang diam dan nggak bilang apa-apa padamu, tapi kakak sudah berjanji untuk memberimu keadilan serta perlindungan!" ucap Richo seraya menggenggam kedua tangan Majarani. "Apa maksud kakak dengan keadilan?" Majarani memasang raut penasarannya. "Kakak sudah membuat laporan kepolisian, walau dia adalah orangtua kita, tapi hukum tetaplah hukum." Majarani segera melepaskan kedua telapak tangannya secara kasar, dengan cara menghempaskan tangan Richo. "Apa kakak pikir Maja menginginkan hal itu? Nggak, Kak!" "Ayah sudah melakukan percobaan—" "Cukup! Dia adalah ayahku dan aku nggak mau memperpanjang masalah ini, tolong cabut laporannya!" pinta Majarani seraya memotong jawaban kakaknya. "Enggak bisa, ayah sudah membuatmu nyaris diperkos—" "Di sini korbannya adalah Maja dan Maja nggak mau masalah ini di proses secara hukum, Maja bukan anak durhaka yang bisa memenjarakan ayah Maja sendiri!" "Ayah sudah keterlaluan, Maja. Kakak nggak terima!" "Tolong, maafkan ayah demi Maja! Maja juga selamat 'kan? Maja kakak selamatkan, jadi kita beri ayah toleransi, kita selesaikan masalah ini secara kekeluargaan!" pinta Majarani seraya memegangi kepalanya yang terasa semakin sakit. "Tapi—" Richo menghentikan kalimatnya kala tubuh Majarani ambruk dan ia dengan sigap menangkap tubuh adiknya. "Maja, kamu kenapa?" panik Richo seraya mencoba mengangkat tubuh adiknya namun ia tidak bisa sebab ada luka memar di bahu kirinya kala ia terjatuh tadi pagi. Rekan-rekannya yang melihat Richo sedang kesulitan pun bergegas menghampirinya dan membantunya untuk membawa Majarani ke ruang kesehatan Polri. *** Siang harinya, Majarani siuman dari pingsannya dan ia melihat ada dua anggota polisi dengan rompi hijau bertuliskan DOKPOL di belakangnya, berada di sana bersama dengan Richo. "Kamu sudah sadar?" tanya Richo seraya mengusap kepala atas adiknya. "Maja di mana?" "Kamu tadi pingsan, jadi kakak membawamu ke ruang kesehatan!" "Kak, Maja mohon urungkan niat kakak!" Majarani kembali memohon agar sang ayah dibebaskan dari hukuman setelah ia mengingat hal tadi. "Baiklah, kali ini kakak memaafkan kesalahan ayah, tapi kalau sampai ayah membuatmu celaka, maka kakak nggak akan pernah memaafkannya!" "Terima kasih, Kak!" ucap Majarani sambil tersenyum bahagia. Dua hari kemudian, Majarani pergi ke mall untuk membelikan bahan dan perlengkapan bulanan keluarganya. Namun, ia berhenti kala melihat ada keramaian di tepi jalan. Majarani yang penasaran pun bergegas pergi menghampiri keramaian itu. "Ada apa ini?" tanyanya setelah tiba di sana dan melihat ada seorang wanita paruh baya sedang panik karena suaminya mengalami sesak nafas. Majarani yang mengerti cara memberikan pertolongan pertama pada orang yang sedang sesak nafas pun segera menolong. Dua menit kemudian, nafas pria paruh baya itu sudah kembali lega. "Terima kasih, Nak! Kamu telah menyematkan, Om." "Iya, siapa namamu? Apakah kamu seorang dokter?" tanya sang wanita paruh baya pada Majarani. "Namaku Majarani Saka, aku bukan seorang dokter, aku hanya seorang pramugari!" jawab Majarani sambil tersenyum. "Boleh minta nomor teleponmu?" tanya sang wanita paruh baya sambil tersenyum pada sang penyelamat suaminya. "Em, untuk apa, Bu?" Majarani bertanya sebelum memberikan nomor teleponnya. "Sepertinya gadis ini cocok menjadi pasangan putraku?" batin sang wanita paruh baya. "Em, boleh atau nggak?" tanya sang wanita paruh baya itu lagi. "Baiklah, akan saya berikan!" *** Siang harinya, Majarani berjalan sendirian di tepi jalan untuk mencari taksi yang lewat dan tentunya yang masih kosong dan tak berpenumpang. Namun sebuah mobil tersebut tiba-tiba melaju dengan cepat sehingga mencipratkan air bekas hujan ke tubuh Majarani. Tentu saja, Majarani merasa marah dan tak terima. "Hei, berhenti!" teriaknya yang meminta pengemudi mobil untuk berhenti. Mobil sedan berwarna silver itu kemudian berhenti dan keluarlah seorang pria tampan yang sedang melepas kacamata hitamnya. "Pilot kulkas lagi, huh! Aku jadi kesal harus bertemu dengannya terus-menerus!" ucapnya seraya berjalan ke arah pria yang sedang berjalan ke arahnya saat ini. Melihat Majarani berjalan, Arsen pun memutuskan untuk berhenti di belakang mobilnya, ia tak mau lanjut jalan ke arah Majarani. Setibanya di dekat Arsen, Majarani langsung meluapkan kemarahannya pada Arsen. "Bisa nyetir mobil dengan benar nggak sih? Pilot kulkas!" Majarani memasang raut kesalnya pada Arsen. "Oh, sekarang kamu mulai berani padaku ya?" Arsen berkata seraya memasang wajah datarnya. "Memangnya kenapa? Waktu itu aku diam karena aku yang salah dan sekarang kamu yang salah, jadi wajar lah kalau aku memarahimu!" "Pramugari menyebalkan nggak punya mata!" ejek Arsen. "Pilot kulkas nggak punya hati!" balas Majarani. "Kau!" Geram Arsen seraya menggunakan jari telunjuknya untuk menunjuk Majarani. "Kau apa?" tanya Majarani dengan berani sebab kali ini dia tidak salah. "Tanggung jawab kamu, pilot kulkas! Lihat nih bajuku kotor karena kamu!" Majarani menuntut pertanggungjawaban seraya memasang raut wajah marahnya. "Kenapa nggak menghindar tadi? Harusnya kamu menghindar!" "Mana sempat aku menghindar, kamu tuh yang salah, nyetir ugal-ugalan di jalan raya!" "Aku nggak mau tanggung jawab!" tolak Arsen yang kemudian hendak pergi. "Tanggung jawab atau aku teriak karena kamu hampir menyerempetku tadi?!" Majarani mengancam sang pilot kulkas. "Oke, oke! Cepat masuk mobil ku! Dasar menyebalkan!" Arsen memasang raut kesalnya pada Majarani. "Pilot kulkas!" ejek Majarani lagi seraya berjalan ke arah mobil Arsen. "Pramugari menyebalkan!" balas Arsen. "Pilot kulkas tujuh pintu!" ejek Majarani lagi. "Terserah!" Arsen nampak malas berdebat lagi. *** Di sepanjang perjalanan hanya ada keheningan, Majarani sibuk menatap layar ponselnya sementara Arsen sibuk menyetir mobil. "Kulkas banget sih nih orang!" batin Majarani. "Dasar menyebalkan, orang lagi sibuk nyetir dia malah asik main ponsel, dasar pramugari menyebalkan!" Kesal Arsen di dalam hatinya. Tak beberapa lama kemudian, mobil yang dikendarai oleh Arsen berhenti di halaman rumah mewah berlantai dua. "Ini rumahmu? Aku mau kamu ganti bajuku bukan malah ajak aku ke sini!" protes Majarani pada Arsen, tadinya ia pikir Arsen akan membawanya ke mall untuk beli baju. "Ini memang rumahku tapi ada butik pribadi di samping rumah, jadi kamu boleh pilih satu pakaian di sana!" jawab Arsen dengan wajah datarnya. "Oh, baiklah!" ucap Majarani yang kemudian keluar dari mobil Arsen. Kini Majarani dan Arsen sedang berjalan ke arah samping rumah Arsen, lebih tepat mereka sedang menuju ke butik. Tak beberapa lama kemudian, mereka tiba di butik pribadi keluarga Arsen. "Sekaya apa sih dia sampai punya butik pribadi? Apa mungkin karena ini dia jadi angkuh dan dingin seperti kulkas!" tanya Majarani di dalam hatinya. "Mbak, pilihkan pakaian untuknya!" pinta Arsen pada sang penjaga butik. "Baik, Den!" jawab sang penjaga butik yang kemudian bergegas melaksanakan perintah Arsen. Tak beberapa lama kemudian, Majarani keluar dari butik dengan mengenakan baju rajut berwarna merah muda dan celana dasar berwarna hitam, Majarani keluar sambil membawa pakaiannya yang kotor di dalam plastik. "Tanggung jawabku sudah selesai, jadi sekarang lebih baik kamu pulang!" Arsen langsung mengusir Majarani dari rumahnya. "Enggak perlu ngusir juga dong!" Kesal Majarani pada Arsen yang main mengusirnya saja. "Ya sudah pulang sana!" usir Arsen lagi. "Baiklah, pilot kulkas!" jawab Majarani yang kemudian hendak pergi namun seorang wanita paruh baya menghampirinya. "Kamu Majarani, kan?" tanya wanita paruh baya bernama Ratih pada Majarani. "Oh, iya. Tante yang kemarin itu, kan?" Majarani mencoba menerka. "Iya, kamu yang nolongin suami Tante kemarin kan?" tanya Ratih sambil tersenyum pada Majarani. "Wait! Apa maksudnya ini, Ma?" tanya Arsen pada Ratih yang tak lain adalah ibu kandungnya. "Ini adalah wanita yang sudah menyelamatkan nyawa papa beberapa waktu lalu, Arsen!" jawab Ratih sambil tersenyum pada putranya. "Oh." Respon singkat Arsen. "Kalian saling kenal?" tanya Ratih pada Majarani dan Arsen. "Dia pramugari dan kebetulan satu pesawat denganku!" "Hm, iya, Tan! Saya ke sini hanya ingin meminta pertanggungjawaban Arsen karena dia sudah membuat baju saya kotor!" Majarani ikut menjelaskan. "Kalau begitu mari masuk, kita makan siang bersama!" ajak Ratih pada Majarani. "Enggak! Biarkan dia pulang!" tolak Arsen. Selama ini Arsen tak pernah membawa wanita manapun ke rumahnya sebab ia tak nyaman bila ada orang lain di dalam rumahnya. "Jangan begitu, Arsen! Dia adalah penyelamat papamu dan kita harus menjamunya!" "Em, nggak usah repot-repot, Tan!" Majarani mencoba menolak tawaran Ratih dengan lembut agar Ratih tak tersinggung. "Enggak repot, kok! Kebetulan keluarga Tante memang lagi makan siang, ayo ikut!" bujuk Ratih pada Majarani. Majarani hanya diam, ia merasa tidak enak menolak tawaran dari Ratih. "Ayo!" ajak Ratih lagi seraya mengambil tangan kanan Majarani dan menariknya. "Kenapa aku harus makan siang sama pramugari menyebalkan seperti ini sih?" Kesal Arsen di dalam hatinya. "Terpaksa deh makan siang sama pilot kulkas!" batin Majarani. Setengah jam kemudian, Majarani hendak pulang setelah makan siang dan mengobrol dengan kedua orangtua Arsen dan juga Azura Nadia adik Arsen yang sangat Majarani gemari karya-karya tulisnya. "Arsen, antar Maja pulang!" titah Gilang pada putranya. "Enggak! Dia bisa pulang sendiri, kok!" tolak Arsen seraya memasang wajah datarnya. "Antar dia pulang!" titah Ratih dengan tegas pada putra sulungnya. "Tolong antar penggemar novelku pulang, Kak!" Azura turut meminta Arsen juga. "Ogah!" tolak Arsen. "Sudah nggak apa-apa! Aku bisa pulang sendiri kok!" jawab Majarani sambil tersenyum pada Ratih dan Gilang. "Enggak, Arsen harus mengantarmu!" ucap Ratih seraya menatap putra sulungnya. "Mama ...," protes Arsen. "Antar dia pulang!" bujuk Ratih lagi. "Baiklah!" jawab Arsen yang kemudian bergegas keluar dari rumahnya meninggalkan Majarani dan semua yang masih ada di sana. Setibanya di luar, Arsen langsung pergi ke arah mobilnya dengan raut kesalnya. "Kenapa sih aku harus berurusan dengan pramugari menyebalkan itu, apakah dunia ini kecil sehingga di mana-mana harus ada dia?" Kesal Arsen di dalam hatinya. "Kenapa sih aku harus dekat dengan si pilot kulkas ini, sangat membosankan!" batin Majarani seraya berjalan ke arah Arsen. *** Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 35 menit, akhirnya mobil Arsen tiba di halaman rumah Majarani. Majarani pun langsung turun dari mobil Arsen tanpa sepatah kata apapun. Meliza yang kebetulan keluar dan melihat Majarani keluar dari mobil Arsen kemudian merasa sangat marah hingga ia menatap tajam ke arah adik tirinya yang kini sedang berjalan ke arahnya, sementara mobil Arsen sudah beranjak pergi dari sana meninggalkan halaman rumah Saka. "Hey!" teriak Meliza seraya mendekati Majarani dengan perasaan marahnya. "Ada apa, Mbak?" tanya Majarani seraya menatap Meliza dengan tatapan penasarannya. "Jangan sok polos kamu, Maja! Apa maksudnya ini, kamu pulang diantar Arsen?" Meliza melabrak Majarani. "Aku nggak sengaja—" "Kamu harus diberi pelajaran!" bentak Meliza pada adik tirinya. Vina dan Saka kemudian keluar dari rumah kala mendengar adanya keributan di luar. "Ada apa ini?" tanya Saka dengan suara lantang. "Dia pulang diantar Arsen, Yah?! Aku nggak terima jika dia merebut Arsen dariku!" Meliza mengadu seraya memasang tatapan kesalnya. "Tadi pas di jalan—" "Hukum dia semau mu, Liza!" titah Saka seraya memotong ucapan Majarani yang hendak menjelaskan semua kebenarannya. "Sini kamu!" teriak Meliza seraya menggenggam beberapa helai rambut Majarani dan kemudian menariknya. Majarani hanya bisa pasrah dan berjalan dengan rambut yang ditarik oleh Meliza, ia saat ini diperlakukan tak manusiawi oleh kakak tirinya. "Anakmu nggak akan pernah bisa bahagia, Maharani!" batin Vina seraya tersenyum miring. "Akan aku pastikan dia menderita dan nggak akan pernah dicintai oleh ayahnya sendiri!" lanjut Vina yang seolah berbicara dengan almarhumah istri pertama suaminya. *** Malam harinya, Richo pulang dari Polres setelah semua tugas negaranya selesai ia laksanakan. Richo kini berjalan ke arah meja makan tanpa melepas seragam yang ia kenakan. Setibanya di sana, Richo hanya berdiri di samping meja makan tanpa memilih salah satu kursi yang hendak ia duduki. "Di mana Maja?" tanyanya seraya melihat ke sekeliling. "Di kamarnya, dia tadi bawa makanan ke kamar!" jawab Vina. Vina berbohong, padahal Majarani belum makan sama sekali. "Apa dia sakit?" "Enggak!" Saka menjawab secara singkat. "Sudahlah, Kak. Ayo makan malam bersama, nggak usah pikirin dia!" ajak Meliza pada kakak tirinya. *** Di sebuah ruangan yang gelap namun tak begitu gelap, seorang gadis sedang duduk meringkuk sambil memegangi perutnya yang terasa sakit karena menahan lapar. Di sekelilingnya hanya ada kardus dan berbagai alat-alat, gadis itu hanya berada di dalam kesunyian malam, ia hanya dapat mendengar suara tikus yang begitu menggema di ruangan kecil yang tak lain adalah gudang tersebut. "Perutku sakit sekali, tadi siang aku hanya makan sedikit!" ucap sang gadis yang tak lain adalah Majarani. Sebenarnya tadi Majarani hanya makan sedikit di rumah Arsen sebab ia merasa sungkan makan di rumah orang. *** Beberapa saat setelah makan malam, Richo naik ke lantai dua untuk menuju ke kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Majarani. Ketika tiba di depan kamar Majarani, Richo hendak masuk untuk mengecek namun ia mengurungkan niatnya kala rasa letih menghampirinya. "Rasanya aku tak perlu mengecek, mungkin Maja sudah tidur dan bila aku masuk maka dia akan terbangun!" ucap Richo yang kemudian pergi ke kamarnya untuk istirahat. *** Di dalam gudang, Majarani terbangun dari tidurnya kala kakinya terasa sakit. Majarani terkejut kala dua ekor tikus ternyata sedang mengigit kakinya. "Hus! Hus!" Majarani menggunakan tangannya untuk mengusir tikus-tikus nakal itu. "Bagaimana aku bisa tidur dalam kondisi seperti ini? Sebaiknya aku nggak tidur agar tikus-tikus nggak berani menyentuhku!" ucap Majarani yang bertekad untuk tetap membuka matanya. Keesokkan harinya, seluruh keluarga Majarani sedang sarapan di meja makan. "Tadi malam dia nggak ikut makan malam dan pagi ini juga, hm, sepertinya ada yang mencurigakan?!" batin Richo, pria berseragam polisi itu mulai curiga. "Ada apa, Ric? Makanlah!" ucap Saka sambil tersenyum pada putra sulungnya. "Em ... Richo mau ke kamar mandi!" Richo berbohong untuk mengetahui kebenaran tentang kondisi Majarani. Richo kemudian bergegas pergi ke lantai dua untuk mengecek adiknya. Setibanya di depan kamar Majarani, Richo masuk ke dalam namun ia tak melihat ada adiknya di sana. "Ke mana Maja?" tanyanya pada dirinya sendiri. Tanpa pikir panjang lagi, Richo turun ke lantai satu dan pergi ke arah ruang baca pribadi karena mungkin Majarani sedang membaca buku di sana. "Enggak ada!" ucapnya setelah memeriksa ruang baca. Tiba-tiba ia mendengar suara ketukan pintu dari gudang yang berada di sebrang ruang baja pribadi keluarganya. Richo yang curiga pun bergegas ke sana untuk memeriksa. Setibanya di sana, ia langsung membuka pintu dan setelah pintu terbuka tubuh Majarani ambruk sebab sebenarnya Majarani berada di balik pintu sejak semalam. "Maja?" Panik Richo seraya mengambil kepala adiknya dan kemudian memangku kepala itu. "Ka—kakak, Maja ingin makan!" Majarani berkata dengan suara yang lirih karena tubuhnya terasa lemah, ia setengah pingsan. "Apa yang terjadi?" tanya Richo seraya membelai rambut panjang adiknya. "Maja lapar?" ucap Majarani yang seolah meminta makanan. "Ayo ke kamar! Kakak akan membawakan makanan nanti!" jawab Richo yang kemudian mengangkat tubuh adiknya untuk ia bawa ke kamar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN